
Hujatan dan kata-kata hinaan bergulir tak henti kala sidang Isbat Ramadan 1446 H berlangsung. Akun media sosial Kementerian Agama (Kementerian Agama) pun menjadi sasaran empuk.
Di platform X, banyak warganet mempertanyakan urgensi pelaksanaan sidang Isbat, bahkan ada suara kekecewaan hingga kekesalan keputusan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama, yang terlalu lama menetapkan awal Ramadan. Kata-kata hujatan pun bertebaran.
Nada-nada negatif atas pelaksanaan sidang Isbat juga terdengar di masjid, langgar, dan musholla, terutama di wilayah Indonesia Tengah dan Timur, karna harus menunggu keputusan Menteri Agama terkait awal Ramadan.
Beberapa jemaah langgar, bahkan, harus bolak-balik karna menunggu putusan Menag dibacakan. Di wilayah Kalimantan Selatan, salat Isya dan Tarawih pun baru selesai sekitar pukul 10-11 malam.
Kemenag menjelaskan dalih pelaksanaan sidang Isbat lebih lama dari biasanya. “Kami harus menunggu wilayah yang paling barat di Aceh,” ujar Menag Nasaruddin Umar dalam konferensi pers Sidang Isbat, Jumat (28/2/2025).
Keputusan tersebut diambil karena hilal tidak terlihat di sebagian besar wilayah Indonesia.
Menariknya, klarifikasi ini tidak lantas meredakan “kekecewaan” publik, walaupun diskursus sidang isbat ini lenyap kala Ramadan mulai berjalan.
Fenomena kekecewaan dan hujatan warganet terkait sidang Isbat kemarin merupakan sebagian wajah keberagamaan digital kita.
Warganet bisa dengan bebas bersuara, bahkan menghujat, atas sidang Isbat. Dengan kata lain, otoritas agama dan tradisi keberagamaan tidak lepas dari kritik, hujatan, hingga kata-kata negatif. Bahkan, ada ulama yang mengalami cancel culture dari umat. Apakah wajah keberagamaan di ruang digital kita hanya berurusan negatif saja?
***
Fenomena keluhan dan hujatan atas sidang Isbat kemarin sebenarnya kita bisa melihat dua perubahan sosial di masyarakat Muslim, yakni menguatnya peran kelas menengah Muslim dan media sosial.
Kedua hal ini saling bertaut dan mempengaruhi. Mengapa?
Saya pernah membaca ulasan konom dan akademisi asal Universitas Indonesia, Chatib Basri, yang mengulas soal kelas menengah.
Menurut Basri, “kelas menengah” adalah professional complainer yang tekun.
Hal ini disebabkan ekspektasi tinggi mereka atas kualitas pelayanan jasa publik yang baik. Keluhan-keluhan kelas menengah ini disampaikan di media sosial, dan seringkali mendapatkan dukungan banyak masyarakat. Kritik atas sidang Isbat adalah buktinya.
Ulasan Prof. Basri di atas seakan membuka diskusi baru bagaimana kelas menengah Muslim mengeluhkan beragam pelayanan publik, termasuk urusan agama.
Islam di kalangan kelas menengah Muslim tak sekedar urusan spiritual, namun juga ekspresi di ruang-ruang publik dan transformasi diri. Untuk itu, mereka tak segan menyampaikan kritik atau keluhan jika urusan agama tak sesuai dengan standar mereka.
Ketika Negara hadir mengurusi urusan agama, seperti perihal halal, puasa, hingga haji, menjadi bagian dari amatan kelas menengah Muslim.
Sidang Isbat kemarin bukti bagaimana kelas menengah Muslim berurusan dengan agama. Ketika urusan awal Ramadan tak menentu dan meragukan, maka kelas menengah tak ragu menyuarakan keluhan.
Nasib serupa pun dirasakan pada otoritas agama, seperti ulama atau ustadz. Kelas menengah memiliki relasi tak identik dengan masyarakat tradisionalis dengan ulama. Jika dulu hubungan guru-murid menjadi poros hubungan masyarakat dan otoritas, maka kelas menengah Muslim menambahkan unsur selera.
Maka, eksistensi kelas menengah yang tak canggung bersuara ini memang bisa menjadi penekan secara politik, bila otoritas agama dan Negara tak berbenah diri untuk menghadirkan wajah Islam yang sesuai dengan selera dan dinamika mereka. Sebagaimana disebutkan di atas, Islam tak sekedar ritual dan tradisi keberagamaan, karna urusan konsumsi dan wajah ruang publik pun turut merepresentasikan wajah agama ini.
Sidang Isbat kemarin “terkesan” lama dan meragukan menjadi sasaran keluhan dan hujatan publik, terutama kelas menengah. Tekanan dari kelas menengah Muslim ini sudah banyak menghadirkan perubahan, maka dinamika sidang Isbat hari ini bisa saja berbeda dan beradaptasi untuk mencukupi banyak keluhan dan kritik kemarin.
***
Selain kelas menengah, media sosial menjadi bagian dari perubahan besar keberagamaan kita hari ini. Kehadirannya (baca: media sosial) banyak dicurigai, dituduh, bahkan disebut “tersangka utama” atas pergeseran besar dalam keberagamaan. Masyarakat Muslim hari ini telah banyak mengalami perubahan, menawar, dan tarik-menarik atas ajaran hingga tradisi keberagamaan mereka, terutama di kelas menengah.
Media sosial kemarin menjadi ruang bersuara kelas menengah mengkritik dan mengeluhkan sidang Isbat. Keputusan awal Ramadan dinilai terlalu lambat, meragukan, hingga dianggap terlalu bergantung pada faktor tradisionalis. Menurut warganet, Ramadan seharusnya sudah bisa dipastikan lebih awal dengan bantuan teknologi lebih maju, ketimbang bergantung pada model pengamatan mata telanjang yang dipakai hingga hari ini, terutama di sebagian besar masyarakat Muslim tradisionalis.
Kritik warganet, memang, diarahkan kepada institusi Negara yang mengambil peran besar dalam pengamatan hilal dan penetapan awal Ramadan. Otoritas agama yang terlibat di kegiatan tersebut pun tak lepas dari kritik yang sama. Di media sosial, seorang pelajar baru pun bisa terhubung, bahkan mengkritik langsung Negara dan ulama besar.
Negara, termasuk para ulama, sepertinya harus menemukan formula dan model dari pengamatan hilal dan penetapan awal Ramadan baru, atau paling tidak mereka harus bisa mengkomunikasikan bagaimana proses hingga keputusan diambil. Umat hari ini tidak bisa lagi dibiarkan menunggu dalam ketidakpastian. Mereka akan mencari, menekan, bahkan mendesak Negara, institusi, dan otoritas agama. Relasi-relasi berbasis nilai moral pun tidak lagi bisa menghalangi warganet mengeluarkan pendapat mereka.
Agama hari ini tidak lagi sekedar ajaran atau perasaan spiritual, akan tetapi sudah menjadi bagian dari urusan publik. Negara dan otoritas agama akan terus mendapatkan tekanan, kritik, hingga hujatan jika gagal menghadirkan layanan terbaik dalam urusan tersebut. Hal ini terjadi karna agama tidak lagi bertaut pada relasi guru-murid, namun juga menjadi urusan Negara, perbincangan kelas menengah, dan obrolan di media sosial.
Fatahallahu alaina futuh al-arifin.