Saudara saya yang tinggal di salah satu daerah bercerita kebingungannya melalui Whatsapp grup keluarga. Seharusnya mereka berangkat haji tahun ini, karena hal ini sudah menjadi impian bertahun-tahun. Namun karena pandemi Covid-19, mereka pun tak kunjung mendapat kepastian keberangkatan ibadah ke tanah suci ini. Entah sebagai kabar baik atau kabar buruk, rilis Kementrian Agama kemarin (Selasa, 3 Juni 2020) membuka ketidakpastian. Beberapa saudara saya, dan tentunya banyak muslim Indonesia yang seharusnya berangkat pada tahun ini, gagal atau batal haji.
Berbagai perasaan bercampur, beberapa orang merasa aman karena tidak dikhawatirkan dengan kerumunan orang saat haji dan penularan Covid-19. Namun sebagian yang lain merasa sedih, karena penantian lama untuk berangkat ke tanah suci, batal pada tahun ini. Ditambah, mereka sampai saat ini belum mengetahui solusi pemerintah untuk mereka, setidaknya untuk menghibur rasa kecewa karena batal haji.
Berbicara terkait batal haji dan batal ibadah ke tanah suci, Rasulullah SAW juga pernah mengalami hal serupa. Saat itu, Rasulullah SAW akan berangkat umrah pada tahun 6 H. Ibn Hisyam dalam Sirah Nabawiyah-nya menyebut bahwa saat itu rombongan telah tiba di Dzulhulaifah, mereka menjalankan shalat dan berihram untuk bersiap melaksanakan ibadah umrah.
Saat itu mereka juga membawa 70 ekor unta sebagai kurban (hadyu). Suku Quraisy yang mengetahui kedatangan Nabi dan rombongan bertekad untuk menghalangi kedatangannya, sekalipun harus dengan mengangkat senjata. Informasi tersebut didengar oleh Nabi. Kemudian rombongan tersebut berhenti di dekat sebuah sumur di tempat yang disebut Hudaibiyah, di utara Mekah.
Penduduk Mekah mencegat Rasul di Al-Hudaybiyah, sekitar 14,5 km dari Mekah. Posisi tepatnya berada di sebuah sumur di arah barat daya Mekah. Saat ini tempat itu dinamakan as-Syamisiy. Untuk menghindari konflik terbuka maka Nabi mengutus utusan untuk menjelaskan maksud kedatangannya ke Mekah. Melalui utusan, Nabi memberitahukan kedatangannya hanyalah untuk umrah, mempersembahkan kurban dan kembali ke Madinah. Tetapi suku Quraish tetap bersikeras menolak kedatangan mereka.
Kemudian Nabi mengutus Umar bin Khattab untuk pergi ke Mekah sebagai delegasi untuk menjelaskan kepada suku Quraish maksud damai kedatangan Nabi. Tetapi Umar bin Khattab menolak untuk pergi karena dia memiliki banyak musuh di sana dan berpikir tidak ada orang di Mekah yang bisa melindunginya. Kemudian Umar menyarankan Nabi untuk mengutus Utsman bin Affan sebagai utusan. Maka berangkatlah Utsman bin Affan.
Kaum Quraisy memperlakukan Utsman dengan baik dan membebaskannya untuk melakukan umrah. Tetapi Utsman bukanlah pribadi yang egois. Dia memilih untuk tidak melakukan umrah kecuali jika suku Quraisy juga menerima Nabi dan semua kaum Muhajirin yang hendak melakukan umrah.
Hal ini ditolak oleh kaum Quraisy. Bahkan terdengar kabar ke rombongan Nabi bahwa Utsman bin Affan dibunuh oleh kaum Quraish. Segera Nabi memerintahkan rombongannya untuk melakukan ikrar ridwan (ikrar kesetiaan) sampai mati.
Singkat cerita, Rasulullah SAW kemudian melakukan perjanjian dengan kaum Quraisy yang dikenal dengan perjanjian Hudaibiyah. Ada lima poin dalam perjanjian Hudaibiyah yang ditulis oleh Ali bin Abi Thalib atas permintaan Rasul Saw. dan persetujuan Suhail bin Amr ini. Pertama, perjanjian gencatan senjata selama 10 tahun. Kedua, mengembalikan orang-orang yang bergabung dan masuk Islam tanpa izin walinya kepada para walinya. Ketiga, membiarkan siapapun masuk kawasan Quraisy asalkan bersama Nabi Muhammad Saw. Keempat melarang siapapun untuk dirantai dan dibelenggu atau dipasung. Kelima, membiarkan siapapun memilih kepercayaan dan keyakinannya.
