Perempuan Bekerja, Apakah Perlu Izin Suami?

Perempuan Bekerja, Apakah Perlu Izin Suami?

Perempuan dibolehkan untuk bekerja dan beraktivitas di luar rumah, tapi apakah butuh izin suami?

Perempuan Bekerja, Apakah Perlu Izin Suami?
Ilustrasi perempuan bekerja (Freepik)

Lies Marcoes dalam pengantar Perempuan Bukan Sumber Fitnah, menulis dalam kajian feminisme dan Islam, hadis-harus diakui- merupakan satu eleman dari konstruksi gender yang dianggap bertanggung jawab dalam merendahkan posisi perempuan. Dan ini berbeda dengan kitab suci Al-Qur’an, yang dianggap sebagai sumber teks suci Islam yang menawarkan gagasan radikal mengenai konsep kesetaraan manusia—kesetaraan laki-laki dan perempuan.

Dalam artikel berjudul Memilih Berdaya Bersama Hadis, ia menyebutkan bahwa tak bisa dipungkiri banyak sekali hadis-hadis, dengan jelas secara eksplisit menyubordinasikan perempuan atau mengandung ujaran misoginis. Bahkan melalui hadis-hadis tersebut para filsuf abad pertengahan justru memilih untuk merumuskan etika kebijakan yang hierarkis dan berpusat pada laki-laki. Dengan mengutip Zahra Ayubi, dalam buku Gendered Morality, Lies Marcoes menjelaskan bahwa pandangan-pandangan yang bersumber dari hadis menjadi sumber dalam filsafat etika Islam, yang menjadikan posisi perempuan sebagai obyek untuk kesempurnaan akhlak laki-laki, terutama dalam tasawuf saat mereka menjalani tarekat.

Dalam persoalan ini tidak ada niat untuk merendahkan hadis Nabi. Dalam Islam, hadis merupakan sabda Nabi Muhammad, yang menjadi yang menjadi sumber kebenaran. Derajat hadis setingkat di bawah Al-Qur’an. Namun penting diketahui bahwa hadis, seperti kata Lies Marcoes adalah sebuah produk pengetahuan yang melibatkan manusia, dan melalui seperangkat proses rigid dan rumit untuk menguji autensitasnya. Tak mengherankan kemudian ada klasifikasi dan tingkatan hadis, shahih, hasan, dhaif, dan palsu, dan lainnya.

Tak jarang hadis kemudian dikutip untuk melegitimasi pelbagai hal yang memojokkan perempuan. Misalnya, perempuan dianggap sebagai sumber fitnah, dan suara perempuan adalah aurat. Dalam dua hal tersebut, ulama banyak mengutip hadis Nabi, yang penjelasannya bisa kita kutipkan dalam pelbagai kitab.

 مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِي النَّاسِ فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ

Artinya:

“Aku tidak meninggalkan fitnah yang lebih besar bagi laki-laki selain dari perempuan,” (HR Al-Bukhari Nonor 5152).

أَلَا فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ

Artinya:

“Ketahuilah, takutlah kalian terhadap dunia dan para wanita,

Hadis-hadis ini banyak sekali dikutipkan untuk berhat-hati pada perempuan. Bahkan tak jarang sebagai alasan mendiskriminasikan perempuan. Misalnya, hadis ini menjadi alasan bahwa perempuan tak bisa pergi keluar tanpa izin suami. Perempuan tak boleh bekerja di luar rumah, disebabkan sumber fitnah.

Perempuan Bekerja

Akhir-akhir ini memang banyak sekali beredar di kalangan muslim yang menyebutkan bahwa perempuan adalah sumber fitnah. Seorang muslim, terutama laki-laki harus waspada. Atas dasar ini pula beredar larangan beraktivitas bagi perempuan. Misalnya perempuan dilarang dalam gaya berpakaian, tidak diperkenankan merias diri, bahkan dilarang dalam bekerja dan terlibat dalam pekerjaan publik, yang melibatkan massa yang banyak jumlahnya.

Pandangan ini juga menyebabkan banyak istri yang berhenti bekerja. Mengubur mimpi dan karier yang sudah dimimpikan. Lebih jauh lagi, semua aktivitas rumah juga dilarang, dengan asumsi, perempuan sumber fitnah dan aurat.

