Oleh: Arwendo Atmowiloto
Bagian Dua : Langit yang Berubah
Pada awal mula komunikasi dimulai dari atas, dari kejauhan, dari langit. Dari sanalah segalanya bermula. Dari langitlah bermula ilham, inspirasi, perintah, gaib, misterius kepada orang-orang tertentu, yang terpilih. Komunikasi berlangsung searah, “dari atas ke bawah”, dan susah dibantah. Begitulah para raja, para pendeta, para penafsir mimpi, para peramal memegang monopoli kuasa menerjemahkan. Komunikasi model wangsit, turun langsung dari langit, menentukan nasib atau kehidupan seseorang atau beberapa orang.
Pada masa kini, komunikasi masih sama. Langit tetap memegang peran penting dan menentukan. Namun bukan lagi jenis wangsit, melainkan dengan sistem satelit. Langit pun berubah. Kini langit tak memilih orang-orang tertentu, melainkan berkomunikasi dengan siapa saja yang memiliki akses dengan satelit. Dan ini semua dimungkinkan karena kemudahan yang diberikan tehnologi komunikasi secara massa, secara ketika yang sama. Dan puncak dari semua itu adalah apa yang kita kenal sebagai Media Sosial, atau Media Online. Dengan bentuknya seperti Twitter, Face Book, Instagram, WA, dengan beberapa varian yang sifatnya pribadi atau dalam grup yang makin canggih menyebar.
Dalam kondisi ini teori komunikasi yang baru tak bisa menerangkan bagaimana seseorang bisa menjadi penyampai berita—apa saja, dan memberi komentar—apa saja, dan atau menyatakan suka atau meneruskan. Dengan begitu banyak idiom-idiom yang baru, istilah-istilah baru, yang kesemuanya berarti pengertian yang baru.
Langit yang sama itu adalah langit yang berubah jauh. Langit yang memberikan kebebasan sebebas-bebasnya dalam menerabas batas-batas yang selama ini ada. Dengan kata yang berbeda : kebenaran atau bukan kebenaran, disampaikan dengan cara yang kurang lebih sama, juga ketika menyangkalnya. Tak ada garis pemisah, pun andai itu fitnah yang ingkar pada data dan fakta dengan yang bukan fitnah. Tumpang tindih mengajarkan untuk bisa memilih, untuk menjadi cerdas.
Unsur-unsur yang ada dalam Jalan Budaya bisa dipakai sebagai pendekatan dalam menyoba memahami keberadaan Media Sosial. Bahwa selalu diperlukan adanya ruang kreatif untuk memberi tafsir baru pada peristiwa, atau fakta yang dimunculkan. Ruang dinamis ini diperlukan mana kala, misalnya kita membaca apa yang ada di Media Sosial. Misalnya:
- Karena di daerah terjadi ketidak-adilan dalam menyaksikan Gerhana Matahari Total 2016, mohon kiranya gerhana tersebut diulang. Atau :
- Zaman Presiden Soeharto ada Gerhana Matahari Total. Juga di era Presiden Jokowi. Lalu presiden-presiden yang lain ngapain selama ini? Atau :
- Haji Lulung ingin naik kereta api, gerbong yang menjemput ke rumahnya. Atau :
- Menteri Susi banyak berkoar menenggelamkan kapal asing. Ical tanpa banyak ngomong menenggelamkan banyak desa dengan lumpur Lapindo. Atau :Kisah-kisah yang berkaitan dengan Monas, di mana ada yang akan gantung diri, atau melompat terjun dari atas, atau lari telanjang. Atau ,tak ada hubungannya dengan Monas tapi soal potong kelelakian atau potong kuping.
- Atau berbagai kisah dan cerita yang bisa diingkari, dihindari, dieliminasi sendiri, ditolak walau diomongi sendiri. Semuanya memungkin menyampaikan kebenaran—dan atau penyangkalan. Semuanya menambah ketidak-jelasan mana yang palsu dan mana yang perlu.
Atau sebuah keberuntungan bagi generasi ini karena jauh hari sudah dikenalkan komentar
seperti meme atau sejenisnya ini, 15 tahun lalu. Ketika itu Gus Dur menyamakan atau melihat tak ada perbedaan jelas antara para wakil rakyat, anggota DPR dengan anak-anak di Taman Kanak-Kanak. Komentar menjadi klasik yang membuat murka para wakil rakyat karena merasa direndahkan. Meskipun menurut Jaya Suprana seharusnya yang tersinggung justru anak-anak TK.. Komentar itu klasik dan abadi, dan secara tema masuk aktual sampai saat ini. Tidak berlebihan jika para murid merasakan daya ramal yang menembus waktu. Aktualitas itu juga berlanjut dengan komentar berikutnya yang mengatakan anggota DPR sudah turun menjadi playgroup. Termasuk komentar bahwa gelar prof para wakil rakyat itu sebenarnya singkatan dari provokator.
Dan sesungguhnyalah komentar “Taman Kanak-Kanak” bisa menjadi serial yang luar biasa panjang untuk dikaji, untuk digali, untuk ditemukan relevansinya saat itu. Juga komentar yang lain tentang suku dan agama dalam pemahaman baru yang masih akan dilihat ketika persoalan-persoalan SARA masih menghantu di negeri ini, ketika toleransi dilanggar, ketika nasionalisme tak menemukan “nasi”nya lagi.
