Boxer tak bisa memahami lebih dari huruf D saja. Ia bisa menuliskan A, B,C, D di tanah dengan kukunya yang besar itu, kemudian berdiri menatap huruf-huruf itu dengan kuping menekuk ke belakang, terkadang menggoyangkan jambulnya, sambil berusaha dengan segala daya untuk mengingat huruf apa sesudah itu, tetapi tidak pernah berhasil. Pada beberapa kesempatan, ia memang belajar huruf E, F, G, H, tetapi saat ia mengenal huruf-huruf itu, selalu ketahun bahwa ia lupa A, B, C, D. Akhirnya, ia memutuskan untuk puas saja dengan empat huruf pertama itu dan bisa menuliskan itu semua sekali atau dua kali sehari untuk menyegarkan ingatannya.
Mollie menolak belajar apa saja kecuali enam huruf yang membentuk namanya. Ia membentuknya dengan ranting-ranting menjadi begitu bagus, menghiasnya dengan sekuntum atau dua kuntum bunga, kemudian berjalan mengelilinginya sambil mengagumi karyanya.
Saya tercenung di hadapan narasi Geroge Orwell dalam novel pendeknya, Animal Farm, ini. Saya lalu teringat sesuatu. Tepatnya, sosok yang sangat saya hormati, Prof. Amin Abdullah, salah satu orang hebat di UIN Yogyakarta yang beberapa kali menjadi guru langsung saya di berbagai perkuliahan, dari S-2 sampai S-3.
Ia dikenal sebagai penggagas metodologi “Jaring Laba-Laba” dalam studi Islam. Ringkasnya, sederhananya, menurutnya, kajian studi Islam secara esensial haruslah berpola holistik, menyeluruh, dengan merangkul aspek-aspek normativitas (kedalilan) dan historisitasnya (kesejarahan-kemanusiaan) –beliau kerap menggabarkannya sebagai “dua sisi mata uang, satu sama lainnya tak sama, tapi tak pernah bisa dipisahkan”. Ini fondasi teorinya. Kemudian, untuk mewujudkan hal tersebut, mestilah melibatkan seluruh disiplin ilmu, dari ilmu-ilmu agama murni macam Nahwu, Sharf, Mantiq, Balaghah, hingga Ushul Fiqh, dan ilmu-ilmu umum macam Psikologi, Sosiologi, Antropologi, Kedokteran, Ekonomi, dan sebagainya.
Bayangkan skemanya serupa ini:
Ada lingkaran besar di posisi paling tengah, itulah wilayah sacred Tuhan; kemudian di sekitarnya ada banyak lingkaran ilmu yang saling beririsan satu sama lain, mengelilingi lingkaran utama tadi, saling bergandengan tangan untuk saling melengkapi dan menguatkan. Dari jalinan integrasi-interkoneksi tersebut, begitu istilah beliau, akan lahir pemahaman, konsep, epistemologi, dan paradigma yang menyeluruh terhadap hukum-hukum Tuhan yang dituju oleh semuanya.
Integrasi-interkoneksi bukanlah peleburan satu sama lain. Tidak. Tetapi saling berketersambungan antardisiplin itu dengan tetap pada lokusnya masing-masing; dan hasilnyalah yang kemudian membentuk suatu penyimpulan yang holistik dan integral.
Hop, cukup, ya, biar tak jadi makalah.
Sekarang, sebagai tamsil, mari kita ingat nama ulama besar, Imam Syafii. Dari sejarah, kita mengetahui bahwa beliau bukan hanya ahli Fiqh, tetapi juga Ushul Fiqh, hadis, dan tentu pula al-Qur’an. Di usia 9 tahun, beliau telah hafal al-Qur’an. Beliau berguru hadis kepada Imam Malik. Lalu beliau mulai merumuskan fatwa-fatwa mazhabnya di Irak. Di era inilah, kita kenal dengan istilah Qaul Qadim (fatwa lama). Begitu beliau hijrah ke Mesir, di sinilah beliau mengeluarkan fatwa-fatwa baru (Qaul Jadid), yang sebagiannya merevisi pandangan lamanya, juga menambahkan dan mengadakan pandangan barunya. Contoh fatwa revisi hukumnya ialah perihal waktu shalat Maghrib, yang menjadi lebih panjang durasinya dengan shalat Isya’ dibanding fatwa lamanya yang hanya “sebentar” (kira-kira sampai selesai shalat sunnah).
Pertanyaannya: mengapa beliau melakukan perubahan dan penambahan itu?
Dapat dipastikan bahwa aspek-aspek sosial dan budaya (istilahnya ‘urf dalam Ushul Fiqh atau habitus menurut Pierre Bourdieu) memberikan pengaruh yang luar biasa kepada pertimbangan-pertimbangan hukumnya. Situasi kultural masyarakat dan lingkungan Irak tentulah berbeda dengan Mesir. Belum lagi bila kita menyinggung ranah public sphere. Seluruh perbedaan realitas terlingkup inilah yang menghadirkan pertimbangan hukum (‘ilatul hukmi) yang tak sama satu sama lainnya. Logis dan alamiah belaka bila fatwanya pun berbeda –salah satu prinsip Ushul Fiqh ialah ‘illatul hukmi akan menentukan bentuk fatwa hukumnya kemudian.
