Manusia hidup di dunia karena memiliki dua unsur yang masih lengkap, yakni jasad (tubuh) dan ruh. Ketika manusia kembali ke hadirat Allah (alias is dead), maka ruh akan terpisah dari jasadnya. Dengan kata lain, jasad/badan/tubuh telah dianggap sebagai bangkai (mayyit). Lalu, apakah ruh juga akan mati? Atau hanya badan saja yang mati, sehingga ruh akan terus hidup?
Ada perbedaan pendapat (ikhtilaf) dalam masalah ini berdasarkan dalilnya masing-masing. Pendapat pertama menyatakan bahwa ruh juga akan mati, sedang pendapat lainnya mengatakan bahwa ruh tidak akan mati.
Pendapat pertama menganggap bahwa ruh termasuk jiwa (nafs), sehingga ruh juga akan mengalami kematian. Dalilnya adalah surat al-Ankabut ayat 57 yang berbunyi, “Setiap yang memiliki jiwa akan merasakan kematian”. Selain itu, tidak ada yang kekal di dunia ini kecuali Allah.
Oleh sebab itu Allah memiliki sifat wajib yang bernama baqa’ (kekal). Hal ini sesuai dengan surat ar-Rahman ayat 26-27 yang berbunyi, “Setiap hal yang ada di muka bumi ini akan rusak (binasa) dan hanya Dzat Tuhan-mu yang memiliki kebesaran serta kemuliaan yang akan tetap kekal.”
Ayat lainnya yang menguatkan pendapat pertama ini adalah surat al-Qashash ayat 88 yang berbunyi, “Segala sesuatu akan rusak (binasa), kecuali Allah”.
Golongan yang menganggap ruh juga akan mati (pendapat pertama) menjadikan argumen tentang kematian para malaikat. Jika malaikat saja mati, apalagi jiwa manusia. Golongan ini juga berpegang teguh pada ungkapan para penghuni neraka di dalam surat al-Mu’min ayat 11 yang berbunyi, “Para penghuni neraka berkata: Ya Tuhan kami, Engkau telah mematikan kami dua kali dan telah menghidupkan kami dua kali (pula)”.
Golongan ini memaknai kematian yang pertama adalah kematian jasad (badan) dan kematian yang kedua adalah kematian ruh.
Pendapat lainnya yang menganggap bahwa ruh tidak akan mati (disebut golongan kedua), sebab yang mengalami kematian hanya badan atau tubuhnya saja (jasad). Dalil yang menguatkan pendapat golongan kedua ini adalah hadis-hadis yang menunjukkan tentang adzab dan nikmat bagi ruh setelah berpisah dengan badan (jasad) yang kelak akan dikembalikan lagi ke badan. Jika ruh mengalami kematian, tentu ruh tidak akan mendapatkan adzab atau nikmat. Oleh sebab itu golongan kedua menganggap ruh tidak akan merasakan kematian.
Dalil lainnya yang menguatkan pendapat golongan kedua ini adalah surat Ali Imran ayat 169 yang berbunyi “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur (dibunuh) di jalan Allah itu mati, bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapatkan rezeki.” Ayat ini menguatkan bahwa ruh mereka (syuhada’) itu tetap ‘hidup di sisi Tuhannya’, sebab yang mati hanya badan atau tubuhnya saja.
Lalu, mana yang benar di antara dua pendapat tersebut?
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam kitabnya yang bertajuk ar-Ruh mengambil benang merah di antara dua pendapat di atas. Ibnul Qayyim membuat dua definisi tentang kematian jiwa (Maut an-Nufus). Definisi pertama menyatakan bahwa kematian jiwa adalah perpisahan antara jiwa dan jasad (tubuh atau badan) atau jiwa yang keluar dari badan, sedangkan definisi kedua menyatakan bahwa kematian jiwa adalah kehancurannya, kemudian membusuk hingga tak bersisa sama sekali (sebagaimana kehancuran tubuh atau badan ketika mati).
Ibnul Qayyim al-Jauzy mengatakan bahwa jika yang dimaksud dengan kematian jiwa (ruh) adalah definisi yang pertama, maka jiwa (ruh) juga merasakan kematian. Namun, jika yang dimaksud dengan jiwa (ruh) adalah definisi yang kedua, maka jiwa (ruh) tidak merasakan kematian yang seperti itu (membusuk, dst); bahkan jiwa (ruh) akan kekal setelah penciptaannya dan akan mendapatkan adzab atau nikmat.
Wallahu A’lam