Ketika Ustadz Muda Melarang Perempuan Selfie, Unggah Foto di Media Sosial = Memandang Rendah Perempuan

Ketika Ustadz Muda Melarang Perempuan Selfie, Unggah Foto di Media Sosial = Memandang Rendah Perempuan

Seorang Ustadz Muda memberi fatwa, perempuan yang pengen selfie harus izin dulu. Nah loh? Ini secara konsep merendahkan perempuan

Ketika Ustadz Muda Melarang Perempuan Selfie, Unggah Foto di Media Sosial = Memandang Rendah Perempuan

“Seorang perempuan yang ingin mengunggah foto di berbagai aplikasi media sosial harus seizin dari mahramnya,” ujar seorang ustadz muda.

Pernyataan tersebut mengemuka lewat sebuah pesan pribadi seorang teman. Saya tertarik dengan produk hukum yang dihasilkan tersebut. Bagi saya, pernyataan tersebut disandarkan pada sebuah asumsi terkait tubuh digital.

Saya kurang setuju dengan produk hukum sang ustadz muda tersebut. Sebab, perdebatan terkait kehadiran fisik perempuan di ruang publik dalam imaji itu terlihat masih sangat dangkal. Membatasi ruang gerak perempuan dengan mengurungnya dalam sebuah ruangan adalah sebuah kesalahan besar, terlebih di era teknologi informasi yang sudah sedemikian maju.

Terlepas dari persoalan hukum aurat perempuan, asumsi tubuh digital dalam pernyataan itu menarik untuk diulik lebih dalam. Sebuah ilustrasi dari Slavoj Zizek, filsuf asal Slovenia, terkait tubuh digital yang digambarkan dengan satu pertanyaan, “Apakah aku ini hanya sekedar apa yang bisa diringkas menjadi sekeping CD?

Jelasnya, tubuh kita tidak lagi terdiri daging dan jaringan syaraf, namun sekarang kumpulan sirkuit dan algoritma program komputer. Saya pernah menonton sebuah film berjudul Transcendence yang dibintangi oleh Jhonny Depp bercerita bagaimana kesadaran dan emosi manusia bisa ditransfer ke dunia maya. Perbincangan soal hukum Islam mungkin belum banyak masuk ke dalam perdebatan tubuh digital.

Oleh sebab itu, produk hukum seperti yang yang dihasilkan sang ustaz masih banyak memandang rendah perempuan. Namun, terlepas dari semua perbincangan kemajuan teknologi yang mendefenisikan ulang eksistensi manusia di ranah internet, diskusi terkait kehadiran perempuan di ruang publik, termasuk di ranah internet, masih terjebak dalam imaji yang kaku. Hal ini perlu menjadi perhatian kita semua sebab asumsi-asumsi kaku, seperti yang disampaikan sang ustaz muda di atas, masih mengekang perempuan.

Selain itu, kita juga bisa melihat dalam perbincangan kehadiran perempuan di ranah media baru, seperti film dan internet, saja masih belum banyak bergerak dari berbagai problematika dan imajinasi masyarakat di dunia nyata. Perempuan masih dilihat sebagai bagian yang menakutkan atau mengancam dominasi laki-laki. Tafsiran progresif yang mendukung kesetaraan dan pembebasan perempuan yang mengekangnya selama ini masih belum banyak diakses.

Baca juga: Bagaimana sih Hijrah Nabi Muhammad?

Menariknya, aktivitas media sosial di kalangan perempuan bisa dibilang cukup tinggi. Angka pengguna media sosial di kalangan perempuan saja yang dicatat oleh Badan Pusat Statistik (BPS) mencapai lebih dari 79 %. Menurut data yang dikeluarkan BPS tahun 2017 tersebut juga mendedahkan bahwa aktivitas para perempuan di dunia maya tidak banyak berbeda dengan kaum adam, dari pencarian informasi hingga hiburan.

Dengan aktivitas yang cukup tinggi, perempuan memang mendapatkan ruang baru di dunia maya untuk mengekspresikan diri mereka. Ketika di dunia nyata masih banyak aturan atau tradisi yang mengekang, internet seakan memberikan “angin segar” untuk bisa keluar dari sana. Namun, sebagian dari otoritas agama masih mencoba mengekang kehadiran perempuan dengan alasan moral atau imaji yang berlebihan atas dunia maya.

Pandangan akan sosok perempuan yang lemah dan tidak mampu mandiri seringkali menjadi alasan yang terdepan, untuk membatasi gerak-gerik perempuan. Walau masih perlu ditelisik lebih dalam lagi seberapa pengaruh dari fatwa-fatwa otoritas tersebut dapat mempengaruhi kehadiran perempuan di dunia maya.

Kembali ke narasi kebebasan perempuan, hak mereka untuk mengekspresikan diri, terutama di ruang publik, tidak boleh dikekang karna berbagai stigma yang melekat. Barbara Creed, professor di Universitas Melbourne, dalam buku  The Monstrous Feminine menceritakan bahwa kemunculan narasi tentang perempuan dalam media baru seringkali diwarnai oleh imaji laki-laki yang tidak berimbang.

Ketidakseimbangan anggapan atas kehadiran perempuan di ranah internet biasanya ditandai dengan bias pandangan atas segala aktivitas perempuan. Contohnya, fatwa sang ustadz mungkin secuil fakta yang bisa kita temui bahwa kehadiran perempuan di ranah publik dunia maya juga turut dibatasi. Mungkin kita masih ingat dengan kejadian pamflet dari satu organisasi yang memblurkan wajah para pengurus perempuannya.

Islam telah lama berbicara soal perempuan, termasuk aktivitasnya di ruang publik, walau akhir-akhir ini bermunculan penggunaan narasi agama untuk menstempel imaji laki-laki yang merasa terancam. Oleh sebab itu, agama seharusnya dapat hadir menjadi pembebas bagi siapapun, termasuk perempuan. Ruang publik dalam Islam tidak seharusnya hanya dikuasai oleh laki-laki, sebab narasi perempuan harus turut mewarnai dunia maya, agar keadilan terhadap kelompok perempuan bisa dihadirkan dari suara mereka sendiri, bukan dari pandangan laki-laki.

Oleh sebab itu, bukan saja ekspresi di dunia maya yang tidak boleh dikekang, namun pandangan atas sosok perempuan juga harus dilihat secara berimbang. Media sosial tidak boleh menjadi lahan baru untuk menghadirkan berbagai narasi yang tidak baik terhadap pihak perempuan.

Kebanyakan kasus yang melibatkan perempuan selalu mendapatkan tanggapan yang berlebihan, jika dibanding dengan apa yang terjadi terhadap pihak laki-laki. Seperti yang baru-baru ini ramai diperbincangkan, perisakan terhadap seorang artis perempuan berinisial NS bisa dibilang cukup berlebihan, sebab kepada sosok sang laki-laki yakni AY, justru tida sekencang perempuan. Sederhananya, moncong senapan perisakan itu saya rasa lebih ke sosok perempuan, bukan laki-laki.

Kondisi ini harus juga mendapatkan perhatian bagi kita semua yang ingin mewujudkan ruang publik digital yang sehat. Perbincangan hukum Islam yang progresif harus menghasilkan berbagai produk yang melindungi perempuan secara adil, bukan malah hadir untuk mengekang kehadiran perempuan di ruang publik digital, dengan alasan-alasan yang dibuat-buat.

*Tulisan ini hasil kerjasama Islami.co dan RumahKitaB*