Bagaimana Islam–baik ideologi maupun gerakan di pilpres 2024? Sebelum ke sana? Istilah Islam Ideologis baru saya kenal mendalam pasca selesai kuliah S1. Padahal, saya pertama kali berjumpa dengan kelompok-kelompok pengusung Islam ideologis telah terjadi di minggu-minggu awal saya kuliah. Rasanya, saat itu saya hanya mengenal istilah Islam konservatif atau Islam garis keras.
Kala itu saya berkenalan dengan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Gerakan anak-anak Tarbiyah yang diusung oleh kader-kader salah satu partai politik. Kedua organisasi ini cukup rajin mengadakan diskusi dan acara seminar, bahkan bisa dibilang setiap minggu ada kegiatan yang mereka selenggarakan.
Gema Pembebasan muncul belakangan sebagai organisasi sayap kepemudaan bagi HTI juga cukup diperhitungkan kala itu. Karna, mereka cukup vokal pada beberapa diskursus keislaman yang sedang berkembang saat itu, seperti polemik Inul Daratista. Walhasil, di kampus saya, mereka dianggap mewakili suara mahasiswa muslim taat.
Namun, akhir-akhir ini, beberapa organisasi yang mengusung Islam ideologis mulai dicap terlarang, antara lain HTI. Pertanyaan muncul di benak saya. Bagaimana nasib gerakan-gerakan berlatar Islamisme akhir-akhir ini?
Kala Perppu Nomor 2 Tahun 2017 terkait Ormas terbit, Islamisme dan organisasi massa menghadapi dinamika baru. Terlebih, di pasal 61 dan 62 dalam Perppu yang memberikan wewenang kepada Pemerintah untuk membubarkan Ormas secara sepihak tanpa adanya proses hukum terlebih dahulu. Kala itu, Pemerintah mencabut izin HTI dan FPI.
Tak pelak, beragam komentar dan sikap turut bermunculan, baik yang menolak, setuju, hingga bimbang atas Perppu tersebut. Sebab, khususnya bagi pihak menolak dan bimbang, insturmen hukum tersebut dianggap rentan memunculkan Negara yang gagal melindungi kebebasan berpendapat.
Namun, dalam Perppu yang sama juga disebutkan beragam larangan bagi ormas, demi untuk menjaga kedamaian dan pluralitas Bangsa Indonesia, mulai dari tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras atau golongan; melakukan penyalahgunaan, penistaan, atau penodaan terhadap agama yang dianut di Indonesia. Tentu hal ini cukup mewarnai bagaimana wajah Islam ideologis di kalangan atau gerakan mahasiswa.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh tim yang dibentuk oleh INFID menyebutkan bahwa Aktivisme Islam di sekolah dan kampus umum adalah gejala yang sangat kompleks. Selain itu, aktivisme Islam yang beraliran ideologis di kalangan mahasiswa dan siswa bukanlah sesuatu yang baru. Diawali dengan perkembangan arus revivalisme agama era 1980-an, aktivisme itu sekarang telah membentuk bangunan yang secara sosial dan politik hampir tidak tergoyahkan.
Dengan kata lain, gerakan revivalisme Islam yang berkembang telah berkelindan dengan kehidupan masyarakat Indonesia, termasuk anak muda. Kelompok Tarbiyah, misalnya, telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Indonesia, mulai dari sekolah, tatanan masyarakat, hingga model keberagamaan.
Menariknya, penelitian tim INFID di tahun 2021 ini juga membeberkan fakta terkait narasi yang digunakan dan dikembangkan. Menurut mereka, retorika dalam Islam ideologis tersebut lebih banyak menggunakan retorika yang bersifat praktis daripada wacana yang kompleks. Selain itu, para aktivis Islam ideologis hari ini juga memunculkan aspek motivasi dalam narasi mereka.
Walhasil, narasi ini melahirkan generasi yang menginginkan ketaatan populer dan dengan karier profesional yang bagus di masa depannya. Walaupun, Islam politik yang kental kadang muncul jika sentimen keagamaan menjadi perbincangan publik, khususnya di ranah media sosial.
Wajah islamisme atau narasi Islam ideologis hari ini tidak lagi sama. Dinamika anak muda dan media sosial turut mempengaruhi perubahan tersebut. Artinya, anak muda hari ini tidak lagi menerima wacana Islam ideologis dengan cara yang sama atau mereka juga tidak juga sama dalam meresepsi dan berekspresi atas wacana tersebut.
Islam di tengah perkembangan anak muda dan media sosial telah mengalami perubahan yang cukup massif. Wajah Islam Ideologis turut merasakan dampak perubahan tersebut, diantaranya adalah kaburnya batas-batas ideologi termasuk dalam Islam. Media sosial menghadirkan akses mudah kepada siapa saja untuk belajar, menyukai, hingga mempraktikkan beragam ideologi secara bersamaan.
Dalam perubahan ini, tim peneliti INFID mengusulkan bahwa Pemerintah seharusnya melihat aktivisme Islam di kalangan anak muda secara konfrehensif. Artinya, Negara tidak boleh hanya menggunakan pendekatan keamanan dalam menghadapi Islam ideologis di kalangan anak muda.
Sebagaimana disebutkan di atas, wajah Islam ideologis tidak lagi sama. Sentimen narasi keagamaan di ruang-ruang politik dan sosial harus diulas secara mendalam dan dibongkar lewat analisa yang juga kompleks, atau menghadirkan analisa lintas pendekatan. Islam ideologis bisa saja hadir lewat narasi populer khas wibu atau manga dengan sangat mudah kita jumpai.
Seorang ustaz populer, beberapa waktu lalu, harus menyatakan baiat kepada salah satu ormas. Jika ditanyakan kepada saya, apakah narasi Islam ideologis yang dihadirkan lewat model motivasi atau ketaatan populer yang diceramahkan sang ustaz tersebut mendakak hilang? Jawaban saya jelas saja tidak. Sebab, Islamisme dinarasikan dengan model yang lebih canggih.
Islam ideologis bisa saja mengacak-acak emosional dan imaji akan keberagamaan terselip di narasi-narasi populis. Jadi, konsumsi atas narasi Islam ideologis semakin massif karena adaptasi bahasa, wacana, model, perkembangan teknologi, hingga gaya storytelling yang semakin canggih sehingga membuat wacana ideologis semakin kabur.
Oleh sebab itu, imunitas atau kekebalan atas Islamisme harus dipupuk dengan menghadirkan kewaspadaan, yang terus beradaptasi dengan kecanggihan narasi-narasi atau wacana yang digunakan oleh kelompok Islam ideologis. Pengetahuan dan kesetiaan atas narasi moderatisme Islam harus dipupuk sejak dini.
Fatahallahu alaina futuh al-arifin