Malam tahun baru kemarin saya isi dengan mengedit beberapa halaman tugas, karena memang sedang dikejar deadline, namun, malam itu pada saat pulang ada gerimis yang menyambut saya. Tak lama sesampai di rumah hujan yang cukup lebat menyapa hampir seluruh wilayah di Banjarmasin dan sekitarnya. Kabar tersebut saya dapat dari linimasa media sosial beberapa kenalan dan sahabat saya yang menuliskan kondisi mereka yang sedang berteduh dan lain-lain terkait hujan.
Ada beberapa postingan yang menuliskan kegembiraan karena hujan dianggap sebagai teguran dari Tuhan bagi mereka yang merayakan tahun baru, yang diasumsikan sebagai sebuah tindak yang dilarang oleh agama, terutama Islam. Pada saat pagi, kabar yang beredar di media sosial malah berubah total karena hujan tidak berhenti dan beberapa teman menuliskan di wilayahnya air mulai pasang. Banjir pun tidak terhindarkan, terlebih di wilayah langganan seperti Jakarta.
Postingan yang kemarin malam menyematkan soal “teguran Tuhan” tidak terlihat lagi, telah berubah menjadi harapan untuk banjir bisa secepatnya surut. Sayang seribu sayang, hujan tak kunjung reda dan volume air semakin naik, sehingga wilayah yang terdampak juga semakin luas. Ada hal menarik saat dampak banjir makin meluas, karena ujaran saling serang dan tuduh juga turut makin massif di media sosial.
Kondisi di atas juga diperparah dengan endorse dari media mainstream, baik televisi dan media daring, yang turut serta memanaskan perdebatan yang sudah bergeser lagi ke ranah politik, bahkan dominan Jakarta, seperti membandingkan penyelesaian persoalan banjir antar beberapa kepala daerah, terlebih pada dua sosok yang bertanding di pilkada kemarin.
Netizen akhirnya kembali terpolarisasi pada kubu yang bertanding kemarin, entah apakah ini fenomena belum bisa move on dari pertarungan kemarin, baik yang menang dan kalah. Kedua kubu pendukung masing-masing mengedepankan sosok unggulan mereka sebagai yang pernah atau bisa menghadapi banjir lebih baik. Mungkin saja kita juga turut dalam perdebatan yang seakan tak pernah berhenti dan tak ada ujung ini.
Kondisi di atas akhirnya menggeser atau mengalihkan perhatian kita pada dua hal penting, yaitu penanggulangan banjir yang cepat dan permasalahan ekologi yang dianggap sebagai problem utama penyebab banjir. Anehnya, emosi kita telah menumpul melihat kondisi ini dan kemudian membiarkan atau turut serta di dalam polarisasi tersebut.
Politik Indonesia yang terpolarisasi ini akhirnya menarik banyak orang pada imaji soal emosi kebersamaan, sebagaimana dijelaskan oleh Merlyna Lim dalam Life Is Local in the Imagined GlobalCommunity: Islam and Politics in the Indonesian Blogosphere menjelaskan bahwa ekspansi Internet yang cepat, ditandai oleh badai blog dan platform jejaring sosial, dianggap sebagai instrumen yang memungkinkan bagi siapa saja untuk terlibat secara global.
Dalam artikelnya Merlyna Lim, kita bisa melihat bagaimana umat islam yang bisa terlibat aktif dalam isu-isu terbaru di dunia bahkan jauh dari tempat asalnya. Di mana hal tersebut dimotori oleh media sosial yang telah menjadi kendaraan untuk interaksi global dan pembentukan komunitas global, seperti yang sedang kita hadapi yaitu kelompok pendukung calon.
Beberapa minggu lalu, kita melihat bagaimana postingan seorang Mesut Ozil, bintang Arsenal, menjadi viral terutama di Indonesia karena menyematkan status dukungannya terhadap umat muslim di Uighur. Fakta viralnya dukungan Ozil tersebut, tidak dapat disangkal, peran dari jaringan serat optik global telah menjadi kendaraan untuk mengubah satu keprihatinan lokal menjadi penyebab global dan sebaliknya.
Kembali ke soal Banjir di sekitar kita, yang perlu diperhatikan adalah gema di media sosial dengan segala keriuhannya. Perhatian kita jarang sekali melihat pada jaringan pesan di media sosial, karena menurut Merlyna Lim, pesan-pesan tersebut yang dibagikan secara global tidak secara otomatis mengadvokasi tindakan yang seragam.
Kontekstualisasi lokal wacana global menghasilkan mosaik beragam interpretasi, makna, dan terjemahan menjadi tindakan, titik ini yang kemudian kebanyakan dimanfaatkan oleh buzzer yang bisa membelokkan isu banjir menjadi soal keberpihakan pada salah satu calon. Analisa lingkungan yang mendalam di sebuah penelitian bisa saja dibelokkan menjadi alat atau dalil menyerang pejabat publik karena dianggap tidak becus mengatasi banjir, namun biasanya gema tidak berhenti di sana tapi juga menyerang individu sang pejabat. Secara tidak langsung, kesadaran kita telah sedikit banyak dibelokkan menjadi perdebatan soal politik, padahal dampak banjir tidak akan berhenti jika hanya berdebat.
Fatahallahu alaihi futuh al-arifin