Barang kali juga pendekatan humor merupakan andalan untuk menyikapi langit yang berubah. Humor, atau lelucon kata Gus Dur,” dengannya kita melupakan kesulitan hidup, walau sejenak”. Tapi lebih dari itu, “dengan humor pikiran jadi sehat.”
Dengan dan dalam semangat “tetap waras” inilah kita berkumpul di sini, berorasi, berkesenian, membebaskan diri kita dari belenggu yang menghancurkan,menistakan dan mengerdilkan martabat kemanusiaan.
Dalam kaitan ini, dalam kondisi “langit yang sepenuhnya telah berubah”, kondisi komunikasi yang tak jelas siapa bicara apa dengan siapa , dalam situasi sangat bebas—termasuk untuk memaki, akan lebih tepat bila semangat Gus Dur tidak menjadi luntur karenanya. Tetap bisa jernih berpikir, fasih mengutarakan, sehingga semua bersih adanya. Bahkan saya ingin mengajak justru melalui Media Sosial kita mampu menyebarkan kabar pesona segala hal yang baik. Baik kata-kata mutiara, atau kisah-kisah inspiratif yang baik dan benar adanya.
Saya mengalami suatu ketika pergi bersama Gus Dur dalam mobilnya yang kecil, pergi diskusi di daerah Puncak, Bogor. Ketika itulah beliau mengutarakan gagasannya bahwa pengguna jalan tol yang membayar mestinya mendapat diskon. Terutama karena dalam sehari kendaraan bisa beberapa kali melewati jalan tol. Gagasan sederhana terlontar, dan terwujud. Ada suatu ketika pengguna jalan tol mendapatkan keringanan. Kisah ini, barang kali saja tak banyak didengar, tapi pasti inilah kisah yang pantas didengarkan, ditularkan. Karena membawa kebaikan tanpa merugikan salah satu pihak. Yang menerima kebaikan bisa saja tak mengenal Gus Dur, namun merasakan manfaatnya.
Saya pernah mengikuti pendekatan ini dengan menuliskan mengenai jembatan penyeberangan orang yang dibangun. Kenapalah dari awal tidak didesain dan dibangun sekaligus untuk kegiatan olah raga, jalan kaki misalnya. Misalnya saja anak tangga bukan asal-asalan, ada perhitungan kira-kira menghabiskan berapa kalori. Tulisan jadi, tapi pembangunan jembatan penyeberangan orang yang baru tak peduli.
Ada peristiwa lain, kali ini judulnya Tukang Bubur Baik Hati. Ada tukang bubur, masih muda dan laris manis di pangkalan jual, dekat-dekat penjual lain. Sedemikian larisnya sehingga pembeli harus antri pada jam-jam tertentu. Menariknya penjual bubur ini suka mendadak libur. Tanpa pemberitahuan, tahu-tahu libur. Bisa sehari, bisa seminggu, bisa lebih. Alasannya tidak meyakinkan : nengok ponakan. Menurut penjual lain di sekitar tempat itu, kang bubur ini memakai ilmu pesugihan—ilmu bikin kaya, sugih, atau disebut penglarisan, cara bikin laris dan masuk lmu hitam.
Kecurigaan yang beralasan, karena penjual bubur ini tak pernah menjawab apakah ia memakai cara-cara terselubung atau tidak. Pernah juga para pedagang sekitarnya, termasuk penjual bubur ayam yang lain, marah besar dan berniat menghancurkan dagangannya. Saya termasuk pelanggan, dan tidak tahu soal pesugihan itu bener atau tidak—meskipun sering mendengar juga pada penjual lain di jalan yang tak terlalu jauh dengan cara tiba-tiba tidak berjualan. Bahkan dulu ada warung bernama “Byar Pet”, karena sering sengaja gagal jual. Saya menyoba menyampaikan gagasan bahwa pesugihan bisa ada, bisa tidak. Tapi pesugihan ini jenis yang baik. Pemberi pemerataan kepada penjual yang lain. Bukankah kalau ia mendadak tutup, pembeli dan pelanggan akan mencari tukang bubur yang lain? Mungkin ini kebijakan nenek moyang kita yang juga memikirkan kepentingan orang lain. Sampai sekarang para tukang bubur ayam itu tidak saling bermusuhan.
Berita semacam ini perlu dimedia-sosialkan lebih banyak lagi. Juga berita-berita yang lain, sehingga warna langit tak selalu muram. Kita bebas melakukan itu atau tidak melakukan “ajakan menjadi sehat.”
Kalau boleh mengaku sebagai murid—merasa berhubungan erat , merasa dibimbing secara rohani, saya menangkap pembebasan yang dicontohkan Gus Dur terutama sekali adalah pembebasan dari hanya mikir sendiri, dari egoisme pribadi. Bahkan lebih dramatis lagi kebebasan dari belenggu prasangka hanya memikirkan agamanya, sukunya, asal usulnya. Kebebasan yang diwahyukan Gus Dur adalah kebebasan untuk berbuat baik kepada orang lain.
Kita dibahagiakan dengan dan dalam pencerahan ini. []
Arswendo Atmowiloto adalah penulis dan budayawan. Tulisan ini adalah pidato beliau dalam Orasi Budaya Forum Jumat GusDurian, 6 Mei 2016 di Griya Gus Dur Jakarta.
Baca juga bagian pertama: Jalan Budaya Ketika Langit Tak Lagi Sama (Bag.1)