Penderitaan adalah salah satu fase dalam satu episode utuh kehidupan di mana manusia akan cenderung merasa mengeluh dan bersedih. Islam mengakui eksistensi penderitaan. Al-Qur’an menyebut penderitaan, salah satunya, dengan kata shaqawah. Syaqawah adalah bentuk umum dari segala bentuk penderitaan dalam Al-Qur’an. Shaqawah kira-kira bisa diartikan sebagai kemalangan besar, kesengsaraan, kesulitan keadaan, kesusahan, kegelisahan, keputusasaan, kesengsaraan, dan penderitaan.
Diskursus mengenai penderitaan rupanya muncul dalam ranah teologi Islam. Salah satu anak kandungnya adalah pernyataan-pernyataan terkait relasi penderitaan dengan sifat keadilan dan kasih sayang Tuhan terhadap manusia di Bumi. Perdebatan tersebut sampai-sampai berujung pada persoalan tentang ‘tindakan kejahatan’ oleh Tuhan.
John Hick, seorang pemerhati agama dan pakar teologi Barat, sempat mengajukan pertanyaan, “apakah dunia ini benar-benar karya dari Pencipta yang Maha Penyayang?”. Ia berargumen bahwa jika Tuhan betul-betul Maha Penyayang dan Maha Kuasa, seharusnya Tuhan mampu menghilangkan bencana alam dan kesengsaraan pada umat manusia. Ternyata, bencana alam dan kesengsaraan masih tetap ada. David Hume, seorang orientalis yang kritis terhadap Islam, berpendapat bahwa jika bencana alam dan kesengsaraan di muka bumi begitu marak, maka kita layak meragukan keberadaan Tuhan.
Berbagai kritik dari kalangan Barat tersebut rupanya direspons secara tidak langsung oleh ulama-ulama Islam, dari era klasik hingga modern. Salah satu ulama besar Islam yang concern terhadap wacana ini adalah Imam Ghazali. Refleksi Imam Ghazali tentang Kemahakuasaan, Kesempurnaan dan Kemahatahuan Tuhan terkandung dalam gagasannya yang berbunyi “laysa fi’l imkan abda’ mimma kan” (yang terbaik dari semua kemungkinan).
Al-Ghazali menolak argumentasi Hick dan Hume tersebut. Ia menyatakan bahwa pemikiran tersebut sebagai sesuatu yang mustahil. Pemikiran semacam dua tokoh Barat tersebut, menurut al-Ghazali, menentang kehendak bebas Tuhan. Jika Tuhan tidak memiliki keleluasaan, lantas Tuhan tidak memiliki pilihan bebas untuk menentukan dunia macam apa yang akan diciptakan. Hal ini musykil, lanjut al-Ghazali, karena Tuhan tidak harus tunduk pada kondisi kebaikan.
Gagasan ini tertuang dalam karya monumentalnya, Ihya Ulumuddin, dalam bab 35, kitab al-Tawhid wa al-Tawakkul. Al-Ghazali mengatakan bahwa semua pemberian Tuhan kepada manusia seperti rezeki, waktu, kematian, kebahagiaan, penderitaan, ketaatan, dan kemurtadan semuanya telah memenuhi syarat sebagai keadilan Tuhan. Segala sesuatu sejatinya telah dianugerahkan Tuhan menurut tatanan universal yang sudah benar, tepat secara kuantitatif dan kualitatif, dan dalam porsi yang paling tepat, paling sempurna, paling menarik.
Menurut al-Ghazali, semuanya memiliki skenario yang terikat satu sama lain. Asumsi inti al-Ghazali adalah bahwa Tuhan pada hakikatnya mampu menciptakan banyak skenario atau realitas kehidupan. Tetapi bagi manusia, Tuhan menciptakan satu realitas terbaik, terindah, paling sempurna, yaitu realitas yang dialami manusia saat ini.
Salah satu tokoh modernis Islam, Muhammad Iqbal, juga terlibat dalam dialektika tersebut. Kebaikan dan kebahagiaan, ungkap Iqbal, tidak mungkin ada tanpa adanya kejahatan dan kesengsaraan. Kejahatan di muka bumi amat diperlukan. Tanpa adanya kejahatan, maka tidak ada moral dan pengembangan spiritual. Ia mengutip analogi Immanuel Kant tentang burung yang tidak melawan udara. Justru karena udara lah burung bisa terbang tinggi. Jadi, kejahatan diperlukan bagi perkembangan spiritual manusia.
