Jual Beli dengan Allah adalah Transaksi Paling Menguntungkan

Jual Beli dengan Allah adalah Transaksi Paling Menguntungkan

Jual beli dengan Allah bukan semata transaksi atau keterpaksaan. Melainkan bentuk kasih sayang Allah kepada hamba-Nya.

Jual Beli dengan Allah adalah Transaksi Paling Menguntungkan
ilustrasi

Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka.

إِنَّ ٱللَّهَ ٱشْتَرَىٰ مِنَ ٱلْمُؤْمِنِينَ أَنفُسَهُمْ وَأَمْوَٰلَهُم بِأَنَّ لَهُمُ ٱلْجَنَّةَ ۚ

Ayat ini secara keseluruhan berbicara tentang orang-orang mukmin yang rela mengorbankan harta dan jiwa mereka dalam ketaatan kepada Allah dengan berjihad dan berperang di jalan-Nya. Akan tetapi, tulisan ini tidak membahas konteks ayat secara keseluruhan, apalagi hanya mencuplik topik perangnya.

Dalam ayat ini, narasi Allah sangat menarik untuk kita cermati, karena Allah seakan bertransaksi jual beli dengan hambanya dengan menggunakan kata “membeli”. Istilah yang sangat familiar dalam dunia perdagangan. Bukankah Allah adalah ­al-Malik yang memiliki langit dan dunia beserta isinya. Mengapa Allah harus membeli ketika Dia bisa melakukan segala sesuatu sesuai kehendaknya.

Dalam jual beli antara hamba dengan Allah, Allah memposisikan diri sebagai “pembeli”. Secara tidak langsung Allah memposisikan kita sebagai hamba yang memiliki kebebasan dan akses luar biasa apakah kita mau “menjual” diri dan harta kita untuk pembayaran surga atau tidak, semuanya tergantung kita dalam posisi “penjual”.

Jika kita bersedia untuk menjual, itu berarti kita kehilangan kebebasan terhadap diri dan harta kita untuk kita perlakukan semau kita. Artinya, barang itu sudah dalam kekuasaan pembeli, dan kita hanya bisa mengikuti apa kehendak pembeli atas barang itu.

Misalnya, anda mempunyai smartphone. Smartphone itu bebas anda pergunakan semau dan sesuka anda karena memang itu milik anda. Namun, ketika anda menjual smartphone itu ke saya, misalnya, maka setelah ia terjual dan uang transaksi penjualan sudah anda terima, seketika itu keinginan dan kekuasaan sayalah yang berlaku atas smartphone Anda tadi. Bukan lagi keinginan dan kuasa Anda.

Nah jika kita memang hendak menjual diri dan harta kita kepada Allah, maka sejak saat itu kehendak terhadap diri dan harta tersebut bukan lagi atas kemauan kita, tapi atas kemauan Allah. Namun, apakah itu sebuah keterpaksaan? Allah menjawab dalam surat ar-Rum ayat 30,

فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا ۚ فِطْرَتَ ٱللَّهِ ٱلَّتِى فَطَرَ ٱلنَّاسَ عَلَيْهَا ۚ لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ ٱللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ ٱلدِّينُ ٱلْقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui

Pada dasarnya, semua yang Allah kehendaki itu adalah keinginan kita. Hanya saja, kita tidak mengetahui dan memahaminya. Keinginan sejati manusia itu sejatinya sama dengan yang diinginkan Allah. Maka aturan dan kehendak Allah yang muncul atas diri dan harta kita setelah kita menjualnya pada hakikatnya adalah fitrah kita sendiri, dan fitrah itu sudah sangat sesuai dengan keinginan dan kebutuhan kita.

Coba kita cermati beberapa kalimat ini. Apa saja perintah Allah itu pasti kebutuhan fitrah kita. Atau dalam susunan lain, apapun kebutuhan fitrah kita, itu pasti perintah Allah. Sebaliknya, apa saja yang kita tidak ingin terjadi terhadap diri kita, itu pasti larangan Allah. Dalam susunan lain, larangan Allah pasti adalah sesuatu yang kita tidak ingin terjadi atas diri kita.

Oleh karena itu, jual beli diri dan harta dengan Allah itu bukanlah sebuah pilihan yang terpaksa, melainkan adalah tawaran kasih sayang dari Allah terhadap hamba-hambanya. Karena dalam QS. an-Nahl: 97, Allah juga menjamin bahwa orang mukmin yang berkomitmen untuk mengikuti aturan Allah, maka Allah memberikan jaminan kebahagiaan dalam hidupnya.

Sungguh romantis sekali cara Allah memberi perhatian kepada hambanya. Sampai kapan kita akan terbelenggu stigma bahwa Allah Maha Keras dan Mengatur. Kenapa masih banyak orang-orang di luar sana yang mempraktikkan cara beragama yang keras dan intimidatif sedangkan Tuhan saja Maha Penyayang dan penuh cinta kasih?

Sekali lagi, kita perlu menilai diri, sudahkah kita berkasih sayang kepada sesama, seperti halnya Allah berkasih sayang kepada hamba-Nya, jangan sampai kita semakin menjauh dari fitrah karena amalan dan perbuatan kita.

Wallahu a’lam bisshawab..