Jika Anda melihat semua hasil survey Pilpres akhir-akhir ini, Anda diberitahu kemungkinan bahwa Jokowi akan menang dalam Pilpres April mendatang. Tidak saja menang. Dia akan menang besar.
Prabowo tampak terseok-seok. Majalah Tempo memberitakan bahwa kampanyenya kekurangan dana. Itu juga yang menyebabkan Prabowo tidak bisa berkeliling Indonesia untuk berkampanye. Sandiaga Uno, wakilnya, menjelaskan bahwa dia harus berhemat-hemat dan sangat hati-hati menentukan target kampanyenya.
Pendukung Jokowi bersorak ketika video Prabowo berdansa di perayaan Natal keluarga ‘bocor’ keluar. Prabowo tampak lepas berdansa-dansi. Demikian juga ada video lain dimana Prabowo tampak menari gembira diiringi musik Papua.
Orang dengan segera menunjuk adanya hipokrisi dari Prabowo, calon presiden pilihan ijtima ulama. Sementara para ulama sekeliling Prabowo mengharamkan ucapan Natal, capres mereka malah berdansa-dansi merayakan Natal.
Benarkah Prabowo tidak ada kans untuk menang dan Jokowi akan melenggang dengan mudah?
Untuk saya sendiri, Pilpres ini agak sulit untuk ditebak. Sekalipun, sebagai orang yang belajar ilmu politik, saya memperhatikan survei, namun saya menangkap nuansa lain dari elektorat Indonesia saat ini.
Itulah sebabnya tempo hari saya membagikan tulisan Linda Christanty, yang menurut saya mewakili apa yang saya tangkap dan rasakan. Tulisan itu ditanggapi dengan gusar oleh pendukung Jokowi.
Penulis seperti Linda memang hanya memakai satu orang untuk menarasikan apa yang dia lihat sehari-hari. Namun satu orang itu mewakili puluhan mungkin ratusan orang yang dia jumpai.
Seorang penulis yang baik berusaha menangkap ‘jiwa’ yang ditulisnya. Persis itulah yang dilakukan oleh Linda. Dia menuliskan ‘mood’ elektorat yang mayoritas orang biasa.
Untuk saya, tulisan Linda itu seperti sebuah etnografi dalam antropologi. Persis disinilah soalnya. Antropologi bisa menangkap apa yang tidak bisa dimengerti oleh survei, polling, dan modelling yang dilakukan ilmuwan politik.
Bagaimana mengerti mengapa sistem demokrasi membuat orang seperti Trump di Amerika atau Jair Bolsonaro di Brasil bisa menang? Dua orang ini adalah anti-tesis dari semua ideal yang hendak dicapai oleh demokrasi. Ironisnya, mereka menang lewat demokrasi.
Saya tidak berpretensi bahwa saya ahli soal politik Brasilia. Saya juga tidak terlalu paham mengapa Bolsonaro — mantan tentara berpangkat kapten, yang mengidolakan kediktoran militer, suka melecehkan perempuan, anti-LGBT, anti-lingkungan, dan hiper-nasionalistik — itu bisa memang.
Namun, saya mendapati bahwa interview dengan seorang antropolog, Benjamin Junge, ini menarik. Untuk saya, dia berhasil menangkap perasaan elektorat di kalangan kelas pekerja di Brasil, terutama bekas pendukung presiden kiri yang sangat populer, Luiz Inácio “Lula” da Silva, yang kini dipenjara karena tuduhan korupsi itu.
Junge menangkap banyak faktor di balik kemenangan Bolsonaro ini. Dia mengatakan bahwa pendukung Bolsonaro, orang-orang kanan-garis keras yang memilih Bolsonaro karena mereka menyukainya dan setuju dengan pandangan-pandangannya, sesungguhnya hanya minoritas kecil.
Pendukung Partai Buruh (Workers’ Party), yang adalah partainya Lula masih sangat besar. Mereka masih pakai kaos partai buruh. Mereka juga pasti akan memilih Lula jika dia berhasil menjadi calon (dia berusaha, tapi tidak berhasil menjadi kandidat).
Mengapa pendukung Lula beralih memilih Bolsonaro? Junge menjawabnya dengan ilustrasi ketika Lula dihukum karena kasus korupsi. Dia bicara tentang seorang perempuan tua di kampung tempat dia melakukan penelitian.