Anda bisa membayangkan, bila Irak dan Mesir saja bisa berbeda ‘illatul hukmi, lalu fatwa hukumnya, apalagi Arab Saudi dengan Indonesia. Tentu amat sangat logis dan alamiah saja untuk berbeda. Lalu, mengapa harus dipaksakan sama? Upaya pemaksaan ‘illatul hukmi demi menyeragamkan fatwa hukum akan berisiko menggelincirkan kita pada otentisitas hukum yang relevan dengan kehidupan umattnya –mari pegang ini selalu.
Mari kita ambil contoh perihal hukum bersalaman dengan lawan jenin non mahram. Mazhab Syafii (ini maksudnya adalah fatwa-fatwa langsung Imam Syafii) mengatakan tidak boleh kecuali dengan pakai pembatas, seperti sarung tangan. Di tangan generasi penerusnya, disebut Syafiiyah, ia berubah, bergeser. Mesir sebagai salah satu negeri penganut dominan Mazhab Syafii, melalui grand muftinya, Syekh Yusuf Qardlawi, mengatakan bahwa bersalaman dengan lawan jenis non mahram boleh saja, sepanjang tidak menimbulkan masalah fitnah. Kita mengertilah apa yang dimaksudkan masalah tersebut. Tentu, masalah sensualitas.
Begitupun Imam Nawawi sebagai salah satu penerus utama Mazhab Syafii. Ada pelbagai fatwanya yang tak sama lagi, atau bergeser, dengan imam indukannya. Hal serupa juga dinarasikan Imam Suyuthi yang luar bisa terkenal kealimannya.
Mengapa itu bisa terjadi? Tiada lain ialah disebabkan oleh situasi kultural, ‘urf, habitus, yang dihadapi mengalami perubahan, perkembangan, dan perbedaan.
Anda bayangkan, Imam Syafii yang hidup di abad 7 M, sudah pasti realitas hidupnya, kulturalnya, ‘urf-nya, tantangan hidup masyarakatnya, dan pula hukum-hukum tradisinya, niscaya telah bergeser banyak sekali dibandingkan kita yang hidup di abad 21 ini.
Umpama dalam hal berjabat tangan di negeri ini tetap bersikukuh saklek pada fatwa hukum awal Imam Syafii yang mesti pakai sarung tangan, bayangkanlah ada orang diajak salaman sama kolega bisnisnya yang lawan jenis, lalu dia mengelurkan sarung tangan terlebih dahulu dari kantong celananya, mengenakannya, dan barulah bersalaman, kira-kira kecanggungan situasi relasi sosial dan psikis macam apa yang akan menjenterah? Ini seyogianya menjadi bagian dari kajian dan permenungan kita hari ini.
Mari pula perhatikan perihal penetapan hukum haram terhadap praktik perbankan. Situasi ekonomi global kita hari ini, bayangkanlah, bagaimana mungkin diselesaikan melalui asas cash to cash. Anak Anda kuliah di Jepang atau Mesir, apakah Anda akan mengantarkan uang tunai ke Jepang setiap bulan? Bila anak Anda butuh uang banyak, mungkinkah Anda mengakali pertugas imigrasi di bandara demi memelihara prinsip anti transfer bank?
Ini baru pada sudut pandang ekonomi perbankan. Perhatikan pula bagaimana dalam hal aspek sosiologis anak di Jepang atau Mesir. Apakah Anda akan menyuruh anak Anda pinjam dulu ke teman-temannya, sebagaimana kebiasaan para mahasiswa UIN Jogja, untuk membayar kontrakan dan uang kuiah? Apa benar di Jepang atau Mesir tradisi begitu sama dengan kebiasaan pinjam-meminjam antarmahasiswa Jogja? Dan sebagainya.
Pikirkan pula aspek psikologis anak. Dan sebagainya.
Ternyata, pada konteks demikian, dan inilah yang dimaksud ‘illatul hukmi dalam Ushul Fiqh, dan juga konteks-konteks lainnya yag amat luas, majemuk, bahkan tak terbatas, klaim hukum haram kepada transaksi perbankan, atas nama riba, begitu rawan menghadirkan kesulitan-kesulitan yang musykil dipecahkan. Ya, pada konteks-konteks tertentu, tidak semua konteks dan situasi tentu saja.
Jika Anda bersikukuh bahwa haram ya haram, halal ya halal (al-halalu bayyinun wal haramu bayyinun), lalu menerapkan satu prinsip tersebut saja (catat: satu prinsip saja) secara paten pada keseluruhan realitas hidup Anda, apalagi orang lain, sungguh rawan yang termuncratkan kemudian ternyata hanyalah potensi kesulitan-kesulitan yang luar biasa.
Logikanya: bagaimana mungkin Islam menghendaki umatnya bergelut dengan kesulitan-kesulitan yang sesungguhnya amat mungkin diatasi dengan menggeser perspektif hukum kita?
