Meskipun sejak kecil Rasulullah ikut Abu Thalib, bukan berarti menjadikannya anak manja. Justru hal itu membuat beliau berusaha untuk meringankan beban paman dan bibinya, Fatimah binti Asad. Apalagi Abu Thalib dan istrinya memperlihatkan kasih sayang yang lebih kepada Rasulullah.
Maka, ketika tingkat kesadarannya beranjak matang, Muhammad mulai berpikir bagaimana membalas budi sang paman. la tak ingin menjadi beban. Mungkin, jiwa besarnya bertanya-tanya, apa gerangan yang bisa ia lakukan untuk membantu meringankan beban pamannya? Apa pekerjaan yang pantas baginya? Bukankah semua pekerjaan dilakukan oleh para budak, kecuali dagang? Tetapi, mana mungkin orang miskin seperti dirinya dapat berdagang?
Muhammad terus berpikir, sampai akhirnya ia menemukan satu jenis pekerjaan yang dipandang pas baginya. Yaitu, menggembala kambing di padang lepas Makkah, bahkan, lebih jauh lagi. Padang terbuka yang begitu ia sukai, karena di sana ia dapat leluasa merenungi alam dengan segala kekuatan, kebesaran, dan keindahannya; dapat berpikir sedalam-dalam dan sepuas-puasnya tanpa ada yang mengganggu atau pun mengusik kesendiriannya.
Bersama itu pula, ia dapat membantu meringankan tanggung jawab keluarga pamannya, meski ala kadarnya. Tetapi, paling tidak, ia dapat berbuat sesuatu untuk membalas budi baik pamannya.
Terkejut Abu Thalib saat Muhammad menyampaikan keinginan tersebut. Begitu pula istrinya, Fathimah binti Asad. Tidak dinyana anak sebelia itu sudah berpikir sejauh itu. Tak tertahan rasa iba di hati mereka. Anak ini benar-benar halus dan peka hatinya, pikir mereka.
Lama Abu Thalib ‘mendebat’ keponakannya itu, berusaha mencegah, namun gagal. Tekadnya begitu bulat dan tak bisa ditawar. Abu Thalib tak berdaya. Dengan sangat terpaksa ia izinkan Muhammad bekerja sebagai penggembala. Maka dicarikanlah oleh Abu Thalib orang Quraisy yang ia kenal baik. Orang yang tidak akan berlaku jahat dan berkata kasar serta percaya sepenuh hati kepada Muhammad.
Muhammad tahu betapa besar perhatian bibi Fathimah. Pagi sebelum berangkat, diantarnya ia hingga ke mulut pintu, diberinya bungkusan berisi bekal untuk kebutuhannya sehari suntuk di padang, dan diucapkannya selamat jalan. “Jaga diri dan hati-hati,” pesannya. Kadang, dititipkannya pula ia kepada teman-teman segembalaannya. Sementara menunggu di rumah, Fathimah dirundung gelisah.
Hatinya tak pernah tenang sebelum melihat Muhammad pulang. Maka, tatkala sore tiba, dan Muhammad kembali ke rumah, disambutnya ia dengan wajah secerah purnama, juga dengan pertanyaan berjejal untuk memastikan kalau ia baik-baik saja.
Bersama teman-teman penggembala cilik yang tersebar luas di padang-padang sekitar Makkah, Muhammad menemukan lingkungan baru. Seperti layaknya anak-anak yang sedang berkumpul, mereka saling berbagi pengalaman atau kejadian yang mengusik hati mereka. Muhammad tak luput dari sasaran cerita mereka itu.
Mungkin ia tak pernah melihat langsung bagaimana dengan penuh keberanian bocah-bocah cilik itu bertarung mempertaruhkan jiwa melawan bahaya yang mengancam. Mereka juga bercerita kepada Muhammad tentang pesta yang diadakan di Makkah dari waktu ke waktu, tentang aneka hiburan, permainan, dan berbagai kesenangan lainnya.
Dibujuknya ia supaya datang ke sana bersama mereka. Didesaknya terus-menerus hingga ia akhirnya tergoda dan bermaksud menyaksikan langsung keberadaan pesta itu. la juga ingin seperti anak-anak itu; duduk-duduk di sana sambil ngobrol semalam suntuk.
Suatu hari, teman penggembalanya mendesak Muhammad mengunjungi sebuah pesta yang diadakan di salah satu sudut kota Makkah. Malamnya, berangkatlah ia ke rumah pesta itu. Di sana, untuk pertama kalinya ia mendengar tabuhan rebana, tiupan seruling, alunan lagu, dan hal lain yang biasa dijumpai dalam acara-acara seperti itu.
Muhammad duduk di kejauhan, tak berani mendekat dan berbaur dengan orang-orang, la hanya memperhatikan bagaimana anak-anak muda itu bergelimang pesta. Tetapi, itu hanya sekejap. Sebab, segera setelah itu Allah membuat Muhammad tertidur lelap sepanjang malam. Bahkan, pada paginya pun ia tidak akan bangun kalau tak disengat matahari yang sudah meninggi.
Saat kembali kepada teman-temannya, Muhammad disambut dengan penuh tanda tanya. Mereka berusaha menyibak apa sebenarnya yang telah dialaminya. Tetapi, ia tak banyak menjawab.
Di waktu lain, ia diajak lagi oleh teman-temannya. Tetapi, yang terjadi sama saja dengan sebelumnya. Akhirnya, Muhammad merasa hari-harinya sebagai penggembala mesti diakhiri secepatnya. la harus mencari pekerjaan lain demi membantu pamannya. Mungkin berdagang. Bukankah usianya telah menginjak tiga belas tahun? la yakin sudah bisa bantu-bantu pamannya.