Perempuan ini dianggap sebagai matriarkh dari keluarga besarnya. Ibu ini muak dan marah karena kasus korupsi Lula, namun dia juga tidak bisa menyembunyikan kecintaannya kepada Lula, yang sudah banyak berbuat untuk dirinya dan keluarganya.
Saya tertarik akan bagaimana Junge menggambarkan sikap perempuan itu tehadap Lula. “Orang ini (Lula) bikin banyak sekali hal yang baik dan mungkin akan bisa bikin jauh lebih banyak kebaikan, tapi dia tidak atau gagal melakukannya.”
Orang-orang ini, menurut Junge, adalah golongan kelas buruh. Mereka terangkat dari garis kemiskinan karena kebijakan Lula. Mereka mendapat jaminan kesehatan karena Lula. Kebanyakan dari mereka menjadi kelas menengah bawah karena Lula. Namun, sejak 2014, ketika Lula berhenti menjadi presiden, kondisi mereka merosot miskin lagi.
Tapi mengapa mereka tidak mencoblos orang yang ditunjuk Lula menjadi penggantinya, Fernando Haddad? Kenyataan ini yang membikin ilmuwan politik garuk-garuk kepala. Ini irrasional. Jika mereka mencintai Lula, mereka harusnya memilih Haddad.
Juga, bukankah dibawah Haddad, si ibu matriarkh dan keluarganya ini (serta seluruh kelas buruh) akan kembali mendapatkan kebijakan seperti jaman Lula dan kembali menjadi kelas menengah?
Hidup sosial tidak linier. Jungen menunjuk pada satu faktor mengapa Bolsonaro bisa mengikat dukungan dari si ibu martiarkh ini. Kuncinya ada di media sosial.
Sama seperti di Indonesia, sebagian besar penduduk Brasil terhubung dengan media sosial, khususnya WhatsApp dan Facebook. WhatsApp (WA) mendominasi orang mudah membuat WA group. Hampir setiap asosiasi sosial kini terhubung lewat WA group atau FB group.
Anehnya, Jungen tidak terlalu menekankan berita bohong (hoaxes dan fake news) sebagai faktor utama yang membuat si ibu matriarkh ini mendukung Bolsonaro. Ada faktor lain yang lebih penting.
Di keluarganya, hanya anak tertuanya (dari lima yang dia punyai) yang mendukung Bolsonaro. Dia sering membagi pesan dan berita tentang Bolsonaro di keluarganya. Akibatnya, dia sering didebat oleh keponakannya yang baru masuk universitas.
Nah, disinilah anehnya. Si ibu matriarkh ini sangat terganggu debat dan perpecahan yang terjadi dalam keluarganya. Namun pada saat yang bersamaan, kejengkelan ini menyebabkan dia tertarik pada Bolsonaro, yang berjanji akan membawa kembali Brasil menjadi masyarakat yang tertib dan taat, sistem yang hanya bisa dilakukan lewat cara-cara kediktatoran militer. Mimpi yang sama yang secara alamiah dimiliki oleh seorang matriarkh.
Kultur ingatan di Brasil tentang kekejaman kediktatoran militer memang berbeda dengan negara-negara tetangganya. Jika di Argentina atau Chile, pemerintah berusaha untuk mengingat kembali kekejaman dan kesalahan dari kediktatoran militer. Di Brasil, selama dua puluh tahun sesudah pemerintahan militer, mereka berusaha untuk melupakan dan bahkan membangun dialog antara jagal dengan korbannya. Tidak adanya memori tentang kekejaman kediktatoran militer tentu memudahkan Bolsonaro untuk berkuasa.
Namun untuk saya ada bagian yang lebih menarik. Yaitu ketika suatu saat Junge berjumpa ibu matriarkh ini di jalan. Seperti biasa, dia bertanya tentang Pilpres. Si ibu menjawab mengomel sambil mengeluarkan hapenya. Dia memperlihatkan video gadis-gadis muda yang membuka pakaiannya dan bertelanjang dada di depan umum. Dia bertanya pada Junge, “Saya nggak mau masyarakat kayak gini! Ini yang kamu dapat kalau kamu pilih Partai Buruh!.”
