Ada beberapa faktor yang membuat orang beragama bersikap intoleran dengan kelompok agama lain. Idealnya atau seharusnya, orang beragama itu toleran dan pluralis dalam bersikap. Bukan malah sebaliknya: intoleran dan anti-pluralisme. Lalu, apa faktor-faktor yang membuat orang beragama malah anti toleransi dan pluralisme?
Salah satu faktor mendasar adalah kuper alias kurangnya pengalaman, pergaulan, dan pergumulan dengan komunitas agama lain. Pengetahuan tinggi tidak menjamin seseorang bisa menjadi toleran dan pluralis jika tidak diiringi dengan pengalaman pergaulan dan pergumulan yang memadai dengan kelompok agama lain. Karena itu jangan heran, kalau ada banyak “orang pinter” tapi “keblinger” alias tidak ramah dengan keanekaragaman. Bahkan pengalaman pergaulan lintas-agama itupun tidak menjamin orang bersikap toleran, jika mereka tidak memiliki komitmen yang tulus untuk saling mengenali dan memahami keunikan masing-masing tradisi dan agama. Dengan kata lain, bukan sekedar “pengalaman empiris” tetapi “pengalaman transformatif” yang membuat sebuah pengalaman bisa lebih bermakna dan berdampak positif bagi muncul dan tumbuhnya sikap keberagamaan yang toleran dan pluralis.
Karena itu pula jangan heran jika Anda melihat orang-orang kampung yang polos, sederhana dan “minim” wawasan dan ilmu-pengetahuan mereka tetapi mampu bersikap toleran. Bukan karena “ilmu pengetahuan” yang membuat “wong cilik” dan “wong kampung” bersikap toleran tetapi lantaran mereka diperkaya dengan pengalaman yang “transforming” dengan seringnya bergaul dan bergumul dengan berbagai komunitas di berbagai acara-acara sosial, adat, dan kehidupan sehari-sehari mereka. Lagi pula, orang kampung dan wong cilik kebanyakan lebih suka memilih sikap “pragmatis”, simpel dan “tidak neko-neko” dalam kehidupan sosial-keagamaan. Ini berbeda dengan sikap “idealis” seperti yang dipraktekkan oleh sejumlah ormas keagamaan intoleran.
Lalu, apakah ilmu-pengetahuan itu sendiri bisa membuat orang bersikap pluralis dan toleran tanpa harus diiringi dengan pengalaman? Bisa, asalkan kita mendalami ilmu-pengetahuan itu dari berbagai sudut pandang. Kebanyakan umat beragama hanya mengaji dan mendalami ilmu pengetahuan dari satu sudut pandang saja sehingga wawasannya tidak “komprehensif”.
Padahal, dengan mempelajari ilmu pengetahuan dari berbagai sudut pandang, mata hati dan pemikiran kita akan lebih terbuka dan maklum dengan fakta-fakta keanekaragaman pendapat yang bisa memperkaya cakrawala dan wawasan kita tentang sebuah masalah dan fenomena sosial-keagamaan sehingga tidak “kaku-njeku” seperti tiang listrik dalam berpendapat dan bersikap.
Karena itu saya sarankan kepada umat Islam khususnya, lebih khusus lagi bagi yang mau belajar, untuk mengaji dan mengkaji keislaman dari berbagai sudut pandang: sudut pandang Sunni, Shiah, Ibadi, Mu’tazilah, dlsb; sudut pandang berbagai ulama di berbagai mazhab: Maliki, Syafii, Hanafi, Hanbali, Ja’fari, dlsb; sudut pandang berbagai ulama tafsir dan hadis; sudut pandang berbagai disiplin: Islamic studies, antropologi, sejarah, sosiologi, dlsb; sudut pandang berbagai ilmu keislaman: fiqih, usul fiqih, akidah, tasawuf, filsafat, akhlak, dlsb.
Dengan berselancar ke berbagai sudut pandang ini, kita akan tahu betapa luasnya khazanah Islam laksana samudra yang tak bertepi, dan betapa mininya wawasan dan ilmu pengetahuan kita semini metromini di Jakarta dan kota-kota di Indonesia. Dengan berselancar ini pula akan membantu dan mengantarkan kita menjadi “rajawali” di langit yang mahaluas bukan menjadi “kodok” di dalam tempurung.
Apakah pengetahuan yang luas dan pengalaman yang kaya bisa menjamin orang menjadi toleran dan pluralis? Tidak. Jika hati dan pikiran kita penuh dengan “kotoran” dan “kepentingan”, maka seluas apapun pengetahuan kita dan sekaya apapun pengalaman kita, maka kita tidak mampu dan tidak akan tumbuh menjadi pribadi-pribadi yang bijak, toleran, dan pluralis.