Bulan Dzulhijjah, selain terdapat ibadah besar seperti haji dan Idul Adha, di bulan Dzulhijjah juga terdapat satu lagi ibadah sosial, yakni qurban.
Qurban hukumnya sunnah muakkad (sangat dianjurkan), bahkan hukumnya lebih utama dari sekedar sedekah hewan biasa, anjuran ini diungkapkan oleh Imam Syafi’i dalam kitab al-Um. Bahkan beliau tidak menolerir orang yang mampu melakukan qurban namun tak kunjung melakukannya:
ولقول الشافعي رضي الله عنه: لَا أُرَخِّصُ فِي تَرْكِهَا لِمَنْ قَدَرَ عَلَيْهَا
Artinya :
Dan karena pendapat imam Syafi’i: Aku tidak menolerir bagi orang yang mampu berqurban dan ia meninggalkannya. (makruh meninggalkanya).
Hukum qurban akan menjadi wajib bila di nadzari, yakni sebelumnya ia telah bernadzar untuk berqurban, baik secara hakikat (mengucapkan kalimah nadzar atau mewajibkan diri sendiri).
Contoh,“Demi Allah saya berqurban dengan kambing ini” atau nadzar secara hukum, Contoh, “Saya jadikan kambing ini sebagai qurban”. kalimat“saya jadikan kambing ini” bisa berdampak pelaksanaan qurban menjadi wajib (karena sebab nadzar).
Selain nadzar, berqurban juga terkadang menjadi wajib ketika didahului oleh adanya isyarah. Contohnya, perkataan seseorang (setelah membeli kambing), “kambing ini qurban saya atau kambing ini aku jadikan sebagai qurban”,meskipun orang tersebut tidak menyadari bahwa kata-kata itu menjadikan qurban wajib.
Sehingga konsekuensinya menyembelih dan membagikan semua daging hewan tersebut adalah wajib.Hewan tersebut wajib disembelih, dan orang yang qurban tadi, tidak diperbolehkan makan daging dari hewan yang diqurbankan.
Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh oleh Syekh al-Bajuri:
Pernyataan,“kambing ini aku jadikan qurban” Jika dilakukan oleh orang ‘awam ketika ditanya, “apa yang hendak kamu lakukan dengan kambingmu ini?”, kemudian mereka menjawab:“Kambing ini saya jadikan qurban”.
Bila ia menjawab seperti itu, mkaa hukum qurbannya menjadi qurban wajib dan haram baginya untuk ikut memakan daging tersebut. Dan bila ia mengaku bahwa qurban yang dimaksudkan untuk kesunnahan, maka pengakuan tersebut tidak diterima, akan tetapi menurut Imam Asy-Syibro Malisiy, hal ini diampuni (tidak menjadi qurban wajib) bagi orang ‘awam, akan tetapi pendapat ini dilemahkan oleh beberapa ulama.
Wallahu A’lam