Sains dan agama mempunyai hubungan yang tidak sederhana. Para pemikir dan akademisi dari berbagai disiplin ilmu masih memperdebatkannya sampai sekarang. Dari Jamaluddin al-Afghani, Sayyed Hossein Nasr, Nidhal Guessoum, Mulyadhi Kartanegara, sampai Ian G. Barbour.
Dalam bukunya yang berjudul When Science Meets Religions, Ian G. Barbour, salah satu tokoh yang bergelut dalam isu ini, menerangkan bahwa setidaknya ada empat pandangan atau posisi terkait hubungan sains dan agama, yaitu (1) konflik, di mana agama dan sains dianggap bertentangan (2) independensi, yakni memisahkan agama dan sains karena keduanya adalah dua hal yang berbeda dan punya kebenaran sendiri-sendiri (3) Dialog, antara sains dan agama bisa didialogkan dan berinteraksi satu sama lain (4) integrasi, yakni pandangan bahwa agama dan sains mempunyai hubungan erat dan bisa saling mendukung satu sama lain.
Sampai saat ini, agama masih sering dibenturkan dengan ilmu pengetahuan modern. Agama dan sains dianggap sebagai dua kubu yang saling bertentangan dan tidak memiliki titik temu. Bahkan agama dicap telah menghambat laju perkembangan ilmu pengetahuan. Apalagi jika melihat negeri-negeri Muslim sekarang yang diliputi masalah kebodohan, kemiskinan, dan berbagai masalah kemunduran lainnya. Kehadiran agama serta kontribusinya bagi ilmu pengetahuan pun dipertanyakan. Di sisi lain, umat manusia juga mempertanyakan kontribusi sains yang dengan kemajuannya menimbulkan berbagai kerusakan di muka bumi, dari limbah, kerusakan alam, sampai bom nuklir.
Islam dan ilmu pengetahuan
Islam tidak jarang dipahami sebagai agama yang hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan. Hanya berisi ibadah ritual tanpa makna. Dalam banyak ayat, Al-Qur’an justru menunjukkan sebaliknya. Manusia tinggal di bumi, di ‘alamun, kata yang serumpun dengan ‘ilmun yang berarti ilmu, dan ‘alamat yang berarti pertanda. Di jagat raya ini, manusia tidak hanya diperintahkan untuk shalat atau haji, tapi juga memerhatikan lingkungannya, memerhatikan alam semesta yang berisi banyak tanda dan petunjuk.
“Dan dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berpikir” (Q.S. Al-Jaatsiyah: 13). Dalam beberapa hal mungkin kita merasa bahwa agama bertentangan dengan ilmu pengetahuan karena tidak ada penjelasan mendetail terkait prosesnya. Perdebatan terkait agama dan sains pun tidak jarang hanya berkutat pada polemik teori evolusi dan penciptaan, teori sains dan wahyu, otoritas saintis dan otoritas agamawan.
Al-Qur’an banyak menyebutkan fenomena alam yang harus diamati dan dipelajari oleh umat manusia. Langit, sungai, hujan, sampai gugusan bintang. Melalui sains dan teknologi, tanda-tanda Allah melalui alam semesta itu mungkin ditemukan. “Perhatikanlah olehmu (wahai manusia) apa yang ada di langit dan di bumi! Namun, pertanda-pertanda dan peringatan-peringatan itu tidak akan berguna bagi kaum yang tidak beriman,” (Q.S. Yunus: 101). Al-Qur’an memang bukan kitab ilmiah, tapi di dalamnya mengandung semangat yang konstruktif terhadap kemajuan ilmu pengetahuan. Iman dan ilmu pun bisa memiliki hubungan yang harmonis tanpa perlu saling menegasikan.
Kontribusi Islam bagi sains modern
Sebelum Eropa memasuki renaisans atau masa pencerahan, peradaban Muslim baik di Timur maupun Barat telah meletakkan landasan dan kontribusi besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan modern. Pertemuan Islam dengan peradaban Yunani menghasilkan berbagai ilmu dan penemuan baru dari berbagai bidang. Islam menyerap, menyesuaikan, bahkan melampauinya.