Faqihuddin Abdul Kodir, dalam Perempuan Bukan Sumber Fitnah; Mengaji Ulang Hadis dengan Metode Mubadalah, pandangan yang menganggap perempuan adalah aurat dan sumber fitnah, akan berimplikasi pada suami harus keluar rumah harus izin suami mutlak. Tak sampai di situ, perempuan yang memiliki ilmu setinggi apapun, atau menempuh pendidikan setinggi langit, atau memiliki manfaat yang luas terhadap masyarakat akan terhenti, jika mengamini narasi perempuan harus izin suami ke mana pun pergi. Hal itu berimbas, ilmu dan keahliannya tidak memberikan manfaat kepada masyarakat umum.

Perempuan Bekerja antara Izin suami atau Hak Asasi Perempuan?

Jika kita menilisik hadis Nabi, sebenarnya tidak ada hadis yang berbicara mengenai izin suami secara mutlak dalam segala hal, begitu kata Kiyai Faqih. Hadis yang menyiratkan kemutlakan mengenai izin derajatnya maudhu’ atau dhaif, tidak ada yang shahih atau hasan.

Kendati demikian, tak bisa dipungkiri para ulama fikih dan hadis memang ada yang membicarakan pentingnya izin suami untuk beberapa kasus, tetapi sifatnya ini bukan mutlak, seperti keluar rumah. Tetapi tidak berhenti di sana, faktanya ada beragam pandangan ulama tentang batasan dan pra syarat izin keluar rumah.

Menurut Kyai Faqih dalam  Perempuan Bukan Sumber Fitnah, justu banyak hadis Nabi yang justru melarang para suami mencegah istrinya keluar rumah untuk shalat di masjid. Misalnya hadis yang berbunyi;

حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ قَالَ أَنْبَأَنَا سُفْيَانُ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ سَالِمٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اسْتَأْذَنَتْ امْرَأَةُ أَحَدِكُمْ إِلَى الْمَسْجِدِ فَلَا يَمْنَعْهَا

Artinya:

“Telah mengabarkan kepada kami [Ishaq bin Ibrahim] dia berkata; telah memberitakan kepada kami [Sufyan] dari [Az-Zuhri] dari [Salim] dari [bapaknya], dia berkata; bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda, “Apabila istri salah seorang dari kalian minta izin untuk ke masjid, janganlah ia mencegahnya.”

Berdasarkan hadis shahih ini, menurut kiyai Faqihuddin, banyak ulama memberikan pra syarat bahwa jika untuk hal-ahl wajib atau bermanfaat, tidak perlu izin suami. Lebih tepatnya, suami tidak diperbolehkan melarang , apabila melarang, maka larangan tersebut tidak sah, sehinga istri boleh pergi keluar rumah untuk suatu kewajiban dan melakuka kebaikan di luar rumah.

Dalam Fiqih Perempuan; Refleksi Kiai atas Tafsir Wacana Agama dan Gender, menjelaskan bahwa dalam kondisi atau keadaan tertentu, istri justru diwajibkan untuk bekerja. Misalnya itu disebabkan menanggung biaya hidupnya sendiri beserta keluarganya, disebabkan tidak adanya lagi orang yang membiayai  atau menafkahi.

Ibnu Qudamah dalam kitab al Mughni jilid VII, halaman 573 berkata;

“Jika seorang suami , karena miskinnya tdaim dapat memberikan nafkah untuk istrinya, maka istri boleh memilih di antara dua hal; bersabar menerima keadaan itu, atau mengajukan fasakh. sebagian ulama lain, seperti Abu Yusuf, Az Zuhri, dan Abu hanifah menyebutkan istri tidak boleh faskah nikah, tetapi suami harus menyatakan secara terang atas ketidakmampuannya bekerja, dan membiarkan istrinya untuk bekerja. Pasalnya, itu adalah hak individual istrinya.”

Pendek kata, seyogianya substansi dari persoalan “izin harus izin suami” termasuk dalam bekerja adalah persoalan membangun komunikasi yang baik, dari kedua belah pihak; suami ke istri, demikian sebaliknya, istri ke suami. Seorang istri yang ingin pergi jauh, misalnya seyogianya memberikan kabar pada suaminya, agar suami tahu dan ikut bertanggungjawab. Izin dari suami, kata kiyai Faqih, sesuatu yang bersifat resiprokal. Dengan demikian, tidak elok jika seorang suami menggunakan narasi “izin suami”, untuk bertindak diskriminasi, menghegemoni, dan mendominasi dalam rumah tangga.

*Artikel merupakan hasil kerja sama dengan Rumah KitaB atas dukungan investing in women dalam mendukung perempuan bekerja