Kong Hu Cu menyatakan, zat yang hidup akan bersifat luwes. Seperti air yang mengalir di bebatuan. Ia berkelok, kadang jatuh, lalu naik, terus mengelilingi yang menghadangnya. Setelah itu, ia akan mengalir sesuai kodratnya. Air adalah zat yang perkasa karena fleksibelitasnya.
Itulah perumpamaan hukum Islam di mata para ulama ushul fiqih. Luwes gandes seperti air. Tapi kuat dan bisa menjebol karang setangguh apa pun. Karena niat, illat, dan maslahat dari hukum Islam tidak akan berubah, meski di permukaan, kadang muncul perbedaan pendapat antarulama. Ini terjadi karena tujuan dari fiqih Islam, semata-mata untuk mewujudkan rahmatan lilalamiin.
Keluwesan seperti air itulah yang ditunjukkan KH Maimun Zubair dalam pemikirannya. Dalam sebuah ceramahnya di depan massa Partai Persatuan Pembangunan, Mbah Mun menyatakan, Islam itu ya Pancasila. Pancasila ya NKRI. NKRI ya Islam. Ketiganya tidak bisa dipisah-pisahkan. Ini sebuah pernyataan yang luwes seperti air. Tapi energinya sangat kuat dalam konteks berdirinya NKRI yang tak bisa dilepaskan dari perjuangan umat Islam.
Pinjam istilah KH AR Fachrudin, Ketum PP Muhammadiyah (1968-1990) Indonesia ini adalah negara Islam. Karena ulama sudah bersepakat bahwa Negara Indonesia berdasarkan Ketuhanan. Semua agama diberi ruang kebebasan menjalankan ibadahnya. Semuanya diikat dalam kesepakatan mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika adalah refleksi dari Piagam Madinah yang diteken Nabi Muhammad untuk membangun suatu negara. Yaitu “Negara Madinah” yang dihuni oleh pelbagai macam manusia dengan berbagai macam agama, suku, dan adat istiadat.
Dalam konteks inilah kita mengenang peran seorang ulama ahli ushul fiqih seperti KH Maemun Zubair (Mbah Maemun). Mbah Maemun bisa diibaratkan sebagai “komando pasukan khusus” yang mengawal NKRI, Pancasila, dan Islam di bumi nusantara dengan ketokohan dan keluasan ilmunya. Mbah Maemun, melalui aktivitas dakwah dan politiknya, menjadi penerus dan corong para founding fathers negeri kepulauan ini untuk memperkuat kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia.
Terbayangkah, jika saat itu para ulama Indonesia yang duduk di BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) tidak menggunakan ushul fiqih dalam menentukan bentuk dan dasar negara? Apa yang terjadi sekarang ini?
Tak akan ada Indonesia. Wakil-wakil Kristen dari Timur, misalnya, mengancam akan mendirikan negara sendiri, jika pihak Islam mengharuskan tercantumnya tujuh kata dalam preambul UUD 45.
Soal tujuh kata itu, Bung Hatta menceritakan dalam memoarnya dengan bagus sekali. Usai Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 di Jumat siang hari — pada sore hari, Bung Hatta menerima telepon dari Nishijima, asisten Laksmana Maeda, petinggi Angkatan Laut Jepang. Di telepon, Nishijima menanyakan apakah Hatta bisa menerima seorang opsir Angkatan Laut Jepang. Hatta mengiyakan.
Opsir itu menyampaikan berita: “Wakil-wakil Protestan dan Katolik di daerah-daerah yang dikuasai oleh Angkatan Laut Jepang, sangat keberatan terhadap bagian kalimat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar, yang berbunyi Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”
Mereka menyadari bagian kalimat itu tidak mengikat mereka. Hanya mengenai kaum muslim. Namun tercantumnya ketetapan seperti itu di Undang-Undang Dasar bisa dimaknai sebagai diskriminasi terhadap minoritas.
“Jika diskriminasi itu ditetapkan juga, mereka lebih suka berdiri di luar Republik Indonesia,” tulis Hatta dalam memoarnya.
Putra Minang itu memikirkan dengan serius. “Tergambar di muka saya, perjuangan saya yang lebih dari 25 tahun lamanya, dengan melalui bui dan pembuangan, untuk mencapai Indonesia Merdeka bersatu dan tidak terbagi-bagi. Apakah Indonesia merdeka yang baru saja dibentuk akan pecah kembali dan mungkin terjajah kembali karena suatu hal yang sebenarnya dapat diatasi?, ” tulis Hatta.
Keputusan diambil. Pada 18 Agustus 1945 pagi, sebelum sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dimulai, Hatta menggamit Ki Bagus Hadikusumo, KH Wahid Hasyim, Kasman Singodimedjo, dan Teuku Hasan untuk menggelar rapat pendahuluan. Empat orang itu merupakan perwakilan kalangan Islam di PPKI.
Pesan opsir itu disampaikan Hatta. Akhirnya mereka sepakat mengubah frasa itu dan menggantinya dengan ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’. Hatta mengenang, “Apabila suatu masalah yang serius dan bisa membahayakan keutuhan negara dapat diatasi dalam sidang kecil yang lamanya kurang dari 15 menit, itu adalah suatu tanda bahwa pemimpin-pemimpin tersebut pada waktu itu benar-benar mementingkan nasib dan persatuan bangsa.”
Lalu mereka menuju rapat resmi PPKI. Kesepakatan 5 orang itu meluncur mulus di rapat PPKI. UUD 1945 disahkan. Tujuh kata dalam preambul UUD 45 (yang kemudian disebut Piagam Jakarta itu) resmi dihapus.
