Sebelum seorang hamba menemui ajal, terlebih dahulu Tuhan bertitah pada Malaikat Maut, ” Sekarang tiba waktunya, hamba itu kembali. Ambillah ruh si Fulan,” seru Tuhan pada Malaikat maut. Bergegaslah Malaikat Maut menemui si Fulan menjalankan titah Tuhan.
Tanpa pamit, Malaikat Maut hendak mengambil ruh si Fulan. Beragam cara Malaikat mencabut ruh dari tiap-tiap jasad hamba. Kali ini, Malaikat Maut mengambil ruh si Fulan itu dari arah mulut namun tak kunjung bisa.
Ternyata mulut si Fulan sedang berdzikir kepada Tuhan, “Tak ada jalan bagimu hai Malaikat untuk mencabut ruhku melalui arahku,” Lisan meneruskan, “Aku gemar memperpanjang setiap sesuatu lantaran hanya meyibukkan berdzikir kepada Allah SWT.”
Malaikat Maut dengan gundah gulana kembali menghadap Tuhan sembari mengadukan penolakan hamba-Nya, si Fulan. “Ambillah dari arah yang lain,” seru Tuhan kepada Malaikat Maut.
Tangan, adalah arah kedua yang dipilih Malaikat untuk mencabut ruh si Fulan. Tangan si Fulan berkata, “Aku banyak bersadakah, mengelus-elus kepala anak yatim, menulis yang baik-baik. Bukan dari arahku engkau mengambil ruhku.”
Malaikat Maut kembali kepada Tuhannya dan persis dengan kata-kata yang dikatakan tangan si Fulan. “Ambil dari arah lain,” lagi, tuhan bertitah pada Malaikat. Kemudian, kaki adalah arah yang dipilih Malaikat Maut untuk menjemput ruh si Fulan.
“Aku meringankan langkah untuk shalat berjamaah, melaksanakan shalat dua hari raya, dan aku tak kenal lelah melangkah menuju majlis taklim. Aku bukan arah untuk menarik ruh itu,” kata kaki kepada Malaikat.
Malaikat Mautpun kembali menghadap Tuhan dengan cerita persis yang dikatakan kaki. Tuhan menjawab dengan titah yang sama. Selanjutnya, malikat mengambil ruh si Fulan dari arah telinganya. “Aku mendengarkan bacaan al-Quran, mendegarkan adzan, dan mendegarkan dzikir. Arahmu mengambil ruhku bukan aku,” cakap telinga.
Lagi-lagi Malaikat Maut gagal. Kembali menghadap Tuhan, Malaikat lagi-lagi mendapat titah yang sama. Dua belah mata kemudian dipilih untuk merenggut ruh si Fulan. “Kami berdua melihat mushaf al-Quran, memandag wajah ulama, memandang kedua orang tua, dan memandang orang-orang saleh. Akupun bukan arahmu merenggut ruh,” ucap mata.
Malaikat Maut kemudian berpaling. Arah mana lagi yang dapat ia jalani untuk mencabut nyawa si Fulan ini. Akhirnya Malaikat kembali menghadap Tuhan seraya berkata, “Ya Tuhan, hamba-Mu, si Fulan, tiap-tiap arah yang telah saya lakukan untuk mengambil ruhku selalu punya jawaban,” lapor Malaikat kepada Tuhannya.
“Wahai Malaikat Maut, tulis nama-Ku di telapak tanganmu lalu perlihatkan telapak tanganmu pada ruh hambaku itu,” perintah Tuhan.
Segera Malaikat menemui ruh si Fulan. Tanpa berlama-lama, Malaikat langsung meperlihatkan telapak tangannya termaktub asma Allah SWT. Setelah ruh si Fulan melihat telapak tangan Malaikat yang bertuliskan asma Allah, secepat kilat ruh keluar dari jasad si Fulan. Dia tidak merasakan sedikitpun sakitnya naza (keluarnya ruh dari jasad manusia).
Wallahu a’lama.
Kisah ini dinukil dari kitab Daqaiq al-Akhbar karya Imam Abdurrahim bin Ahmad al Qadhi.