Pada bulan September masyarakat Indonesia akan diingatkan oleh ‘hantu’ yang bernama Komunisme. Dikatakan hantu sebab hingga saat ini masih terjadi perdebatan yang panjang antara siapa yang melanggar HAM dalam kasus itu. Namun yang jelas hingga generasi millenial, warisan tersebut masih ada.
Memang benar, sudah hampir 62 tahun masyarakat Indonesia masih diwarisi oleh tragedi Komunisme. Namun bukan berarti Komunisme akan dihidupkan lagi oleh mantan-mantan Komunis, melainkan stigmatisasi yang diberikan oleh pemerintah Orde Baru masih dirasakan oleh para mantan aktivis atau partisipan Komunis. Stigma tersebut yang kemudian membuat mereka tidak bisa hidup bebas seperti warga lainnya. Mereka harus menerima diskriminasi dari semua segi kehidupan, mulai dari pendidikan hingga politik.
Namun yang jelas hingga saat ini secara legal-formal pemerintah sudah membungkam keberadaan Komunisme. Pemerintah pada tahun 1966 telah mengeluarkan Ketetapan MPRS Nomer 25 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI). Bahkan peraturan ini diperkuat dengan pernyataan presiden Jokowi yang memerintahkan kepada Polri, Jaksa Agung, Panglima TNI, dan Badan Intelijen Negara untuk menegakkan hukum terkait hal tersebut. Lebih lanjut lagi dalam ketetapan tersebut juga dilarang untuk menyebarkan ajaran-ajaran yang berbau Lenninisme dan Marxisme. Singkatnya, ideologi yang berhalauan kiri telah dilarang oleh negara.
Komunisme berpandangan bahwa agama adalah candu masyarakat. Dalam sebuah negara komunis masyarakat harus memilih menjadi ateis atau tidak beragama. Ide tersebut bertentangan dengan Indonesia yang notabennnya adalah negara yang religius. Negara di mana warga diharuskan untuk memilih salah satu agama di Indonesia. Ketika warga negara sudah menganut salah satu agama di Indonesia, maka itu akan mengantarkan mereka untuk menjalankan amanat sila kedua hingga kelima. Oleh karenanya, pemerintah akan tegas melarang adanya ideologi semacam itu.
Pembungkaman komunisme di negara ini juga dibarengi dengan dibungkamnya Islamisme. Sebuah paham yang ingin mengganti negara Indonesia menjadi negara Islam, negara yang menggunakan sistem syariah dan meletakkan hukum Tuhan sebagai hukum yang mutlak. Tidak ada hukum manusia di dalam negara Islam, sebab hukum manusia masih memiliki kecacatan. Berbeda dengan hukum Tuhan, hukum Tuhan memberikan kemaslahatan bagi semuanya. Begitulah cita-cita yang diinginkan oleh Darul Islam yang dipimpin oleh Kartosoewirjo. Dengan bermodalkan ajaran agama Islam, ingin mengubah wajah Indonesia yang beragam menjadi negara Islamis. Dengan begitu, maka Islam yang awalnya hanya sebagai agama juga ditafsirkan sebagai ideologi.
Tidak bisa dipungkiri bahwa organisasi gerakan Islam radikal kebanyakan lahir dari rahim reformasi. Agenda politik yang dibangun oleh ormas Islam radikal ialah ingin mengganti negara Indonesia menjadi negara Islam, sebagaimana keinginan dari Majelis Mujahidin Indonesia. Bahkan ada juga yang ingin menggabungkan umat Islam dalam satu wadah. Di dalamnya tidak ada yang namanya nation-state, yang ada hanya umat Islam sebagaimana yang diinginkan oleh Hizbut Tahrir.
Namun lagi-lagi pemerintah membungkam satu per satu ormas radikal, mulai dari MMI hingga HTI. Bahkan pemerintah juga mengeluarkan Perppu Nomer 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan yang di dalamnya berisikan menolak berbagai ideologi yang bertentangan dengan Pancasila.
Pada akhirnya pemerintah tidak ingin ada ormas ataupun parpol yang ideologinya lepas dari Pancasila. Dengan segala kuasanya, pemerintah bertindak ‘otoriter’ dalam menanggapi ormas atau perpol yang bertentangan dengan pancasila. Di sisi lain, pemerintah juga memperlihatkan ketidak konsistenannya terhadap asas-asas demokrasi yang dibangun di masa reformasi. Negara di mana seharusnya memberikan kebebasan berekspresi justru membungkam ormas atau parpol dengan dalih ingin mempertahankan pancasila dari serangan berbagai ideologi.
Mujibuddin, penulis adalah pegiat di Islami Institute Jogja.