Sekali lagi, saya ingin menekankan, bukan hoax atau berita bohong yang pertama-tama membuat pemilih Brasil memilih Bolsonaro. Tetapi, sesuatu yang dirasakan akan mengubah masyarakat yang dia kenal. Sesuatu yang dirasakan bertabrakan dengan nilai-nilainya.
Nah, adakah ini bergema di Indonesia? Itu juga yang menjadi refleksi saya.
Semakin saya mendalami, semakin saya melihat kesalahan besar dari Jokowi. Seperti kalangan kelas buruh pendukung Lula, demikian pula yang saya lihat pada pendukung Jokowi saat ini. Jokowi banyak membikin hal yang baik. Tapi sesungguhnya dia bisa melakukan lebih banyak lagi namun dia gagal atau memilih tidak melakukannya karena akan merugikan dia secara politis.
Banyak sekali pendukung Jokowi yang kecewa karena dia meninggalkan isu HAM sama sekali. Padahal dia terpilih, salah satunya karena isu ini. Dia membuat banyak infrastruktur, mempersingkat waktu tempuh antar-kota, namun dia sama sekali tidak menyentuh isu keadilan sosial. Dia dipilih dengan harapan melindungi minoritas, ini pun dia tinggalkan seluruhnya. Dia dipilih untuk memberi keadilan pada para korban HAM, namun orang dengan mudah menunjuk beberapa orang yang sangat bermasalah di lingkaran terdalamnya.
Yang paling menohok adalah ketika Prabowo bergerak ke kanan, dengan merangkul golongan Islam kanan, Jokowi berusaha menjadi lebih kanan. Kini, Prabowo dengan cerdik bergerak ke tengah. Dia menari. Dia berdansa. Dia menurunkan retorik agamisnya. Dia mulai membongkar isu-isu ekonomi.
Jokowi mengira bahwa dengan bergerak ke kanan, dia akan bisa menghentikan dukungan Prabowo. Itu tidak terjadi. Dukung terhadap Prabowo ‘rock solid’ di kanan. Memang jumlahnya kecil. Namun ini pendukung fanatik, dengan suara keras dan berusaha berteriak dengan kekuatan mega-decibel.
Inilah yang tidak dipunyai oleh Jokowi. Massa dia lebih moderat dan cenderung untuk tidak bersuara. Mereka dulu memilih Jokowi justru karena janji-janji — yang sebagian besar tidak dipenuhinya itu.
Apakah orang-orang ini akan memilih Prabowo? Sama sekali tidak. Mereka akan menjadi golput (non-voting). Rumusan saya adalah: Jika Prabowo menang, maka itu bukan karena programnya atau karena dia dicintai dan didukung oleh pemilih; tetapi karena Jokowi tidak mampu menarik suara yang Golput, karena Jokowi meninggalkan semua ideal yang membuatnya terpilih pada 2014. Kedengarannya keras dan pahit. Tapi itulah yang terjadi.
Jokowi akan kalah karena Golput. Dan sampai kini pun kampanyenya tidak sedikit pun mau membuat ‘appeal’ kepada mereka yang Golput. Budi Pego? Diam. Kendeng? Diam. Sawit? Malah mendukung. Airport Jogja? Pro. Reklamasi di Bali? Diam-diam pro. Soal PKI? Pro-tentara dan golongan kanan. Anda bisa membikin daftar yang panjangnya ratusan.
Diakui atau tidak, isu-isu inilah yang membuat orang menjadi Golput. Dan kita tidak tahu berapa jumlahnya.
Polling-polling sekarang ini hampir sebagian besar menunjuk keunggulan Jokowi. Bahkan dua digit. Namun saya tidak optimis.
Ada banyak hal yang tersembunyi dalam elektorat yang tidak bisa disentuh oleh polling. Pemilih kulit putih tidak akan menunjukkan preferensinya jika kandidat yang ditanyakan berkulit hitam. Karena mereka takut dicap rasis. Ini yang dinamakan sebagai ‘Bradley effect’ (silahkan di-Google kalau belum paham).
Juga pesan-pesan yang mengalir lewat media sosial, khususnya WA group, yang sulit dideteksi. Kita bisa menelusuri twitter, tapi lebih sulit lagi WA group.
Itulah, saya kira untuk mengerti ini kita membutuhkan antropolog yang mau melakukan etnografi. Antropolog bisa mengisi kekosongan ketika ilmuwan politik tidak mampu menangkap psyche masyarakat.