Aliran Mu’tazilah yang dikenal sebagai kelompok rasional menolak mentah-mentah pernyataan bahwa Tuhan menciptakan perbuatan manusia, termasuk perbuatan kejahatan. Mereka mendukung kebebasan manusia dengan tetap menekankan pentingnya sifat keadilan Tuhan (‘adl). Mereka menegaskan bahwa Tuhan, sesuai dengan sifat keadilan-Nya, tidak mampu menciptakan kejahatan. Kejahatan adalah akibat langsung dari kebebasan manusia.
Dari sini muncul pertanyaan, jika Tuhan tidak menciptakan kejahatan, lalu siapa yang bertanggung jawab atas kesengsaraan dan penderitaan yang menimpa pada manusia seperti bencana alam? Pertanyaan selanjutnya, jika Tuhan menginginkan bencana ditimpakan pada manusia, bagaimana Tuhan bisa disebut adil? Mu’tazilah menjawab, meskipun bencana dan penyakit tampak terlihat sebagai ‘kejahatan’, sesungguhnya merupakan ‘kebaikan’ yang diberikan oleh Tuhan. Kelompok Mu’tazilah menyatakan bahwa Tuhan tidak hanya tunduk pada aturan keadilan, tetapi Tuhan juga wajib untuk berlaku adil.
Ibnu Rusyd menentang pandangan Mu’tazilah tersebut dan menegaskan bahwa unsur keadilan tidak boleh dilekatkan kepada Tuhan. Manusia berusaha mencapai kebaikan, sedangkan Tuhan
bersifat adil secara hakikat karena kesempurnaan-Nya.
Pendapat Ibnu Rusyd tersebut diamini oleh kelompok Asy’ariyyah, pemikiran tentang keadilan Tuhan justru akan membatasi kekuasaan Tuhan yang Maha Kuasa. Tuhan tidak diikat oleh hukum ciptaan-Nya. Dia bertindak adil pada apa yang Dia lakukan. Maka, semua kesengsaraan yang menimpa pada manusia merupakan hal yang diinginkan oleh Tuhan yang bersifat adil terhadap semua makhluk ciptaan-Nya.
Kelompok al-Asy’ariyyah menegaskan bahwa Tuhan menciptakan semua perbuatan. Karena itu, untuk merekonsiliasi antara kemahakuasaan Tuhan dengan tanggung jawab manusia, Asy’ariyyah mengadopsi konsep kasb (usaha). Meskipun Tuhan menciptakan semua perbuatan, namun manusia bebas memilih perbuatannya. Dengan kebebasan tersebut manusia bertangung jawab atas perbuatan jahat maupun baik.
Islam, melalui berbagai silang nalar tersebut, menunjukkan bahwa konsep penderitaan merupakan konsep yang sangat esensial dan penting bagi kelangsungan hidup seorang hamba Allah. Tidak hanya tentang kehidupan manusia di dunia, tetapi tentang hubungan intim antara Tuhan dan manusia.
Kesimpulannya, para ulama Muslim memandang bahwa penderitaan dan kesengsaraan merupakan sebagai keniscayaan dari Tuhan. Segala kepayahan yang dialami manusia tidak kemudian menghakimi sifat kasih dan keadilan Tuhan. Ia justru menegaskan sifat Kemahakuasaan Tuhan, Rasa Kasih Sayang, serta Keadilan-Nya. Semua ini bertujuan untuk mengembangkan potensi spiritual manusia dan untuk menemukan jalan kembali menuju Tuhan. Untuk tetap berada pada tujuan tersebut, para ulama bersepakat bahwa keimanan kepada Tuhan tetap menjadi fondasi utama.
‘Keimanan tentang penciptaan’ merupakan prasyarat bagi siapaun yang ingin menaiki tangga kesempurnaan spiritual dan mencapai puncak maqam tawakal. Tanpa itu, kesengsaraan yang menimpa manusia hanyalah sebatas derita yang tak berarti apa-apa.
Wallahu a’lam bisshowab…