Jika dihitung-hitung lima poin dalam perjanjian ini tidak semua menguntungkan umat Islam. Selain lima poin di atas, Nabi dan para rombongan juga harus menerima kenyataan bahwa mereka tidak bisa melaksanakan ibadah umrah pada tahun itu. Nabi terpaksa harus pulang kembali ke Madinah beserta rombongannya, bahkan Nabi harus mengembalikan Abu Jandal dan saudaranya ke rumah orang tuanya yang masih belum memeluk Islam.
Penulis menemukan beberapa hal yang dilakukan Rasulullah SAW saat harus terpaksa kembali Madinah karena batal beribadah di tanah suci, Mekah.
Pertama, bersabar. Rasulullah SAW memahami keadaan saat itu. Karena jika ia terpaksa masuk ke Mekah dan melakukan ibadah, ia membahayakan keamanan muslim lain yang ikut dalam rombongannya. Walaupun Rasul dicegah masuk ke Mekah, Rasul juga tidak ingin melawan. Rasul malah rela melakukan perjanjian demi keamanan kaum muslimin.
Dalam situasi wabah seperti saat ini, kita perlu mencontoh sikap Rasul saat ini. Jika pemerintah tidak melaksanakan ibadah haji tahun ini, bisa jadi pemerintah telah mempertimbangkan masak-masak, termasuk faktor keamanan dan kesehatan jamaah haji di tengah pandemi wabah kali ini.
Kedua, berdoa agar diberikan ganti yang terbaik. Saat itu, Rasul meminta kepada Allah agar diberikan ganti yang terbaik setelah kegagalannya masuk ke Mekah untuk umrah. Doa Rasul SAW itu pun dikabulkan oleh Allah SWT. Salah satunya adalah timbulnya situasi yang aman setelah perjanjian Hudaibiyah. Ketenangan dan keamanan situasi ini difungsikan Rasulullah SAW untuk berdakwah kepada para raja, beberapa di antaranya, Kaisar Romawi, yaitu Raja Heraklius, Kisra (Persia), Raja Najasi (Habasyah) dan beberapa raja yang lain. Hal ini disebutkan oleh Quraish Shihab, Membaca Sirah Nabi Muhammad Saw dalam Sorotan Al-Qur’an dan Hadis-Hadis Shahih.
Bahkan setelah tahun tersebut, Rasulullah SAW akhirnya berhasil memasuki kota Mekah dan melakukan umrah. Menurut Ibn Hisyam, umrah ini disebut sebagai Umrah al-Qaḍā’ (umrah pengganti). Bahkan kaum Quraisy membiarkan Nabi Muhammad SAW dan kaum muslimin untuk tinggal di Mekkah selama tiga hari. Dalam jeda waktu inilah Rasulullah SAW masih sempat melaksanakan pernikahan dengan Maimunah binti Harits.
Selain itu, Ibn Hisyam juga menyebutkan bahwa peristiwa Fathu Mekah merupakan buah kesabaran Rasulullah Saw dalam menghadapi kaum Quraisy pada perjanjian Hudaibiyah. Bahkan, dengan mengutip Imam Ibnu Shihab az-Zuhri (w 124 H), Ibn Hisyam menyebutkan dalam waktu dua tahun setelah perjanjian Hudaibiyah ditandatangani, jumlah orang yang masuk islam jauh lebih banyak daripada jumlah kaum muslimin sebelum adanya perjanjian Hudaibiyah.
Ketiga, Rasul meminta kepada para sahabat yang untuk tetap melakukan ibadah lain sebagai ganti dari ibadah umrah yang tidak jadi dilaksanakan. Dalam hal ini ada banyak sekali pendapat ulama dan penjelasan hadis terkait amalan yang bisa dikerjakan dan pahalanya setara dengan pahala haji dan umrah. Walaupun hadis tersebut daif, namun masih bisa diamalkan karena berkaitan dengan fadhail amal.
Itulah beberapa hal yang dilakukan Rasulullah SAW saat batal melakukan ibadah umrah pada tahun 6 H. Semoga saudara-saudara kita yang batal haji pada tahun ini diberikan kesabaran dan dapat mengamalkan tiga amalan Rasul di atas. (AN)
Wallahu a’lam.