Kala Tren Nikah Muda Menjadi Industri, Bukan Lagi Soal Agama

Kala Tren Nikah Muda Menjadi Industri, Bukan Lagi Soal Agama

Nikah dini tentu saja sebuah kesalahan, lebih-lebih dilakukan karena industri. Lalu, apa bedanya dengan nikah muda? Penulis menelusuri hal itu

Kala Tren Nikah Muda Menjadi Industri, Bukan Lagi Soal Agama

Beberapa hari lalu kita dikejutkan dengan kemunculan iklan dari sebuah perusahaan penyelenggara pernikahan, bernama Aisha Wedding. Dalam iklan tersebut, mereka menawarkan jasa penyelenggaraan perkawinan (Wedding Organizer/WO sekaligus mempromosikan kawin siri, menikah pada usia muda dan poligami.

Tawaran tersebut tersebar lewat laman (https://aishaweddings.com) juga mempropagandakan jasa pernikahan dini dan poligami dengan mengatasnamakan ajaran agama. Wacana agama, khususnya Islam, yang dianggap mendukung pembolehan perkawinan usia dini sebagai solusi “instan” menghadapi globalisasi dan pergaulan di era modern.

Budaya modern dianggap menganggu atau merusak tatanan moralitas yang ada di masyarakat. Uniknya, narasi agama kemudian dihadirkan untuk membentengi masyarakat. Padahal, selama ini tidak seluruh moralitas di masyarakat diambil dari nilai-nilai agama, namun ada budaya setempat dan dinamika kehidupan sehari-hari.

Banyak penelitian yang menyebutkan faktor terjadinya pernikahan usia dini yang dilakukan oleh anak sedang menginjak bangku Sekolah Menegah Pertama (SMP) sampai Sekolah Menengah Atas (SMA) adalah ekonomi, orangtua yang malu jika anaknya menjadi perawan tua, pendidikan yang rendah, hamil di luar nikah, dan adat istiadat (perjodohan).

Dalam kasus Aisha Wedding, kita sebenarnya melihat pengingkaran atas kemaslahatan yang seharusnya melekat agama Islam. Di mana Islam berpegang pada lima prinsip (ad-dhoruriyatul khamsah): hifz an-nafs (menjaga jiwa), hifdz al-dien (menjaga agama), hifdz al-‘aql (menjaga akal), hifdz al-nasl (menjaga keturunan), dan hifdz al- maal (menjaga harta), maka narasi agama harusnya menjadi pelindung atas kehidupan anak muda secara komprehensif.

Dimulai dari menjaga keturunan (hifz nasl) yang berarti kita harus menjaga kesehatan reproduksi perempuan dan anak. Hal ini termasuk menentukan usia nikah yang tepat, menjaga jarak kelahiran, serta memperhatikan kesejahteraan anak seperti pemenuhan gizi, tumbuh kembang yang baik , pendidikan, dan lain sebagainya.

Perkawinan anak juga telah melanggar prinsip hifdz al-‘aql (menjaga akal) yakni hak anak untuk memperoleh pendidikan dan hifd nafs (menjaga jiwa) terkait tingginya angka kematian ibu yang diakibatkan oleh terlalu dininya seorang perempuan menikah. Jika membaca narasi agama yang hadir sebagai pelindung kemanusiaan di atas, maka kita bisa menyimpulkan bahwa Aisha dan kelompok lain penganjur nikah usia dini telah mengkhianati prinsip-prinsip tersebut.

Sebab, jika kita bicara pernikahan dini, maka kesadaran kita semua seharusnya tidak berhenti pada soal menjaga seorang anak atau sebuah generasi. Namun, kita juga harus sadar bahwa agama yang hadir dalam irisan antara anak muda dan dunia modern, seharusnya bisa menjadi pelindung yang adil, bukan malah menimbulkan masalah baru.

Angka perceraian di pasangan muda yang cukup tinggi jarang sekali mendapatkan perhatian dari kalangan penyeru pernikahan muda atau usia dini. Mereka malah meresponnya dengan mengadakan berbagai pelatihan atau kursus untuk persiapan para pelaku pernikahan usia dini.

Memang, pernikahan usia dini sekarang ini mulai berubah menjadi sebuah industri yang terus berkembang. Para pelakunya menyasar kelompok anak muda usia bangku kuliah, baik secara sadar atau tidak, untuk mengarusutamakan wacana pernikahan. Lihat saja, betapa narasi ini cukup populer di bangku-bangku kuliah, bahkan sekarang mulai menjuju anak-anak sekolah tingkat menengah atas.

