Dalam novel Lelaki Harimau karya Eka Kurniawan, yang belum lama ini masuk nominasi Man Booker Prize 2016, tokoh Margio dengan beringas membunuh Anwar Sadat. Cara membunuh Margio sungguh mengerikan: menggigit putus urat leher Anwar Sadat. Tapi Margio mengaku bukan dia pembunuh sebenarnya. “Bukan aku,” kata Margio tenang dan tanpa dosa. “Ada harimau di dalam tubuhku.” Di novel itu dikisahkan bahwa Margio memang ‘mewarisi’ harimau dari sang kakek. Harimau yang sewaktu-waktu bisa bangun, menjadi buas, tak terkendali dan akan melukai atau membunuh siapapun.
Usai membaca ulang novel Lelaki Harimau saya tiba-tiba teringat orang-orang yang dengan mudah melenyapkan nyawa orang lain, terutama yang menggunakan dalih jihad. Entah dengan cara meledakkan diri, menembak membabi buta, atau cara apapun. Saya membayangkan, mereka yang memaknai jihad secara sembrono itu, ketika menjalakan aksinya keluar harimau dari dalam dirinya. Harimau itu begitu liar, lapar dan ingin menerjang apa saja.
Saya rasa, setiap orang memiliki harimau dalam dirinya. Tapi ada sejumlah orang yang tak mampu menaklukkan harimau-nya sendiri. Beberapa bahkan membiarkannya tetap liar dan terus mengaum. Hanya mereka yang mau dituntun akal sehat lah yang bisa menaklukkan harimau dalam diri, menaklukkan hawa nafsu, termasuk nafsu membunuh. Mereka bisa berpikir jernih sehingga tahu bahwa tetangga yang berlainan agama bukan musuh. Juga bisa mengerti, meski menyebalkan, polisi tidak lantas boleh dibunuh sembarangan, entah dengan alasan polisi sebagai simbol thogut atau simbol penindas atau alasan apa saja. Mereka juga tidak melakukan teror dengan meledakkan bom di pusat keramaian, betapa negara ini abai pada rakyatnya. Mereka tahu cara menjinakkan harimau.
Perihal jihad, saya teringat sebuah hikmah yang sering disampaikan penceramah saban masuk bulan puasa. Alkisah, sepulang dari Perang Badar, Nabi berujar: kalian telah pulang dari sebuah pertempuran kecil menuju pertempuran besar. Lalu sahabat bertanya, “Apakah pertempuran besar itu wahai Nabi?” Nabi menjawab, “Jihad memerangi hawa nafsu.”
Apa yang disampaikan Nabi tersebut sesungguhnya merupakan tamparan bagi mereka yang tak mampu mengendalikan harimau dalam dirinya. Bahwa ternyata menahan hawa nafsu lebih besar dan tinggi nilainya dari perang (membela diri dengan melawan/membunuh musuh). Bahwa seorang peratung sejati bukan mereka yang mampu menjatuhkan lawan-lawannya, tapi ia yang berani bertarung dan menang melawan dirinya sendiri.
Sayangnya, hari ini, petuah Nabi yang sejatinya bermakna dalam dan cermin kearifan itu seolah hanya sebatas materi khutbah belaka. Masih saja ditemui sekelompok orang yang merasa benar sendiri sehingga merasa tidak berdosa menindas kelompok minoritas. Masih ada yang menganggap bahwa menolak pembangunan gereja adalah bagian dari amar ma’ruf nahi munkar. Jangan-jangan, mereka telah kalah dalam jihad besar (menahan hawa nafsu), kalah oleh harimaunya sendiri. Dan apa-apa yang mereka lakukan boleh jadi bukan jihad, melainkan bentuk lain dari kemungkaran.
Eka Kurniawan menggambarkan harimau dalam tubuh Margio: putih serupa angsa, ganas sebengis ajak. Paduan yang kontras, angsa dan ajak. Begitu juga jihad. Pada dasarnya jihad memiliki konotasi baik. Jihad artinya bersungguh-sungguh, berupaya maksimal, berjuang keras. Jihad bisa berupa berpayah-payah menuntut ilmu, banting tulang mencari nafkah dll. Tidak ada yang salah dengan itu semua. Namun, ketika jihad digunakan untuk membenarkan tindakan teror di sebuah negara damai seperti Indonesia, maka jihad tampak menjadi sesuatu yang sebengis ajak. Islam pun mendapat cap sebagai agama perang, agama pedang.
Padahal, Nabi telah memberi teladan terbaik. Yakni ketika seorang pemuda datang meminta izin kepada Nabi untuk berjihad. Nabi bertanya kepadanya: apakah kedua orang tuamu masih hidup? Dijawab oleh pemuda itu: ya, masih. Nabi pun bersabda, “Maka pada keduanya, hendaklah engkau berjihad (berbakti).”
Sebuah ilustrasi yang indah dan menyentuh. Alih-alih memberi semangat dan dorongan, Nabi justru mencegah pemuda itu berjihad di medan perang. Si pemuda diminta “berjihad di tempat lain”, yang nilainya sama atau malah lebih utama: merawat orang tua. Maka, sedih sekali rasanya mendengar kabar banyak WNI yang pergi ke Timur Tengah untuk bergabung dengan ISIS. Seolah tak ada lagi ladang jihad di lingkungan asal mereka.
Mungkin, hasrat untuk berjihad dengan ikut berperang di Timur Tengah berasal dari harimau dalam dirinya, yang belum berhasil ia taklukkan. []
Zakky Zulhazmi, adalah penulis dan peneliti.