Bulan Ramadhan sudah semestinya menjadi bulan suci bagi umat Islam. Bukan saja disakralkan karena kemuliaannya dibandingkan dengan bulan-bulan lain, Ramadhan juga merupakan bulan pengendalian diri. Hampir semua umat Islam pasti paham bahwa bulan puasa adalah bulan yang paling top markotop dan jempolan untuk refleksi diri, merenung dan membatasi diri dari amarah, fitnah atau kedengkian lainnya. Harapannya, setelah lulus dari Ramadhan, pola kebaikan tersebut bisa dilembagakan kedalam diri masing-masing Muslim di bulan-bulan selanjutnya.
Tetapi bulan Ramadhan kali ini sepertinya menampilkan nuansa lain. Nuansa yang sangar. Nuansa yang justru berkebalikan dengan esensi Ramadhan yang diamanatkan oleh Tuhan, yakni kesabaran dan pengendalian diri.
Menyedihkannya lagi, nuansa tersebut sayangnya justru menjadi gambaran dari ‘wajah Islam’ kita saat ini. Mungkin saya terlalu melakukan over generalisasi dalam hal ini. Mungkin saya terlalu lebay atau baper. Tetapi kita bisa melihat, misalnya, betapa heboh dan berkepanjangannya kasus Ibu Saeni, seorang pedagang Warteg di Kota Serang yang dagangannya disita apparat Satpol PP Kota Serang karena tidak tutup warung ketika kebanyakan muslim sedang berpuasa.
Atas nama peraturan daerah (Perda), Saeni ditindak dan dagangannya disita demi hukum. Tindakan ini berhasil menarik perhatian media cetak dan online dan sesaat kemudian menggerakkan solidaritas sosial. Bahkan netizen dalam waktu singkat bisa mengumpulkan Rp 265 juta untuk didonasikan kepada Saeni. Tak kurang dari seorang Presiden Jokowi pun memberikan sumbangan kepada Saeni melalui staf Istana.
Mendagri pun kemudian menghapus 3.143 Perda bermasalah, termasuk di dalamnya Perda yang berpotensi bertentangan dengan kebhinnekaan dan semangat persatuan nasional. Termasuk di dalamnya Perda yang melarang warung dan restoran beroperasi di jam berpuasa. Tapi selesaikah? Ternyata tidak. Belakangan, melalui media massa Walikota Serang keukeuh untuk meneruskan razia terhadap restoran dan rumah makan atas nama Ramadhan. Negara macam apa ini?
Wajah pemarah kita
Mestinya bersyukur, kejadian Saeni sudah berhasil mengetuk kesadaran kita untuk lebih bisa berempati kepada kalangan bawah yang sedang mati-matian berjihad menghidupi keluarganya dengan aktivitas maisyah yang mereka lakukan. Kita bersyukur ketika negara hadir dan segera merespons potensi intoleransi bernuansa agama dan kemudian segera menerbitkan keputusan penghapusan lebih dari 3.000 perda tersebut (walaupun rencana penghapusan perda-perda bermasalah ini sudah dimulai sejak tahun lalu, termasuk peraturan daerah yang menghambat iklim investasi dan kemudahan usaha).
Akan tetapi, di saat yang sama kita juga mengelus dada. Kita prihatin dengan reaksi sebagian kalangan Islam kita yang cenderung reaktif, berlebihan, bahkan diikuti dengan kemarahan, caci-maki dan fitnah di media sosial.
Bayangkan saja, sebagian umat Islam di media sosial mengecam pembelaan dan aksi solidaritas terhadap Ibu Saeni sebagai sesuatu yang ‘mengancam’ Islam. Mereka beranggapan dengan mentoleransi seseorang berjualan makanan di jam berpuasa akan mengganggu ibadah.
Bila diteruskan lagi, kaum Islam yang model ginian merasa eksistensi keislamannya akan pupus terkikis oleh orang yang berjualan makanan. Kalau mau jujur, betapa tipisnya iman orang model begituan kan? Masa ada orang makan di warung makan di jam berpuasa aja langsung merasa eksistensinya terganggu? Beragama kok inferior banget gitu sih Mas… padahal kita ini mayoritas loh, iya toh?
Kemarahan ini kemudian diluapkan melalui berbagai reaksi di sosial media yang tidak menarik. Misalnya, melalui situs yang tidak jelas asal muasalnya, dibuatlah berita bahwa Ibu Saeni adalah orang kaya yang pura-pura miskin dan jualan warteg. Dengan bekal narasumber satu orang dan tidak terverifikasi, berita macam ini mudah sekali disebar-luaskan di media sosial bak viral bersambut. Sepertinya, sebagian umat Islam itu begitu terusiknya melihat Ibu Saeni dibela, dibantu dan ditempatkan sebagai hero yang terdzalimi.
Sekali lagi, melihat dukungan terhadap Ibu Saeni, keimanan mereka mendadak ciut dan tipis. Kejadian “minder iman” ini kemudian memicu mereka untuk membantu menyebar-viralkan berita yang justru memojokkan Ibu Saeni yang semestinya dalam hal ini adalah korban. Korban dari Pemerintah Daerah yang sedang mempraktekkan hegemoni kekuasaan dan oligarki (atas nama) agama. Tidak cukup di situ saja, kemudian beredar berita bahwa suami Ibu Saeni ini merupakan seorang bandar judi. Untung tidak sampai beredar isu bahwa Ibu Saeni adalah agen Komunis, Yahudi, Nazi, Neo-lib, sekaligus agen Elpiji. Kalau isu tersebut beredar, saya bayangkan betapa rumitnya scenario konspirasi yang tidak bakal terpecahkan oleh Sang Analis Terorisme Indonesia macam Mustofa Nahra atau praktisi konspirasi sejati ala Jonru Ginting sekalipun!
Penulis Irham Ali Saifuddin, Seorang pejalan kaki, resah terhadap muslim yang inferior dan “minder iman”. Facebook: Ali fet Ai