Bukan hal yang langka jika sebagian kita melihat seorang istri berpenghasilan lebih banyak dari suami sebagai suatu polemik. Katanya, hal ini bisa membuat istri menjadi sewenang-wenang dan merasa lebih dari suami dan bisa menjatuhkan harga diri suami. Terlebih, keadaan itu dapat menjadi salah satu pemicu retaknya keharmonisan keluarga, karena istri ideal nan saleha itu tidak boleh melampaui suami, Benarkah demikian?
Terdapat suatu istilah modern yang disebut toxic masculinity, alias racun maskulinitas, yang kurang lebih berarti perasaan menjaga “harga diri sebagai lelaki” dengan cara yang merusak, baik di dalam suatu hubungan, keluarga, ke lawan jenis bahkan kepada dirinya sendiri.
Contoh ringan dalam rumah tangga, misalnya merasa bahwa istrinya tidak boleh leluasa melakukan suatu hal biasa tanppa izin suami alias menuntut kontrol penuh atas istri, contoh lain adalah merasa tidak rela jika istrinya memiliki pendapatan lebih tinggi atau lebih sukses. Dalam kasus berat, sikap racun maskulinitas ini bisa memicu perasaan berhak menyakiti dan berhak memaksa.
Padahal, apa buruknya memiliki istri bergaji lebih tinggi? Bukankah itu suatu hal yang bagus? Memangnya kita bisa mengatur Allah supaya rezeki keluarga hanya bersumber dari suami? Dan bukannya sebagai pasangan hidup yang baik, kita sepatutnya mendukung dan menyukuri kebaikan yang diterima pasangan kita?
Apakah racun maskulinitas ini bisa mendorong kepada sikap kufur nikmat? Bukankah kualitas suatu hubungan bukan hanya tentang karir dan gaji, tapi juga kebersamaan dan kepercayaan?
Nabi SAW, ketika berusia 25 tahun, hanya karyawan biasa, bukan golongan bangsawan pula, apalagi kaya raya. Pengalaman kerjanya pun, selain berdagang beliau hanya pernah menggembala domba, sama sekali bukan pekerjaan yang prestis.
Sedangkan Khadijah RA adalah putri dari pemimpin suku terhormat dan juga pengusaha sukses, yang dalam suatu riwayat diceritakan bahwa karavan milik Khadijah adalah sama dengan jumlah total dari semua karavan milik seluruh suku Quraisy.
Sayyidah Khadijah meminang Rasulullah dan beliau menerima tanpa syarat harus meninggalkan karir dan mengabdi menjadi ibu rumah tangga, padahal saat itu budaya patriarki sangat kuat, tapi Beliau menghormati Khadijah dan begitu pula sebaliknya Khadijah mempercayai Nabi yang bahkan ketika wahyu pertama turun, Khadijah adalah orang pertama yang mengimani Nabi SAW.
Muhammad SAW adalah manusia sempurna panutan umat Islam dan beliau tidak sedikitpun harga dirinya terluka karena beristri bangsawan pengusaha kaya. Bahkan setelah menikah, Nabi tetap menjalani gaya hidupnya yang sederhana.
Tidak ada perempuan yang mampu membuat suaminya menjadi lelaki sejati, jika lelaki itu memang bukan benar-benar lelaki sejati, walaupun perempuan tersebut telah merendahkan dirinya, agar suaminya bisa merasa hebat. Nabi SAW justeru tidak pernah minder dan marah ketika istrinya berhasil.
Dalam kisah lain, sahabat Abdullah bin Mas’ud tidak lebih kaya dari istrinya Zainab as-Tsaqafiyah, ia bahkan menerima sedekah dari istrinya.
Relasi suami-istri bukan suatu komitmen jangka pendek, alangkah indahnya jika satu sama lain bisa saling mendukung untuk mencapai potensi diri yang lebih tinggi. Perihal mengurus keluarga, suami dan istri punya tanggung jawab bersama.
Suami adalah pemimpin keluarga, kualitas pemimpin yang baik adalah yang memiliki empati dan tidak anti dialog. Selain sebagai pemimpin, suami juga kekasih dan sahabat. Seorang suami yang memiliki kualitas pemimpin sekaligus kekasih dan sahabat tidak akan merasa kerdil karena kesuksesan wanita yang dia cintai.
Jadi, jangan anggap istri adalah pesaing! Masing-masing kita, laki-laki dan perempuan sudah dikaruniai Allah satu paket kelebihan dan kekurangan. Hiduplah bersama untuk saling mendukung untuk menjadi pribadi yang lebih mulia, saling menasihati, dan sukses dunia akhirat. Jangan lupa bersyukur jika istri menjadi jalur rezeki untuk keluarga.
Wallahu a’lam