Setelah saya menulis tentang ‘Islam Perkotaan’ yang sedang tumbuh dan berkembang di Indonesia, sementara rekan imbangan mereka di pedesaan (‘Islam Pedesaan’) sedang mengalami penurunan kali ini saya ingin menekankan bagaimana ‘Islam Pedesaan’ melalui pesantren dan kyai (dan ditambah Nahdlatul Ulama (NU) di Jawa bagian tengah dan timur) pernah mewarnai kehidupan sosial-ekonomi-politik-budaya masyarakat Indonesia, terutama pada masa Orde Baru.
Saat itu, upaya pesantren dalam mempertahankan dan melestarikan identitas dan ekspresi keislaman mereka telah menghasilkan kondisi di mana Islam benar-benar tertanam dalam seluruh aspek-aspek kehidupan masyarakat Indonesia, terutama Jawa dan wilayah sekitarnya, secara luas. Tulisan ini akan memaparkan kondisi tersebut dengan studi kasus dari Madura.
Insiden Waduk Nipah
Pada masa Orde Baru di tahun 1990-an terjadi peningkatan kasus-kasus sengketa lahan yang disebabkan oleh ekspansi investasi swasta asing dan domestik yang sangat cepat. Saat itu pemerintah harus memfasilitasi pengadaan lahan oleh investor untuk pembangunan pabrik dan proyek-proyek pekerjaan umum seperti perumahan, waduk, jalan, dan skema pembangunan perkotaan. Secara umum, bantuan yang diberikan kepada investasi swasta adalah bagian dari program industrialisasi pemerintah (Lucas 1997, 231-232).
Di Madura terjadi insiden Waduk Nipah pada tanggal 25 September 1993 di Kecamatan Banyuates, Kabupaten Sampang. Insiden Waduk Nipah adalah konfrontasi berdarah antara penduduk Kecamatan Banyuates dan aparat bersenjata polisi dan tentara. Insiden tersebut mengakibatkan empat orang meninggal dunia. Pemerintah pusat, melalui pemerintah daerah Kabupaten Sampang, berencana membangun waduk di Kecamatan Banyuates. Pemilik lahan di dalam wilayah yang direncanakan menjadi waduk tersebut memprotes rencana untuk memperoleh lahan dan properti mereka, termasuk sejumlah masjid dan pemakaman yang pada akhirnya memunculkan kondisi yang memanas dalam proses pembebasan lahan.
Kyai Alawy sebagai Pemimpin Umat
Kyai Alawy Muhammad adalah seorang kyai terkemuka dari Sampang. Ia muncul sebagai tokoh keagamaan yang terlibat secara aktif dalam insiden Waduk Nipah. Kyai Alawy adalah putra keempat dari sebelas bersaudara yang lahir pada masa kolonialisme di Hindia Belanda. Ayahnya adalah seorang tokoh agama yang memiliki pengetahuan luas tentang Islam. Pada masa pemerintahan Soekarno, ia pergi ke Mekah tidak hanya untuk berhaji, tetapi juga untuk belajar agama. Seperti banyak kyai Madura pada periode tersebut, setelah ia kembali ke tanah kelahirannya, ia memimpin sebuah pesantren dan mulai menyebarkan pengaruhnya.
Meskipun Kyai Alawy berasal dari keluarga kyai, namun mereka bukanlah keluarga kyai tingkat tinggi. Ia tidak memiliki hak istimewa yang dinikmati oleh lora (gelar kehormatan untuk putra seorang kyai berstatus tinggi di Madura). Namun, ia masih menikmati sejumlah keuntungan di pesantren ayahnya, terutama di kalangan santri. Meskipun memimpin pesantren dimungkinkan bagi orang-orang yang tidak memiliki garis keturunan kyai besar, mereka yang tinggal di Madura bagian barat menghadapi kesulitan berhadapan dengan posisi dominan kyai lain, khususnya keturunan Kyai Kholil yang legendaris. Selain itu, menjalankan pesantren membutuhkan sumber daya yang cukup besar. Karena itu, pada awalnya, kemungkinan Kyai Alawy berada di bawah tekanan luar biasa untuk memenangkan opini publik.
Keterlibatan Kyai Alawy dalam Insiden Waduk Nipah
Setelah insiden Waduk Nipah, Kyai Alawy bersama warga Sampang menuntut keadilan. Wakil Presiden Try Sutrisno meminta Kyai Alawy untuk menenangkan situasi yang memanas di Sampang (Jawa Pos, 16 Oktober 1993). Keterlibatan Kyai Alawy dalam insiden Waduk Nipah dapat diartikan sebagai permintaan dari publik di mana warga memiliki harapan besar dari para pemimpin mereka. Selain itu, karena Kyai Alawy adalah kyai terkemuka di Sampang, pemerintah memintanya untuk membantu menyelesaikan insiden tersebut. Pemerintah menyadari bahwa lebih mudah meminta seorang kyai untuk menenangkan situasi yang memanas daripada mengatasi keadaan yang tegang tanpa melibatkan para pemimpin setempat.
Kondisi tersebut mengindikasikan tiga aspek penting. Pertama, posisi kyai dalam masyarakat sangat tinggi sehingga warga meminta mereka untuk menjadi wakil mereka dan menyuarakan keprihatinan mereka. Kedua, pemerintah melihat kyai sebagai mediator dalam perselisihan dengan warga, dan ini jelas menunjukkan pentingnya kyai sebagai perantara. Ketiga, setelah insiden itu, posisi Kyai Alawy dan kyai lain yang terlibat dalam proses mediasi menjadi lebih kuat di mata warga dan di mata pemerintah. Hal tersebut jelas sangat baik untuk reputasi mereka, terutama di ranah politik.
