Thaharah atau bersuci dalam menjalankan ibadah merupakan sesuatu yang sangat penting. Sebab ia berkaitan erat dengan syarat keabsahan sebuah ibadah. Dalam fikih, dua media penting dan utama yang dapat digunakan untuk bersuci (berwudhu) adalah air dan debu. Meski demikian, tidak semua air dan debu dapat digunakan untuk bersuci.
Syaikh Muhammad ibn Qasim al-Ghazi dalam kitabnya “Fath al-Qarib al-Mujib fi Syarh al-Fadz at-Taqrib” mengategorikan air yang dapat digunakan untuk bersuci ke dalam tujuh jenis, yaitu: air yang turun dari langit (air hujan), air sungai, air laut, air sumur, air yang bersumber dari mata air pegunungan, air hasil cairan salju, dan air embun. Pada intinya, ketujuh jenis air tersebut adalah air yang bersumber dari langit maupun perut bumi.
Sedangkan bila ditinjau dari segi penggunaannya air terbagi lagi menjadi empat macam:
1. Thahir muthahhir ghayr makruhin isti’maluhu (air yang secara dzatiyahnya suci tidak terkena najis dan dapat menyucikan serta boleh digunakan). Kategori jenis ini disebut air mutlak yang tidak tercampur sesuatu yang bisa mengubah kemutlakan air tersebut.
2. Thahir muthahhir makruhun isti’maluhu (air suci dan dapat menyucikan yang lain tapi hanya dapat digunakan untuk selain anggota badan). Kategori jenis ini adalah seperti air yang ada dalam sebuah bejana dan terkena terik panas sinar matahari. Meskipun suci dan menyucikan, air jenis ini dimakruhkan untuk digunakan anggota badan. Bahkan bisa diharamkan bila ada indikasi kuat dapat membahayakan anggota tubuh. Pembagian jenis yang kedua ini merupakan pendapat imam Rafi’i yang didasarkan pada salah satu hadis nabi. Berbeda dengan imam Rafi’i, Imam Nawawi justru menyatakan bahwa air yang terkena terik panas sinar matahari tidak makruh untuk digunakan, sebab hadis yang dijadikan pijakan untuk memakruhkannya sangat lemah. Meski demikian, bila penggunaan air jenis ini ada kekhawatiran akan berdampak membahayakan anggota tubuh, maka kedua ulama ini akan sepakat memakruhkan bahkan mengharamkannya bila sudah memiliki dugaan yang kuat.
3. Thahir linafsihi ghair thahir lighayrihi (air suci yang tidak dapat menyucikan yang lain). Air jenis ini adalah air mustakmal yaitu air bekas digunakan untuk menghilangkan hadas kecil (wudhu), hadas besar (mandi jinabat), atau menghilangkan najis.
4. Thahir muthahhir haramun isti’maluhu (air suci yang dapat menyucikan namun haram untuk digunakan bersuci). Kategori jenis ini adalah air hasil curian atau air yang disiapkan khusus untuk diminum (musabbal lisysyurbi).
Air Dua “Kullah”
Dalam sebuah hadis riwayat Imam Daruquthni disebutkan bahwa jika air telah mencapai “dua kullah”, maka (kesuciannya) tidak mungkin dapat dipengaruhi kotoran (najis). Dari hadis ini para ulama fikih merumuskan bahwa syarat bahwa air yang telah mencapai “dua kullah” tetap akan terjaga kesuciannya dengan syarat tidak ada perubahan dari salah satu tiga unsurnya: warna, rasa, dan bau. Sebaliknya, meskipun telah mencapai dua kullah, bila kemasukan najis dan ada perubahan salah satu dari tiga unsur tersebut maka air tersebut tidak bisa dihukumi suci kembali.
Lalu bagaimana bila air tersebut kurang dari “dua kullah?”. Para ulama mengatakan bahwa air yang kurang dari dua kullah bila terkena najis maka air tersebut tidak lagi menjadi suci. Baik salah satu dari ketiga unsur itu berubah atau tidak.
Pertanyaan selanjutnya, berapa volume air dua kullah itu? Menurut Syekh Wahbah Zuhaili di dalam Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, air dua kullah itu setara dengan 270 liter.
Wallahu A’lam bisshawab
*) Masyithah Idris, Alumni PP Mathaliul Falah & PP Luhur Ilmu Hadis Darussunnah