Berbincang dengan John Lobo, Guru Agama Katolik Asal Mojokerto yang Ikut Bangun Masjid

Berbincang dengan John Lobo, Guru Agama Katolik Asal Mojokerto yang Ikut Bangun Masjid

“Sampai ada orang yang tanya, ‘Pak, Anda Katolik, tapi mau bantu bangun masjid. Apa nanti di masa depan tidak ingin membangun fasilitas umum berupa gereja katolik di perumahan ini?’”

Berbincang dengan John Lobo, Guru Agama Katolik Asal Mojokerto yang Ikut Bangun Masjid
Foto John Lobo (ekorantt.com)

Konflik antar umat beragama adalah salah satu faktor disintegrasi masyarakat yang kerap terjadi di Indonesia. Dari masa ke masa, banyak korban berjatuhan akibat konflik. Penolakan, penyerangan, bahkan kekerasan fisik, memicu trauma terkhusus bagi kalangan minoritas. Langkah-langkah dialog dan pertemuan lintas iman menjadi salah satu cara penyelesaian yang ditempuh, dan perlu dilanggengkan di tingkat akar rumput.

Di acara Tunas Gusdurian 2022 yang berakhir 16 Oktober lalu, banyak berkumpul para cendekiawan dan pelaku kerjasama lintas iman. Banyak kisah-kisah yang dibagikan mereka. Salah satunya, penulis berjumpa dengan John Lobo, seorang Katolik dari Mojokerto. Penulis menemui pria 50 tahun ini membincang tentang moderasi beragama dan bagaimana kerjasama lintas iman dapat hidup di tingkat grass root.

Bernama lengkap Yohanes Donbosco Lobo, ia adalah seorang guru, pemuka agama, juga penulis untuk portal media Katolikana.com. Ia hadir mewakili media tersebut di Tunas Gusdurian 2022.

John, demikian ia disapa, mengikuti Kelas Moderasi Beragama pada sesi Kelas Berbagi Inspirasi Tunas Gusdurian 2022 (14/10) yang diampu mantan Menteri Agama RI, Lukman Hakim Saifuddin. Pada kelas tersebut, dengan bangga John menceritakan pengalamannya sebagai Katolik – yang merupakan minoritas – di tempat tinggalnya di Mojokerto, dan bagaimana usahanya berkontribusi dalam moderasi beragama bersama masyarakatnya.

Salah satu pengalaman yang unik adalah ketika ia ikut membangun musala dan masjid di perumahannya. Kisah tersebut pernah ditulisnya untuk laman Kementerian Agama.

Lahir di Bajawa, Flores, John berkelakar, “Saya sudah sebagiannya Jawa.” John merantau dari Flores saat menempuh pendidikan pastoral di Malang, berkuliah, dan setelah berkeluarga, menetap di Mojokerto. Nasib membawanya menjadi guru agama Katolik di SMAN 2 Mojokerto.

Menjadi minoritas baginya adalah hal yang penuh tantangan, apalagi ketika mengalami penolakan dari mayoritas – dalam hal ini, kaum muslim. Ketika baru berkeluarga tahun 2004 dan mulai mengontrak rumah, sang empu kontrakan bicara pada John, “Tolong rumahnya jangan buat kebaktian ya Mas,” demikian kenang John. Kecurigaan dan antipati pada minoritas adalah hal yang sudah sering ia rasakan.

Setelah empat tahun tinggal di Mojokerto dari kontrakan ke kontrakan, ia dan keluarga memutuskan untuk mencari rumah tinggal sendiri. Ia mengaku mencari kawasan yang masih sepi, sehingga hemat dia, dapat meminimalisir konflik dan penolakan.

“Ada lah perumahan kavling, masih berupa umbul-umbul, jadi kami baru penghuni pertama.” kenangnya sambil terkekeh. Menurut dia, menjadi penghuni pertama menjadikannya cukup disegani di komunitas perumahan tersebut.

Di Perumahan Japan Asri, daerah Sooko, Mojokerto itu, John memainkan peran yang cukup vital di masyarakat. “Mungkin karena saya pertama ya, tapi saya kadang jadi bingung mengapa orang-orang kok mau mempercayai persoalan banyak hal kepada saya.” Tak terkecuali dalam urusan pembangunan masjid dan musala. Momen tersebut terjadi saat John menjadi ketua RT. Baginya, mushola dan masjid adalah fasilitas umum yang mesti didukung keberadaannya.

Ia menjadi penasihat pembangunan musala dan masjid baru perumahan, turut mengurusi konsumsi panitia dan tenaga tukang, serta turun menggalang dana dan dukungan warga untuk kesuksesan pembangunan mushola dan masjid. John juga turut bercucuran keringat kerja bakti mengecor dan mengangkuti barang bangunan. Bahkan, soal penentuan nama masjid, ia juga diberi kewenangan ikut memilih.

Oleh beberapa tetangganya, kontribusi John dipandang terlalu berlebihan sebagai umat non-muslim.“Sampai ada orang yang tanya, ‘Pak, Anda Katolik, tapi mau bantu bangun musala. Apa nanti di masa depan tidak ingin membangun fasilitas umum berupa gereja katolik di perumahan ini?’” John tertawa mendengarnya, dan kemudian ia bantu menjelaskan kompleksitas pembangunan gereja Katolik. Ada prasyarat jumlah umat dan ketentuan luasan lahan, serta syarat ‘syariat’ lain. Tentu akan lain halnya ketika membangun gereja di daerah mayoritas Katolik, seperti di daerah kelahirannya di Flores.

“Para imam gereja sudah banyak yang mulai mengajarkan bagaimana keterbukaan antar umat beragama. Nah, kalau para imam gereja sudah mengajarkan di gereja dengan kapasitasnya sebagai pemuka umat, kalau saya mungkin memilih mendampingi umat di akar rumput ya, mereka juga perlu mendapat pendampingan dan pencerahan.”

Gesekan konflik beragama baginya adalah hal yang bisa terjadi kapan saja di masyarakat, namun selama terjalin komunikasi dan menghilangkan prasangka buruk, moderasi beragama bisa lahir di tengah masyarakat yang kian heterogen ini. John Lobo menyebutkan, kerjasama lintas iman adalah hal yang mesti terus diupayakan di Indonesia lewat dialog, keterbukaan, serta kerjasama yang konsisten. Bagi John: membicarakan toleransi tidak semudah mengamalkannya.

John Lobo secara pribadi gemar membaca buku dan kegiatan literasi. Ia rajin menulis artikel dan menyusun materi pembelajaran kelas yang disarikannya dari Injil dan berbagai sumber selama menjadi guru SMAN 2 Mojokerto di blog Katakan dengan Buku. Mungkin pengalaman seperti di atas yang dimaksud oleh Gus Dur: “Tidak penting apa pun agama atau sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik buat semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu.” (AN)