Keterlibatan Kyai Alawy dalam Kondisi Sosial-Politik Lainnya
Selama Orde Baru Kyai Alawy memiliki hubungan yang lebih kompleks dengan pemerintah dibandingkan dengan kyai-kyai Partai Persatuan Pembangunan (PPP) lainnya di Madura. Tidak seperti banyak kyai PPP lainnya, Kyai Alawy tidak mengalami pengucilan ekonomi dari pemerintah. Ini tampaknya adalah hasil dari kedekatannya dengan pihak berwenang di Surabaya dan Jakarta. Menyusul keterlibatannya dalam insiden Waduk Nipah, pemerintah sadar bahwa ada kyai tertentu di Madura yang tidak boleh diabaikan; salah satunya adalah Kyai Alawy. Rumor pun kemudian menyebar bahwa Kyai Alawy dianugerahi bantuan keuangan untuk merenovasi pesantrennya (Widjojo & Fawzia 1999, 68).
Setelah kerusuhan Sampang tahun 1997 yang terjadi setelah pemilihan umum, kediaman Kyai Alawy menjadi tempat pertemuan di mana para pejabat PPP dan pemerintah membahas kerusuhan tersebut. Hal ini menimbulkan persepsi bahwa Kyai Alawy telah “dibeli” oleh pemerintah agar ia tidak terlalu kritis dalam menanggapi kerusuhan tersebut. Yang lain berpendapat bahwa Kyai Alawy adalah tokoh berpengaruh dalam di Sampang dan tubuh PPP secara umum, sehingga pemerintah perlu memperhatikan kyai ini jika mereka ingin menangani kerusuhan tersebut secara efektif.
Sebagai seorang kyai Madura, dukungannya terhadap NU hampir tidak perlu dipertanyakan lagi. Melalui jaringan NU, Kyai Alawy mampu mencapai tingkat yang lebih tinggi di dunia politik. Namun, Kyai Alawy mengkritik NU atas keputusan yang dibuat pada kongres 1984 untuk kembali ke Khittah 1926. Ia juga berulang kali menyatakan penentangannya terhadap upaya mensekulerkan NU dengan menerima Pancasila sebagai satu-satunya ideologi. PCNU Pasuruan, misalnya, melaporkan bahwa ketika Kyai Alawy menyampaikan ceramah di Pasuruan pada tanggal 1 Maret 1997, ia secara terbuka mengecam NU karena keputusannya untuk kembali ke Khittah 1926 (Jawa Pos, 18 Maret 1997). Namun, di koran yang sama, Kyai Alawy membantah tuduhan itu. Ia mengatakan bahwa “Saya tidak menghina NU; tidak mungkin seorang kyai mencoreng Islam” (Jawa Pos, 18 Maret 1997).
Seperti banyak kyai di Madura selama pemerintahan Suharto, Kyai Alawy percaya bahwa PPP adalah partai untuk umat Islam. Ia bersikeras bahwa adalah dosa besar bagi umat Islam jika mencoblos selain PPP. Namun, ia menolak gagasan bahwa Islam harus menjadi dasar negara. Bagi beberapa kyai, seperti Kyai Alawy, mendukung kandidat tertentu atau partai politik tertentu dalam pemilu — selama itu tidak mendukung Golkar — adalah cara vital untuk mempertahankan posisi mereka di masyarakat. Hal tersebut menunjukkan pentingnya kyai sebagai aktor sentral dalam politik lokal di Indonesia, terutama selama Orde Baru.
Refleksi
Kyai adalah aktor utama dalam hubungan negara-masyarakat di Madura dan daerah-daerah lain di Indonesia pada masa Orde Baru. Di pedesaan, mereka adalah broker sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Melalui pemerintahan desa, negara sering berupaya mengurangi pengaruh politik kyai, terutama selama pemilihan umum. Sementara itu, melalui jaringan pesantren dan NU, para kyai dengan hati-hati merespon kekuasaan negara dengan menjauhkan diri dari negara. Hal tersebut telah menciptakan situasi yang canggung, karena kyai sebenarnya dibutuhkan oleh negara untuk memastikan semuanya berjalan lancar di tingkat akar rumput.
Pada masa Orde Baru, sebagian besar elit agama di Indonesia tidak berafiliasi dengan birokrasi. Namun, mereka terus memainkan peran pentingnya. Dengan menjaga jarak dari negara, kyai telah berhasil mempertahankan posisi mereka di masyarakat. Mereka menyadari kemungkinan risiko terasing dan terisolasi tidak hanya dari pengikut mereka, tetapi juga dari jaringan horizontal mereka di kalangan agamawan.
Lebih penting lagi, mereka khawatir bahwa posisi terhormat mereka dalam masyarakat mungkin secara bertahap memudar jika mereka tidak menjaga jarak dengan negara. Dengan fokus kepada urusan-urusan keagamaan, dan bagi sebagian yang lain juga terlibat dalam urusan politik, kyai sebagai unsur utama ‘Islam Pedesaan’, terutama pada masa Orde Baru, mampu menentukan dengan mana dan untuk tujuan apa mereka terus beradaptasi dengan situasi yang berubah, bersamaan dengan kondisi sosial-politik yang berubah dengan cepat di Indonesia.