Susunan kabinet ‘Indonesia Maju’ Presiden Jokowi pada periode kedua kali ini, yang sering didengung-dengungkan adalah klaimnya untuk fokus pada pembasmian radikalisme. Statemen tentang pemberantasan radikalisme tersebut secara berulang-ulang diucapkan baik oleh Presiden Jokowi sendiri, maupun Menag Fachrul Razi, Menkopolhukam Mahfud MD, dan Mendagri Tito Karnavian.
Di tulisan ini sengaja tidak menggunakan kosa kata ‘radikalisme’ sebagaimana yang digunakan oleh pemerintah. Penggunaan kata radikalisme itu sendiri terdapat contradictio in terminis, kontradiktif di dalam istilahnya. Selain itu, kosa kata radikalisme jika digunakan untuk aksi-aksi kekerasan dan intoleransi kaum muslim akan terjadi banyak ambiguitas.
Radikalisme itu sendiri berasal dari kata radic, artinya adalah akar. Jadi radikalisme adalah suatu paham yang mengakar dan mendalam. Dalam pemahaman demikian ini, semua pemikiran filsafat akan mengandung unsur radikal, karena ia selalu bersifat runut dan mendalam sampai ke akar-akar dasar pemikirannya. Dalam taraf ini, istilah radikalisme akan menemui ambiguitasnya untuk diterapkan sebagai kosa kata pemberantasan aksi-aksi kekerasan dan intoleransi.
Karena apa? Istilah ini akan dapat memberangus kelompok lain yang sebetulnya tidak menjadi bagian dari aksi kekerasan dan intoleransi. Bahkan akan berkemungkinan menyasar suara-suara kritis kepada pemerintah. Kebijakan pemberangusan radikalisme ini berpotensi untuk disalahgunakan membungkam setiap bentuk oposisi.
Saya setuju dengan tulisan Gus Ulil Abshar Abdalla yang berjudul “Mengapa Strategi Pemerintah Menghadapi Radikalisme Membingungkan?” yang juga dimuat di Islami. Gus Ulil mengatakan bahwa “Saya ingin pemerintah melawan radikalisme Islam tanpa mengorbankan demokrasi”.
Oleh karena setuju supaya melawan radikalisme tanpa mengorbankan demokrasi. Maka di tulisan ini digunakanlah kosa kata ekstrimisme. Ekstrimisme Islam merujuk pada aksi kekerasan dan intoleransi yang dilakukan oleh sebagian kaum muslim. Kelompok ekstrimis ini mendasarkan aksi kekerasannya ini dengan memberikan klaim legitimasinya dari ajaran Islam. Namun, tentu saja berdasarkan penafsiran yang kurang arif.
Karakter dari kelompok ekstrimis Islam ini adalah tidak menghargai hak hidup individu lain. Dalam banyak kasus mereka sering melakukan aksi sepihak yang melanggar hak-hak privat dan kehidupan orang lain. Dalam konteks ini, mereka melanggar kedaulatan individu lain yang sebetulnya dijamin oleh konstitusi dan demokrasi.
Dalam taraf ini, jangan sampai segala bentuk upaya untuk memberantas aksi-aksi kekerasan dan intoleransi kaum ekstrimis yang notabene mereka anti demokrasi dan hak asasi manusia (HAM), dilawan/diberantas dengan cara-cara yang tidak demokratis dan mengorbankan demokrasi.
Prinsip dasarnya adalah bahwa setiap warga negara memiliki hak untuk bebas menentukan kepercayaannya masing-masing dan juga mereka memiliki hak kebebasan untuk mengekspresikan kepercayaannya. Misal dengan membentuk komunitas keagamaan ataupun ormas. Namun, batasannya adalah tidak boleh melanggar kedaulatan HAM individu lain. Jika mereka melakukan pelanggaran hak kedaulatan individu lain, maka dalam hal ini negara harus hadir menyelamatkan dan memastikan supaya hak orang lain tersebut tidak direnggut.
Pembubaran Ormas Ekstrimis Bertentangan dengan Demokrasi?
Kasus kontekstual dinamika ekstrimisme Islam di Indonesia adalah mereka sering melakukan pelanggaran HAM individu lain. Dalam konteks demikian ini, layakkah negara demokratis membubarkan mereka? Misalnya kasus HTI dan FPI belakangan ini yang izinnya berencana untuk tidak diperpanjang?
Jawabannya adalah bisa iya dan bisa tidak. Prinsip demokrasi adalah selain setiap individu memiliki kedaulatan hidup, negara demokrasi juga harus menjamin supaya kedaulatan individu tersebut tidak dilanggar dan dirong-rong oleh individu lain. Dalam hal ini yang sering melakukan pelanggaran demikian ini adalah kaum ekstrimis.
Maka, intervensi pertama yang harus negara (pemerintah) lakukan adalah menghukum mereka yang melakukan pelanggaran terhadap kedaulatan hidup individu lain. Dalam hal ini, jika kelompok ekstrimis melakukan aksi kekerasan dan intoleransi, mereka harus diberikan hukuman sesuai tingkat pelanggaran dan perangkat hukum yang ada. Namun, yang perlu diperhatikan lagi adalah hukuman ini harus melalui mekanisme hukum yang terbuka dengan ada proses peradilan yang adil dan sesuai prinsip HAM.
Terkait pembubaran ormas? Boleh saja pemerintah hendak membubarkan sebuah ormas, misalnya HTI ataupun FPI pada waktu kedepannya. Namun, yang (lagi-lagi) harus diperhatikan adalah melalui mekanisme peradilan yang adil, terbuka dan berbasiskan HAM. Yang tidak boleh adalah negara tanpa melakukan proses peradilan, tiba-tiba langsung membubarkan sebuah ormas, seperti kasus HTI tempo waktu.
Di dalam negara demokratis, membubarkan ormas boleh-boleh saja, selama ormas tersebut melanggar prinsip demokrasi. Namun, yang perlu diperhatikan sekali lagi adalah harus melalui mekanisme peradilan yang adil dan demokratis. Selain itu, negara juga tidak boleh sesukanya dalam pemberantasan aksi pelanggaran demokrasi ini. Misal hanya akan menindak pelanggaran yang merugikan elektabilitas rezim berkuasa.
Negara harus hadir menindak pelaku kekerasan dan pelanggaran kedaulatan dalam situasi apapun. Karena, negara wajib menjamin hak kedaulatan individu lain yang sering direnggut kelompok ekstrimis ini. Namun, sekali lagi harus melalui mekanisme peradilan yang adil, terbuka dan berlandaskan HAM. Wallahua’lam.
M. Fakhru Riza, penulis adalah pegiat di Islami Institute.