Mungkin sebagian kita akan mengatakan bahwa ini tak lebih dari hawa nafsu mengenteng-entengkan hukum Allah. Hukum agama Islam kok dibuat dolanan, bisa diubah sana sini sesuai kehendak dan kepentingan belaka?
Sebentar. Yang berubah, dan niscaya takkan pernah steril dari dinamika zaman dan lokasi hidup kita, karena kita bagian integral dari suatu lingkungan masyarakat dan negara, suatu habitus, bukanlah kulliyah-nya, asasiahnya, tetapi juz-iyyah-nya, cabang-cabangnya, atau teknis-teknisnya. Kulliyah adalah maqashid syariat-nya. Ia tetap, baku, permanen, dari awal diturunkan hingga akhir zaman. Yang bisa bergeser adalah wujud ejawantahnya, praksisnya, dan inilah yang dimaksud cabang-cabangnya atau teknis-teknisnya.
Sejak dulu kala hingga akhir zaman, menutup aurat adalah wajib. Ini hukum kulli-nya. Tetapi pada bentuk penerapannya, itu adalah juz-i. Dan ini amat bisa berubah, bergeser, tak sama satu wilayah satu zaman dengan wilayah dan zaman lainnya. Sepanjang bentuk-bentuk ejawantahnya telah memenuhi prinsip dasar kulli tadi, maka ia bisa diterima “telah sesuatu dengan syariat menutup aurat”. Dan sebaliknya.
Bayangkanlah hukum kulli itu adalah payung besar yang menaungi begitu banyak hal di bawahnya. Semuanya harus berada di dalam payung itu agar tak kena tetesan air hujan. Cara orang bernaung di dalam payung itu dipersilakan saja sesuai dengan ‘urf-nya. Kemajemukan lalu menjadi keniscayaan belaka.
Dalam ungkapan Prof. Quarish Shihab, shiratal mustaqim (jalan yang lurus) adalah satu. Tapi ia adalah jalan yang sangat lebar, lebar sekali, tidak sempit dan tunggal (Anda bisa menyimak surat al-Kahfi ayat 109; Luqman ayat 27). Lalu ada subulus salam, jalan-jalan keselamatan, dengan redaksi jamak, bukan mufrad (tunggal), yang menisbatkan bahwa jalan-jalan keselamatan itu semuanya bisa tertampung dalam satu jalan besar yang lurus bernama shiratal mustaqim.
Sudah pasti, orang yang mengenal dan memahami banyak disiplin ilmu, bukan hanya tahu ayat dan hadis, akan memiliki jangkauan perspektif yang lebih luas pula dalam memandang suatu realitas. Ovo akan Anda anggap haram jika Anda hanya tahunya hadis tentang jual-beli hendaknya ada barang nyata yang disaksikan kedua belah pihak. Tetapi jika Anda paham situasi ekonomi, teknologi, dan psikologi masyarakat milenial kini, keberadaan Ovo tidak lagi akan sesederhana, bahkan sesimplistis, begitu uusannya. Ovo akan kemudian dipandang dengan cara yang tak sealakadarnya tiada wujud fisiknya saja.
Walhasil, perspektif hukum yang berbeda itu pun akan menghadiakan penyimpulan hukum yang juga berbeda. Yang mana yang benar? Ingat sajalah pada prinsip subulus salam yang tertampung dalam shiratal mustaqim itu.
Maka, jelaslah bahwa memang orang-orang yang tahunya hanya huruf A, B, C, D ala Boxer tadi, maupun Mollie yang tahunya hanya enam huruf sesuai namanya, sebagaimana dikisahkan Orwell di atas, takkan bisa menuliskan dengan lengkap, utuh, dan migunani seluasnya dibanding orang-orang yang benar-benar paham seluruh huruf abjad itu.
Sebagaimana orang yang tahunya ilmu menulis harus diawali dengan Subyek, ia akan terperangah gagap bila menemukan kalimat: “Di Pasar, angin berlalu-lalang sebegitu bacinnya.” Apakah itu akan Anda katakan salah? Begitu kerawanannya bila kita hanya tahu sedikit, apalagi sekadar satu ayat dan satu hadis, lalu berani menciptaka fatwa hukum.
Prof. Amin Abdullah saya kira sangat inspiratif dengan metodologi Jaring Laba-Labanya. Bahwa kajian studi Islam dan segala mekanisme pembentukan hukum Islam seyogianya tidak hanya mengandalkan satu ilmu, misal Ushul Fiqh warisan para ulama salaf, tetapi juga mesti beranjak lebih jauh merangkul pelbagai disiplin ilmu kontemporer yang menjadi bagian dari realitas hidup kita hari ini. Ilmu-ilmu metode tafsir al-Qur’an lama tentu saja tetap mesti dilibatkan.
Tidak mungkin tidak, sebab itulah bagian dari jalan menggali konteks masa lalunya. Tetapi ilmu-ilmu kontemporer pun mesti diselibatkan secara intens, untuk memberikan konteks kepada masa kini. Persandingan kedua konteks ini tentulah akan menghasilkan suasana pelaminan yang lebih sahdu, ceria, dan membahagiakan buat semua pihak.
Begitulah kiranya.