Beberapa hari yang lalu penulis baru saja mengunjungi sebuah dusun di bantaran waduk Kedungombo, Boyolali. Warga dusun tersebut merupakan korban ketidakadilan dari pembangunan salah satu waduk terbesar di Jawa Tengah itu. Perjuangan warga untuk menuntut haknya (ganti rugi) saat itu didampingi oleh banyak tokoh kemanusiaan seperti KH Abdurrahman Wahid, Romo Mangunwijaya, KH Mahfudh Ridwan, dan lain-lain.
Melalui medan yang terjal dan rusak membuat penulis sejenak melupakan ribut-ribut kehidupan kota. Jika melihat kenyataan seperti ini, maka sangat disayangkan jika hidup hanya dihabiskan untuk saling nyinyir di media sosial. Penulis bersama rombongan berkunjung ke dusun tersebut untuk bersilaturahmi sekaligus melihat sebuah masjid yang tengah dibangun.
Ketika bertamu ke rumah salah seorang warga, penulis mendapati pemandangan yang cukup mengesankan. Warga yang datang menyambut rombongan penulis dengan hangat. Warga sangat antusias ketika menceritakan peran tokoh-tokoh lintas agama yang membantu mereka di situasi yang serba sulit saat itu. Tidak jarang cerita yang disampaikan mengandung kisah jenaka.
“Pernah suatu waktu warga sini bertanya kepada Romo Mangun: Pak Romo, kamu sudah punya anak berapa?” Sontak saja kisah ini membuat kami tertawa.
Ketika kasus Kedungombo mencuat, warga dusun mendapat banyak dukungan baik secara moral atau pun material. “Kami tidak pernah berpikir bantuan datang dari siapa,” ujar Pak Darsono, tuan rumah sekaligus salah satu tetua dusun itu. Ia menjelaskan warga tidak pernah memikirkan dari mana bantuan datang, entah dari orang Islam, Kristen, atau lainnya, semua diterima.
Pun ketika isu kristenisasi dihembuskan, warga bahkan tidak memikirkan hal tersebut. Saat itu mereka hanya berpikir soal menyelamatkan hidup dirinya dan keluarganya. Apalagi mereka tidak merasa adanya aktivitas yang dikhawatirkan, karena pada saat itu para tokoh lintas agama membantu warga menginisiasi sebuah masjid yang digunakan untuk beribadah.
Saat ini, warga masih bahu membahu memperindah rumah ibadah yang digunakan sebagai pusat kegiatan keagamaan mereka. Sekilas masjid seluas 40 meter persegi itu terlihat biasa saja. Namun penulis merasa kagum karena yang menginisiasi pembangunan masjid itu adalah seorang Pastor bernama Romo Yosep Suyatno. Romo Yatno merupakan murid Romo Mangunwijaya yang turut serta mendampingi warga Kedungombo ketika diperlakukan tidak adil oleh pemerintah saat itu.
Hubungan baik antara warga dengan tokoh lintas iman pun terus terjaga. Ketika Romo Yatno meninggal dunia beberapa saat yang lalu, warga dusun tersebut turut memberi penghormatan terakhir dengan mengikuti pemakamannya di Yogyakarta.
Al-Hidayah, nama masjid yang kini sudah berdiri gagah di pinggiran waduk Kedungombo menjadi prasasti bahwa toleransi membuat hidup ini menjadi lebih indah. Bahwa bersahabat dengan orang-orang yang berbeda agama tidak lantas melunturkan kualitas beragama seseorang. Justru dengan toleransi, orang bisa meresapi fungsi agama sebagai nilai luhur kemanusiaan. Wallahua’lam.
Sarjoko, penulis aktif di Jaringan Gusdurian Indonesia.