Salah satu tokoh yang memberi dampak besar adalah Ibnu Rusyd. Dia mengintegrasikan sains, Islam, dan filsafat. Penerjemahan karya-karya Ibnu Rusyd melahirkan gerakan Averroisme hingga terbentuk gelombang pencerahan. Selain Ibnu Rusyd, Ibnu Khaldun juga menyumbangkan kontribusi besarnya. Dia mengembangkan apa yang disebut ‘ulum al-umran (ilmu-ilmu peradaban) yang kemudian menjadi landasan ilmu-ilmu sosial modern.
Di bidang fisika, Hasan ibnu al-Haytsam (Alhazen) mengenalkan hukum bias ptolomeus. Dia mempelajari pembiasan cahaya dan mendapati pantulan pada cermin berpermukaan bola. Hasil kajiannya di bidang astronomi ini sangat berguna untuk mengamati gerak benda-benda luar angkasa, menentukan waktu, hingga memahami fenomena-fenomena alam. Hasil kajiannya kemudian memengaruhi sejumlah ilmuwan Barat modern seperti Roger Bacon dan Kepler yang melahirkan penemuan-penemuan seperti mikroskop dan teleskop. Ibnu Haytsam bahkan dijuluki Bapak Optik Modern. Di bidang astronomi Al-Biruni pada masanya juga sudah mengkaji dan melakukan penelitian untuk mengukur keliling bumi.
Kita juga bisa melihat kontribusi cendekiawan Muslim dari penggunaan kata ‘al dalam bahasa Arab melekat pada unsur-unsur kimia seperti alkana, alkali, alkohol, hingga alkimia itu sendiri. Penamaan-penamaan tersebut menjadi bukti keterlibatan ilmuwan Muslim dalam membantu mengembangkan kimia dan membuatnya melesat sampai beberapa abad kemudian.
Al-Qur’an menghidupkan semangat para ilmuwan Muslim untuk meneliti ayat-ayat mutasyabihat. Ayat-ayat yang membutuhkan rasionalitas, kedalaman pengetahuan, hingga ketajaman analisis dan penafsiran. Tokoh-tokoh yang telah disebutkan di atas memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap berkembangnya sains modern seperti sekarang. Penelitian dan penemuan mereka menjadi menjadi pijakan berharga atas perkembangan ilmu pengetahuan di masa sekarang. Mereka sekaligus menjadi bukti bahwa agama dan sains tidak perlu dipertentangkan.
Faktor pendukung berkembangnya peradaban Islam di antaranya adalah dukungan pemerintah. Rasa cinta terhadap rakyat dan negara tidak kalah besarnya dengan rasa cinta terhadap ilmu pengetahuan. Iman mereka tidak hanya melekat dalam diri, tapi juga terpancar melalui dukungan terhadap pembangunan peradaban.
Para khalifah membangun perpustakaan-perpustakaan megah seperti Baitul Hikmah, mengorganisir penerjemahan buku, mendorong penelitian dalam bidang filsafat, matematika, kedokteran, fisika, sampai astronomi. Ilmu-ilmu yang sekarang dianggap lebih rasional dan terukur itu tidak kalah pentingnya dengan ilmu tafsir, hadits, ataupun fiqih. Mereka sama-sama berkembang. Pengintegrasian sains dan agama ini bisa dilihat pada ilmuwan seperti Ibnu Sina yang menguasai ilmu filsafat, kedokteran, tapi juga penghafal Al-Qur’an.
Dalam Ensiklopedia Nurcholish Madjid, Cak Nur, pemikir Islam Indonesia, menjelaskan bahwa baik ilmuwan klasik seperti Ibn Sina, Al-Biruni, Ibn Rusyd maupun sekarang seperti Nidhal Guessoum atau Abdus Salam (peraih nobel), mereka bisa tetap menjadi ilmuwan Muslim berpengaruh untuk sains modern sekaligus menjadi agamawan yang saleh.