Islam dan demokrasi kerap dipertentangan oleh sejumlah kelompok muslim, di Indonesia hadir secara sinergis dan berkait-kelindan satu sama lain. Hal tersebut ditopang oleh cara pandang moderat mayoritas muslim di Indonesia, yang selalu berusaha mencari titik temu di antara berbagai konsepsi kehidupan (termasuk konsep bernegara) dari berbagai aras kebudayaan dan peradaban, selama tidak bertentangan secara prinsipil dengan ajaran Islam.
Sebagai negara-bangsa yang berdiri dari sebuah konsensus di atas fakta kemajemukan, persoalan pengelolaan keragaman menjadi satu hal paling penting bagi bangsa ini. Gagalnya pengelolaan keragaman, menandai gagalnya penyelenggaraan negara, hal tersebut karena keragaman (suku, agama dan ras) adalah ibu kandung bangsa Indonesia. Menegasinya, berarti membunuh ibu pertiwi, cepat atau lambat.
Islam Politik
Fenomena menguatnya politik identitas atau politisasi SARA di momen Pilkada Jakarta, menunjukkan kondisi yang memprihatinkan sekaligus mengkhawatirkan. Memprihatinkan sebab, sulam kebangsaan akan kembali dikoyak oleh sektarianisme dan fanatisme golongan yang beroperasi lewat ruang-ruang suksesi politik kekuasaan. Mengkhawatirkan karena, merebaknya sektarianisme di momen Pilkada DKI bisa saja berefek ke wilayah lain dengan segregasi sosial yang heterogen, khusunya segregasi agama (dalam hal ini antara muslim dan non-muslim) yang rentan menimbulkan konflik komunal.
Olehnya harus difahami, bahwa corak ideologi politik tidaklah tunggal. Beragamnya corak ideologi politik di kalangan muslim, adalah hal yang tidak bisa dielakkan, karena sejarah fragmentasi ideologi dan orientasi politik telah berlangsung dalam kurun waktu yang lama dan panjang. Di Indonesia, setidaknya ada dua corak besar ideologi politik ummat Islam yang mewarnai perjalanan sejarah perpolitikan di negara ini.
Pertama, politik Islam itu sendiri (islamisme), penganut corak ini akan berusaha memperjuangkan sebuah tatanan bernegara di bawah panji Islam, hal ini selain berangkat dari pandangan akan kenyataan bahwa ummat Islam adalah mayoritas dalam tubuh bangsa Indonesia, juga akibat adanya pemahaman -bahkan keyakinan- di sebagian ummat Islam, bahwa mendirikan negara Islam (Islamic state/khilafah Islamiyah) adalah kewajiban ummat Islam, menurut kelompok ini, Islam sebagai ajaran yang sempurna hanya akan bisa diterapkan secara total (kaffah), jika hadir sebagai agama (din) sekaligus negara (daulah) yang terwujud melalui pemerintahan, sehingga dengan kekuasaan yang dimiliki itu, “Islam” dapat mengatur segala aspek kehidupan.
Kedua, politik kebangsaan (nasionalisme), corak politik ini kerapkali dianggap tidak memiliki pijakan dalam agama (Islam), hal ini diakibatkan oleh cara pandang formalistik, karena melihat nasionalisme secara terminologis tidak terdapat dalam ensiklopedia dunia Islam, padahal secara subtansial ia telah dipraktikkan oleh Nabi Muhammad dalam bingkai negara Madinah berabad yang lampau. Hal tersebut dipertegas oleh Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ary, menurut pendiri NU ini “Agama dan Nasionalisme adalah dua kutub yang tidak berseberangan, nasionalisme adalah bagian dari agama, dan keduanya saling menguatkan”
Politik Kebangsaan
Ajaran Islam Ahlu Sunnah Wal Jamaah (Aswaja/Sunni) adalah faham yang mayoritas anut oleh masyarakat muslim di negara ini bahkan di dunia. Aswaja yang di kalangan NU, didudukkan sebagai manhaj al-fikr (metodologi berfikir) memiliki platform politik, yaitu syura (musyawarah), al-adl (adil) al-hurriyah (kebebasan) dan al-musawa (kesetaraan).
Dalam konteks NU dan Muhammadiyah misalnya, platform politik itu diwujudkan dalam politik kebangsaan, yaitu visi politik yang menempatkan ke-Indonesia-an di atas kepentingan golongan, baik yang berorientasi agama, suku dan sejenisnya. Bahwa perjuangan Islam politik (islamisme), mungkin akan menguntungkan ummat Islam pada satu sisi, namun pada sisi yang lain akan menyebabkan rapuhnya sendi-sendi kebangsaan oleh karena ketegangan ideologis berbasis agama akan merebak.
Ummat Islam sebagai mayoritas di bangsa ini, memang memiliki modal sosial sekaligus modal politik yang strategis. Tentu modal sosial dan modal politik itu tidak dimaksudkan untuk mempertentangkan antara kepentingan agama (Islam) dan bangsa Indonesia. Mengingat para founding fathers dari kalangan ulama adalah penyokong utama republik, baik dalam kaitannya dengan dengan perjuangan meraih kemerdekaan, maupun perjuangan mewujudkan cita-cita kemerdekaan itu dengan semangat persatuan dan visi kebangsaan.
Hal itu misalnya dibuktikan melalui penerimaan Pancasila dan pembatalan tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang menimbulkan perdebatan cukup sengit antara kelompok islamis dan nasionalis di awal perumusan dasar negara ini.
Umat Islam adalah pasak kebangsaan Indonesia yang majemuk. Karena jasa-jasa para Ulama yang meninggalkan fanatisme golongan demi pesatuan, kemudian mensinergikan semangat keislaman dan semangat kebangsaan demi tercapainya tujuan negara, yaitu kemaslahatan bersama (al-maslahatul ‘ammah). []