Ruqyah dikenal sebagai salah satu cara pengobatan dengan pembacaan ayat, doa, atau bacaan tertentu kepada “pasiennya”. Aktivitas pengobatan dengan doa dan mantra ini tidak terbatas pada ajaran muslim saja, namun juga ada dalam berbagai agama kepercayaan, dan tradisi lain.
Beberapa kalangan muslim mempromosikan ruqyah mereka dengan ruqyah syar’iyyah. Dengan berbagai variasi metodenya, model ruqyah syar’iyyah yang dilakukan diklaim bersumber pada hadis-hadis Nabi yang sahih.
Istilah ruqyah syar’iyyah ini konon banyak merujuk pada kitab At Thib an Nabawi karya Ibnu Qayyim al Jauziyah, yang populer di kalangan praktisi ‘pengobatan ala Nabi’. Kitab tersebut adalah kompilasi hadis dan atsar seputar cara Nabi berobat, serta metode pengobatan lain yang populer di masa Ibnu Qayyim sendiri.
Hadis-hadis terkait ruqyah itu banyak sekali. Perihal ruqyah ini dicantumkan dalam Shahih al Bukhari, Shahih Muslim, serta kitab hadis lainnya, dari berbagai jalur riwayat. Hadis ruqyah di masa Nabi ini dinilai sahih oleh ulama hadis dan bisa diamalkan. Banyaknya sahabat yang meriwayatkan hadis seputar ruqyah menunjukkan aktivitas ini dipraktekkan di masa itu.
Apakah memang ruqyah yang diajarkan Nabi itu memang diajarkan dengan kesan ‘menakjubkan’, seperti dalam berbagai kabar ataupun film-film itu? Hal ini barangkali yang mengusik kita.
Secara makna bahasa, ruqyah berarti al ‘audzah, atau doa perlindungan. Jauh sebelum masa Islam, tradisi ruqyah sudah berkembang di Arab. Hadirnya Islam memberikan corak baru dalam tradisi ‘permantraan’, lewat ajaran Nabi Muhammad.
Ibnu Qutaibah dalam Ta’wil Mukhtalafil Hadits menyebutkan hadis seputar ruqyah ini bagi sebagian kalangan tampak kontradiktif. Sebuah riwayat menyebutkan Nabi bersabda bahwa pelaku ruqyah tidak termasuk orang yang bertawakkal, dan tidak dengan mudah masuk surga. Selain itu, Nabi juga pernah menyatakan, “Sesungguhnya ruqyah, jimat, dan tiwalah (aji pengasihan) termasuk bagian dari kesyirikan”. Ini menunjukkan Nabi mengenal praktek ruqyah yang dilakukan masyarakat sebelum Islam yang erat dengan sihir, sebagaimana dicatat Ibnu Hajar al Asqalani dalam Fathul Bari, syarah kitab Shahih al Bukhari.
Tapi dalam banyak hadis lain, disebutkan bahwa Nabi memperkenankan, bahkan menganjurkan dan mempraktekkan ruqyah dengan doa atau ayat Al Quran. Nabi menyebutkan kebolehan ruqyah: “Jika di dalamnya tidak mengandung kesyirikan.”
Kebolehan ini disampaikan semisal pada sahabat yang dipatok ular, tersengat kalajengking, atau binatang lain yang beracun (kullu dzi humatin).
Diketahui bahwa memang sampai taraf tertentu keracunan bisa mengganggu kesadaran, dan agaknya di masa itu penatalaksanaan akibat sengatan binatang beracun belum dikenal dan dilakukan secara medis seperti saat ini.
Riwayat hadis yang dicatat ulama seputar ruqyah banyak berkisah seputar Nabi membaca doa ketika mengunjungi orang sakit, seperti “Allahumma adzhibil ba’sa, isyfi anta asy syafi, syifa’an la yughadiru saqama”, “A’udzu bikalimatillahit tammah min syarri ma khalaq”, dan banyak lainnya. Bacaan ini bervariasi, baik berupa beragam doa, dzikir, dan ayat Al Quran seperti Al Fatihah dan al-mu’awwidzatain.
Nabi juga melakukan amalan, yang dinilai ulama sebagai ruqyah untuk diri sendiri. Sebelum tidur, Nabi membaca doa dan membaca surat Al Ikhlas dan al-mu’awwidzatain. Di penghujung usia beliau saat sakit menjelang wafat, Nabi berbaring di pangkuan Aisyah. Nabi membaca surat-surat tadi, lantas Aisyah mengusapkan tangannya ke badan Rasul.
Hadis-hadis ajaran ruqyah Nabi yang dinilai sahih di atas hanya menunjukkan gambaran demikian. Jika dipersepsikan bahwa ruqyah mesti disertai dengan perkara ‘ajaib’, dalam hadis justru tidak disebutkan soal itu. Perilaku klien ruqyah seperti muntah dan mual, meracau, berteriak, mulut berbuih, atau hal lainnya yang kerap diklaim sebagai “suksesnya ruqyah”, sejauh penelusuran penulis, tidak dijelaskan dalam hadis seputar ruqyah.
Riwayat hadis yang dicatat di atas menunjukkan bahwa praksis ruqyah yang diajarkan Nabi adalah “mendoakan kesembuhan dan membacakan hal baik untuk orang sakit”, yang bisa dilakukan oleh siapa saja. Berdoa secara khusus agar diberi kesehatan tentu dianjurkan, baik untuk diri sendiri maupun orang lain.
Pembahasan tentang memahami hadis ruqyah ini berbeda dengan persoalan klaim keberhasilan dan kebermanfaatan terapi ruqyah. Hal yang demikian adalah diskursus lain yang hemat penulis, kiranya tidak dipahami dengan sudut pandang hadis dan syariat.
Lewat pemahaman demikian, doa ketika menjenguk orang sakit, atau untuk diri sendiri sebelum tidur agar diberi rasa nyaman atau kesehatan, itulah sebenarnya ruqyah, dan ini tentu jelas syar’i-nya. Wallahu a’lam.