Islam dan Pancasila dalam Keteladanan Pemimpin

Islam dan Pancasila dalam Keteladanan Pemimpin

Islam dan Pancasila dalam Keteladanan Pemimpin

Bagaimana Islam dan Pancasila dipahami dalam konteks kehidupan bangsa Indonesia mutakhir? Bagaimana Pancasila direfleksikan dalam pertarungan ideologi dan kisruh kepentingan antar kelompok? Pancasila, dengan sejarah panjang perumusannya, tidak hanya disarikan dalam satu perbincangan pendek di warung kopi, namun dari debat panjang tokoh bangsa yang mengusung segunung gagasan, menghadirkan ratusan ide-ide dan filosofi kebangsaan.

Lalu, bagaimana memaknai Pancasila—yang telah dibungkus dalam dogma usang Orde Baru—dalam kepemimpinan reformasi yang hampir dua dekade? Tak lain, adalah belajar dari keteladanan para pemimpin bangsa. Pemimpin bangsa, telah mengajari kita, bagaimana berdebat dengan ide, dengan gagasan, bukan dengan adu kata tanpa makna. Soekarno, Hatta, Yamin, Kiai Wahid Hasyim dan sederet tokoh bangsa, berorasi dengan ilmu, bukan dengan ancaman dan amarah. Melihat ini, para politisi dan tokoh-tokoh yang berebut seteru di panggung politik, harusnya malu.

Simaklah bagaimana perdebatan sidang BPUPK menjelma sebagai sederet adu gagasan yang sarat argumentasi. Ki Bagoes Hadikoesoemo mengungkapkan pentingnya Islam sebagai dasar negara. Ia menjelaskan betapa Islam merupakan pangkal persatuan, Islam membangun pemerintahan yang adil dan menegakkan keadilan. Islam sangat sesuai dengan kebangsaan kita, Islam merupakan ajaran lengkap yang menyuruh masyarakat didasarkan atas hukum Allah dan agama Islam. Kelompok Yamin, Wiranatakoesoema, Soerio, Soesanto Tirtoprodjo, Dassad, Agoes Salim, Abdoelrachim Pratalykrama, Abdoel Kadir, KH. Sanoesi, Ki Bagoes Hadikoesoemo, Soekarno, Mohammad Hatta dan Soepomo, berpendapat pentingnya nilai ketuhanan sebagai fundamen kenegaraan.

Kiai Wahid Hasyim, mengerahkan segenap energi untuk mendukung Islam yang selaras dengan negara. Islam yang tidak formal, namun menjadi ruh bangsa ini.

Kiai Wahid Hasyim, dengan segenap pemikiran dan tindakannya, telah memanggungkan gagasan betapa Islam dan kebangsaan disambungkan dengan jembatan silaturahmi gagasan.

Pemikiran Kiai Wahid, terefleksikan dari gagasan ayahandanya, Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari, sembilan tahun sebelum Indoensia merdeka. Para kiai, berkumpul di bumi Borneo, untuk mencari rumusan konsep yang ideal, jika bangsa Indonesia merdeka. Hasilnya, para kiai pesantren sepakat pentingnya dar as-salam, bukan darul Islam. Artinya, negara kedamaian lebih dipilih daripada konsep formal Islam sebagai dasar negara. Kiai-kiai lebih setuju Islam sebagai ruh, Islam sebagai semangat.

Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari, dalam petuah pada Muktamar NU ke-11 di Banjarmasin, pada 1936, menjelaskan pentingnya bergabungnya ormas Islam dengan gerakan nasionalis. “Manusia harus bersatu, agar tercipta kebaikan dan kesejahteraan, dan agar terhindar dari kehancuran dan bahaya. Jadi, kesamaan dan keserasian pendapat mengenai penyelesaian beberapa masalah adalah prasyarat terciptanya kemakmuran. Ini juga akan dapat mengukuhkan rasa kasih sayang. Adanya persatuan dan kesatuan telah menghasilkan kebajikan dan keberhasilan. Persatuan juga telah mendorong kesejahteraan negara, peningkatan status rakyat, kemajuan dan kekuatan pemerintah, dan telah terbukti sebagai alat untuk mencapai kesempurnaan. Satu dari banyak tujuan persatuan adalah bersemainya kebajikan yang akan menjadi sebab terlaksananya berbagai ide.

