Kisah Haji Koboy dan Persoalan Wisata Religius di Tanah Suci

Kisah Haji Koboy dan Persoalan Wisata Religius di Tanah Suci

Haji Koboy atau haji backpacker adalah bukti bahwa ibadah haji sangat diidam-idamkan sebagian besar muslim.

Kisah Haji Koboy dan Persoalan Wisata Religius di Tanah Suci

Kemarin (31/5), di akun Tik Tok saya melintas konten yang merekam kondisi tempat tinggal yang ditujukan untuk para “Haji Koboy.” Istilah ini merujuk pada para jemaah haji yang berangkat di luar jalur resmi, yang di Indonesia dikelola langsung oleh pemerintah. Mereka memiliki beragam trik untuk memasuki wilayah Arab Saudi, termasuk menetap di sana hingga puncak pelaksanaan Haji.

Dulu, kita mengenal istilah “Haji Turis” yang kurang lebih sama dengan “Haji Koboy.” Hanya saja, para Haji Turis ini dulu berangkat diurus keberangkatannya oleh perusahaan yang berdomisili di Indonesia. Adapun, sebagian Haji Koboy ini tidak terikat dengan perusahaan atau organisasi yang “bertanggungjawab” atas fasilitas yang mereka terima selama di tanah suci.

Kyai saya yang memiliki kelompok bimbingan ibadah haji (KBIH) sering sekali bercerita soal para jemaah haji yang berangkat di luar jalur resmi. Diksi “resmi” di sini adalah pengelolaan keberangkatan jemaah haji yang terdaftar dan mengikuti seluruh peraturan dan persyaratan dari Pemerintah Arab Saudi.

Setiap negara memiliki model pengelolaan keberangkatan haji, ada yang diurus oleh pihak swasta, travel yang ditunjuk oleh negara, hingga Kementerian khusus yang mengelola haji. Indonesia sebagai negara jumlah jemaah haji paling besar, pengelolaan haji diurus langsung oleh negara yang dikomandoi oleh Kementerian Agama dan bekerja sama dengan banyak kementerian, BUMN, hingga pemerintah daerah.

Kembali ke cerita kyai saya, para Haji Koboy ini, menurut kyai saya, biasanya baru berani keluar atau beraktifitas di sekitar masjid Haram atau Nabawi pada malam hari. Dia biasanya menjumpai para Haji Koboy tersebut kala makan Brouast, sejenis ayam tepung yang dipadukan dengan kentang goreng, bersama para pengurus KBIH-nya. Menu ini andalan dari Al-Baik yang hari ini menjadi lahan bisnis Jastip (jasa titip) di masyarakat kita.

Aktivitas para Haji Koboy ini dari pagi hingga sore hari biasanya diisi dengan berdiam diri di tempat tinggal. Kondisi tempat tinggal mereka biasanya berada di gedung-gedung yang berada di gunung-gunung sekitar Masjid Haram. Video yang saya lihat kemarin mengonfirmasi kisah kyai saya yang menyebutkan mereka menempati kamar kecil dengan enam hingga delapan orang.

Mereka juga bisa beraktifitas dengan “sedikit” lebih bebas ketika mendekati masa puncak pelaksanaan Haji, karena jemaah haji yang semakin padat tentu menyulitkan bagi bulish (Semacam Satpol PP di Arab Saudi) untuk merazia mereka. Namun, saya pernah mendengar cerita menyedihkan bahwa salah satu dari Haji Koboy ini meninggal gara-gara digrebek kala mau berangkat ke Arafah, untuk menunaikan ibadah Wukuf.

Haji Koboy sebenarnya salah satu gambaran terkait keinginan besar masyarakat Muslim untuk berangkat Haji. Jika dulu pilihan masyarakat kita sangatlah terbatas, maka jalur-jalur “tak resmi” adalah solusi yang tersedia untuk memenuhi keinginan berangkat ke tanah suci yang sudah membuncah. Masyarakat Banjar menyebutnya dengan Karindangan Makkah.

Keinginan besar yang diperparah dengan antrian keberangkatan yang cukup panjang, masyarakat tentu rentan tergiur dengan beragam model keberangkatan. Hari ini, masyarakat kita mulai familiar dengan istilah Haji Furoda.

Model keberangkatan ini ditawarkan oleh banyak agen perjalanan, untuk mempersingkat waktu “tunggu” masyarakat kita. Bahkan, salah satu dai selebriti mempromosikan paket Haji Furoda dari agen travel yang bekerjasama dengannya. Dengan ongkos yang terbilang cukup besar hingga berkali-kali lipat bahkan jika dibanding Haji Plus, Haji Furoda tetap mendapatkan peminat yang terbilang besar.

Antusiasme masyarakat Muslim Indonesia, termasuk Banjar, ini bak gayung bersambut dengan keinginan Pemerintah Arab Saudi, yang ingin memindahkan pendapatan negara mereka ke sektor luar minyak. Walaupun, jika dibanding keuntungan berjualan minyak, sektor wisata religius  tentu tidak seimbang, oleh sebab itu Pemerintah Arab Saudi telah mereformasi beragam aturan dan tradisi yang selama ini ada untuk menggenjot pendapatan tersebut.

Dulu kyai saya pernah bercerita soal pembatasan yang dibuat Pemerintah Arab Saudi terkait keberangkatan pasca bulan Ramadan atau di bulan Muharam dan Safar. Namun, hari ini pembatasan tersebut tidak lagi diberlakukan, ya karena pemasukan di bulan tersebut tentu bisa menambah pemasukan bagi Arab Saudi.

Usaha Pemerintah Arab Saudi ini tentu “Angin Segar” bagi masyarakat Indonesia yang ingin berangkat ke tanah suci, namun berita buruk bagi penyelenggara keberangkatan jalur-jalur tak resmi. Arab Saudi sepertinya menginginkan menghasilkan cuan secara maksimal.

Inilah haji hari ini. Ia tak lagi sekedar ritual dalam ajaran agama, bersamanya ada beragam hal yang terus mewarnainya. Bahkan, di saat bersamaan, ada banyak pihak yang mendapatkan cuan dari beragam aktifitas ekonomi di dalam keberangkatan Haji, mulai dari tukang sablon sarung tas haji hingga pramugari yang menyertai para jemaah haji yang juga turut mendapatkan keuntungan ekonomis. Ya, semoga saja tidak ada pihak yang mendominasi. (AN)

Fatahallahu alaina futuh al-arifin