Nikah Muda Menjadi Industri, Bukan Lagi Soal Agama

Ada guyonan yang pernah dilemparkan seorang teman kepada saya kala dia mengomentari  soal pernikahan usia muda. Dia mengatakan bahwa tren nikah muda tidak lagi mengarusutamakan narasi agama, tapi sudah menjadi tren di kalangan anak muda.

Menurutnya, menikah di usia muda didorong (baca: di-endorse) oleh beberapa orang dewasa yang berada di lingkaran anak muda, terutama sosok yang mereka hormati, seperti guru, senior, hingga orang tua sendiri. Kondisi tersebut menambah parah ketidaksiapan anak-anak muda yang akan menjalani kehidupan yang benar-benar berbeda dari apa yang mereka jalani selama ini. Sebab, para orang dewasa tersebut hanya menjadi “biro jodoh partekelir” yang jarang sekali menyiapkan anak muda tersebut.

Menurut saya, kehadiran entitas kaya Aisha Wedding hanya sepotong dari sebuah persoalan dinamika pernikahan usia dini. Ia hanya sebuah respon dari permintaan yang mulai menggeliat membesar di masyarakat kita, yakni keinginan nikah muda di kalangan anak muda.

Jadi, menelusuri persoalan pernikahan anak muda harus dimulai dari penyadaran di masyarakat kita, terutama para orang dewasa yang masih berpendapat bahwa solusi dari problematika pergaulan anak muda di era modern dengan pernikahan. Sebab, jika ini masih beredar luas dan massif maka apapun yang kita lakukan di hilir persoalan ini hanya kesia-siaan belaka.

Sikap dari Jaringan GUSDURian atas fenomena Aisha Wedding harus diapresiasi dan disebarluaskan, di mana mereka mendukung sepenuhnya langkah Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI untuk melakukan tindakan tegas kepada semua pihak yang mengampanyekan atau menganjurkan pernikahan anak. Selain itu, mereka turut mendorong Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI untuk terus melakukan upaya pencegahan perkawinan anak di seluruh tanah air.

Mereka juga mendukung Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI untuk menegakkan UU Perlindungan Anak (UU No.23 Tahun 2002 dan UU No.35 Tahun 2014) dan UU Perkawinan (UU No.1 Tahun 1974 dan UU No.16 Tahun 2019. Saya menilai kelompok yang mendorong nilai-nilai masyarakat sipil harus kompak mendorong sikap penolakan atas perkawinan usia dini.

Terlepas dari sikap Jaringan GUSDURian di atas, ada sebuah dialog dalam sebuah film Bollywood berjudul Dangal yang patut menjadi renungan bagi kita semua. Film yang disutradarai oleh Nitesh Tiwari tersebut menceritakan sosok Mahavir Singh Phogat dengan dua anak perempuannya, Gheeta dan Babita Kumari.

Di dalam film tersebut, seorang teman dari dua anak perempuan Mahavir tersebut dikawinkan dalam usia masih bersekolah. Teman Gheeta dan Babita tersebut menyanggah protes keduanya atas perlakuan Mahavir yang mendidik anaknya untuk menjadi pegulat. Dia mengatakan, “Kalian seharusnya beruntung, sebab ayah kalian masih menganggap kalian sebagai anak, bukan sebagai beban” ujar teman mereka.

Dia menambahkan bahwa apa yang dilakukan oleh Mahavir (sang ayah) adalah untuk membekali kalian untuk menjalani masa depan, bukan secepatnya menyingkirkan kalian dalam kehidupannya untuk diserahkan kepada laki-laki yang belum tentu bisa membahagiakan kalian.

Anak-anak usia dini di Indonesia memang masih banyak dianggap sebagai bagian dari beban ekonomi dan sosial oleh sebagian masyarakat. Kondisi ini kemudian bersambut dengan berbagai narasi yang menganjurkan kepada anak-anak yang ingin terbebas dari pergaulan yang salah. Industri, seperti Aisha Wedding, melihat ini sebagai bagian peluang bisnis, untuk memfasilitasi gelombang keinginan besar untuk melaksanakan pernikahan usia dini tersebut.

Kembali ke sikap Jaringan GUSDURian, tanggung jawab atas fenomena pernikahan di usia dini harus kita tanggung bersama. Namun, mendesak pemerintah untuk lebih bersikap pro-aktif dalam menghadapi problematika pernikahan usia dini harus terus dilakukan, sebab di tengah kondisi politik citra dan identitas yang menggelora di masyarakat, permasalahan ini seringkali diabaikan begitu saja karena dianggap kurang bisa dilihat dampaknya secara nyata.

 

Fatahallahu alaina futuh al-arifin

 

*Artikel ini hasil kerja sama Islami.co dan RumahKitaB*