Mungkin timbul pertanyaan dari kalangaan kaum “radikal” tertentu — bagaimana bisa, empat ulama yang alim itu dengan cepat menyetujui usulan Bung Hatta? Jawabnya jelas: mereka memakai pedoman ushul fiqih. Dalam ushul fiqih ada sebuah premis: Menolak mafsadah (kerusakan) didahulukan daripada mengambil kemaslahatan. Premis inilah yang dipakai Ki Bagus Hadikusumo, Wahid Hasyim, Kasman Singodimedjo, dan Teuku Hasan dalam rapat PPKI, sehingga mereka rela melepaskan tujuh kata tersebut. Kita tahu hasilnya: NKRI pun terbentuk dari Sabang sampai Marauke.
Ushul Fiqih yang menurut kaum radikal “tidak garang” tersebut sebetulnya bisa dirunut jejaknya dalam Quran. Surat Al-Anam 108, misalnya, menyatakan: janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Jadi, Allah mengharamkan mencela sesembahan kaum musyrikin, karena mafsadatnya lebih besar dari maslahatnya. Jika hari-hari ini, ada sebagian umat Islam yang dengan “gagah berani” menghancurkan patung, merobohkan rumah ibadah agama lain” – mereka jelas orang yang tidak memahami ushul fiqih. Lucunya, mereka dengan garang menyatakan, inilah perintah Allah. Padahal, itulah larangan Allah. Mereka tertipu nafsunya. Karena kebodohannya.
Fakta menunjukkan Islam adalah agama yang diturunkan di Jazirah Arab. Mau tidak mau, banyak sekali hukum-hukum fiqih Islam yang berorientasi pada budaya Arab. Dalam kasus inilah, ushul fiqih memberi jalan keluar. Premisnya: Al-aadatu muhakkamah (adat bisa menjadi referensi hukum). Premis hukum fiqih inilah yang mendasari NU mengusung Islam Nusantara. Yaitu Islam yang berangkat dari adat istiadat nusantara yang kaya dengan budaya.
Sunan Bonang, ketika menyebarkan Islam di Kudus, misalnya, mengharamkan orang Islam memotong sapi untuk qurban. Karena saat itu, di Kudus masih banyak orang Hindu yang menghormati sapi sebagai hewan suci. Jika saat itu Sunan Bonang menghalalkan penyembelihan sapi untuk qurban, niscaya orang Hindu akan marah terhadap Islam. Dakwah Islam pun akan gagal. Sejarawan Belanda Karl Steinbrink memuji keluwesan dakwah Islam Sunan Bonang tersebut, sehingga wilayah Patih dan Kudus kini menjadi pusat Islam di Jawa Tengah.
Hari-hari ini, perdebatan bagaimana harus menutup aurat wanita sesuai bunyi ayat-ayat Al-Qur’an masih terus jadi bahan perbincangan (Annur 31, Al-Ahzab 53, Al-Ahzab 59). Ada yang mendefinisikan jilbab secara konvensional, yaitu pakaian yang menutup seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Ada yang mendefinisikannya secara modern, yaitu pakaiaan yang sopan, sesuai tatakrama. Dan macam-macam. Dalam konteks inilah, ushul fiqih akan bicara. Dan kita, misalnya, bisa melihat bagaimana busana istri para ulama-ulama besar Indonesia. Seperti istrinya KH Hasyim Asyarie, KH Ahmad Dahlan, KH Abdurrahman Wahid, KH. Qurais Shihab, dan lain-lain. Mereka adalah ulama-ulama yang menguasai ushul fiqih sehingga “tidak ribet” dalam memberikan hukum berbusana muslim. Kebaya dengan kerudung dan gelung rambut, misalnya, yang merupakan busana adat Jawa sudah cukup mewakili busana muslim. Itulah adat berbusana Jawa yang memenuhi sopan santun. Sudah sesuai dengan ajaran Islam yang mengacu ushul fiqih tadi (al aadatu muhakkamah).
Fiqih Islam, berdasarkan ushul fiqih, sangat luwes. Ini karena hukum Islam adalah untuk manusia. Bukan manusia untuk hukum. Itulah sebabnya, jika orang Islam kelaparan di dalam hutan dan hanya menemui babi untuk menyelamatkan hidupnya, maka daging babi yang haram itu halal baginya.
Sebaliknya, jika orang kaya makin daging kambing, sementara di hadapannya ada orang kelaparan, maka makanan halal tersebut haram baginya. Kenapa demikian? Ini terjadi karena dalam ushul fikih ada dua premis yang sangat humanis. Pertama, dalam keadaan sempit, maka hukum terhadap sesuatu sangat luas (ringan). Sebaliknya, dalam keadaan lapang, maka hukum terhadap sesuatu sangat sempit (ketat). Dua contoh makan babi dan kambing di atas, pas untuk aplikasi kedua premis tersebut.
Bangsa Indonesia telah kehilangan salah seorang ulama ushul fiqih yang mumpuni. KH Maemun Zubair – Ketua Majlis Syariah Partai Persatuan Pembangunan – yang lahir 28 Oktober 1928 – meninggalkan kita semua di Kota Mekah, Selasa (6/8/2019), untuk kembali ke hadirat Allah SWT. Kegigihan Mbah Maemun dalam menegakkan NKRI berdasarkan Pancasila, baik melalui jalur dakwah maupun politik, patut menjadi teladan kita semua. Semoga Allah memberikan imbalan surga abadi atas jasa-jasa beliau yang sangat besar bagi bangsa dan negara Indonesia.
Rest In Peace Mbah Maemun! Untuk arwah beliau, kita baca Al-Faatihah. Aamiin.