Petuah Hadratus Syaikh dan keteladanan Kiai Wahid Hasyim, meresap pada jiwa KH. Abdurrahman Wahid. Gus Dur menggemakan Pancasila dalam visi, pemikiran sekaligus tindakan. Ketika menjadi Presiden Indonesia, Gus Dur dengan jeli membereskan persoalan fundamental yang dalam sikap kebangsaan, yakni diskriminasi negara melalui perangkat hukum. Gus Dur menerbitkan Kepres No. 6 tahun 2000 yang mencabut Inpres No 14 tahun 1967 tentang agama, kepercayaan, dan adat istiadat China. Dari kepemimpinan Gus Dur, jelas bahwa ia memahami saling silang sejarah bangsa beserta filosofinya, hingga memutuskan hal-hal fundamental yang menjadi kebijakan negara. Inilah, yang membedakan Gus Dur dengan kepala negara-kepala negara yang lain, yang dengan jitu memahami konsep dasar negara serta “penyakit kebangsaan” yang ada di sejarah bangsa ini.

Sidang Kebangsaan

Sejarah Indonesia, mencatat bahwa BPUPK menggelar dua kali sidang. Pada sidang bersama, pada 29 Mei – 1 Juni 1945 di Gedung Chuo Sangi In, dan sidang kedua digelar pada 10-16 Juli 1945. Pada sidang pertama, ditetapkan Dasar Negara Pancasila, sedangkan sidang kedua menetapkan rancangan UUD 1945. Mohammad Yamin, pada sidang I, dengan tegas berpidato tentang asas-asas yang diperlukan sebagai dasar negara, hal ini juga disampaikan Soepomo. Setelah sidang panjang, pada 1 Juni 1945, Soekarno dengan pidato membahana, mengusulkan lima poin yang jadi dasar negara. Pancasila, lahir dari ide-ide yang terumuskan dalam risalah panjang sidang BPUPK, yang dituntaskan Soekarno dalam pidato di penghujung sidang.

Gagasan tentang Tuhan dan agama telah mendarah daging dalam kehidupan warga Nusantara. Kisah-kisah tentang ketuhanan dan penghayatan atas agama, sebagai ungkapan spiritualitas, berlaku dalam keseharian warga Nusantara, dalam berabad-abad lamanya. Tuhan telah menyejarah dalam kehidupan masyarakat dan politik Nusantara, meski usaha-usaha untuk mencerabutnya pernah dilakukan dalam penggalan akhir periode kolonial. Kuatnya saham keagamaan dalam pembentukan kebangsaan Indonesia membuat arus besar pendiri bangsa tak bisa membayangkan kehidupan kebangsaan dengan hampa Tuhan.

Dalam catatan Yudi Latif, yang menjelma dalam buku “Mata Air Keteladanan” (Mizan, 2014), dan “Revolusi Pancasila” (Mizan, 2016), terjadi friksi antar golongan dalam menyikapi hubungan antara agama dan bangsa. Ada dua arus utama dalam konteks ini, yakni golongan kebangsaan dan golongan Islam. Golongan kebangsaan, terpusat pada Jawa Hokokai, sedangkan golongan Islam terdapat di pusaran Masyumi. Kedua golongan ini, secara prinsip bersepakat tentang pentingnya nilai-niali ketuhanan dalam negara, akan tetapi berselisih paham mengenai hubungan agama dan negara. Perdebatan yang berlangsung sengit pada persidangan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK), mencerminkan serpihan kisah ini (Latif, 2014: 9).

Para pemimpin bangsa telah mempraktikkan, bagaimana jembatan Islam dan Pancasila terhubung dalam imaji gagasan yang saling terhubung. Islam dan Pancasila bukan terpisah oleh konsep, namun terhubung dalam falsafah dan praktiknya. Keteladanan Kiai Hasyim Asy’ari, Kiai Wahid Hasyim, Soekarno, Hatta, Ki Bagoes Hadikoesoemo dan tokoh-tokoh bangsa, menjadi refleksi memaknai Pancasila di negeri yang riuh ini.[]

 

Munawir Aziz, peneliti, Wakil Sekretaris Lembaga Ta’lif wan Nasyr PBNU, aktif di Gerakan Islam Cinta, silaturahmi via @MunawirAziz.