Takdir merupakan perkara gaib yang hakikatnya Allah Ta’ala sembunyikan dari hamba-hamba-Nya. Takdir adalah ketentuan atau ketetapan Allah atas seluruh makhluk ciptaan-Nya, berupa sesuatu yang bersifat baik maupun yang bersifat buruk. Setiap orang yang beriman kepada Allah wajib menerima seluruh kehendak dan ketentuan atau takdir dari Allah atas dirinya.
Iman kepada takdir Allah merupakan bagian dari rukun iman yang keenam. Mengimani takdir maknanya ialah ikhlas menerima atau rida atas seluruh ketetapan atau ketentuan yang telah Allah tetapkan atas hamba-Nya. Rida atas takdir Allah akan mewujudkan sikap selalu bersyukur dan bersabar atas segala pemberian Allah.
Sedangkan sikap tidak menerima takdir Allah akan membuat seseorang terjerumus kepada pengingkaran terhadap sifat-sifat Allah yang dapat mendatangkan keburukan. Tidak menerima takdir Allah sama halnya ia meragukan sifat kemaha-adilan dan sifat kemaha-bijaksanaan Allah dalam menentunkan takdir makhluk-Nya.
Dikisahkan, Sahabat Nabi Muhammad Saw. yang bernama al-Miqdad sedang membuat halaqah majelis ilmu bersama sahabat dan muridnya. Melihat halaqohnya al-Miqdad, seorang lelaki berkata, “Berbahagia sekali pemilik kedua orang tua yang pernah menyaksikan manusia termulia, yakni Rasulullah Muhammad Saw. Demi Allah, ingin rasanya jiwa ini melihat apa yang engkau saksikan. Aduhai, seandainya aku bisa menyaksikan keindahan yang engkau saksikan.”
Mendengar perkataan lelaki itu, al-Miqdad berubah ekspresi wajahnya menunjukkan ketidaksenangannya. Al-Miqdad pun berkata, “Apa yang menyebabkan lelaki itu menginginkan menyaksikan hal yang disembunyikan oleh Allah darinya? Apakah ia tidak mengetahui, seandainya lelaki itu menyaksikan apa yang disembunyikan oleh Allah darinya? Demi Allah, di zaman Rasulullah Muhammad Saw. banyak orang yang mengingkarinya dan menentangnya, dan mereka semua dilemparkan ke neraka jahanaman (akibat pembangkangan mereka).”
Al-Miqdad melanjutkan, “Rasulullah Muhammad SAW diutus kepada suatu kaum yang mereka menyakini bahwa tidak ada agama yang lebih mulia daripada menyembah berhala. Rasulullah SAW hadir dengan membawa agama Islam yang memisahkan antara kebenaran dan kebatilan yang karenanya terpisah pula hubungan antara ayah dan anaknya serta hubungan seseorang dengan saudaranya.
“Orang yang beriman bertemu dengan saudaranya yang kafir di peperangan, lalu keduanya bertarung sampai mati di medan perang. Orang yang beriman tidak menangis atas kematian saudaranya yang kafir, karena mereka yakin bahwa mereka saudaranya itu akan masuk neraka.”
“Lantas, mengapa kalian tidak memuji Allah Ta’ala atas anugerahnya berupa dihindarkannya kalian dari ujian besar itu?” Pungkas al-Miqdad.
Sejatinya, tiap takdir yang Allah tetapkan kepada hamba-Nya merupakan hal terbaik yang Allah anugerahkan kepada hamba-Nya tersebut. Itu semua karena Allah selalu menginginkan kebaikan untuk hamba-Nya. Terkadang, sesuatu yang dinilai buruk oleh seorang hamba atas dirinya belum tentu itu buruk dalam penilai Allah, atau justru itu adalah anugerah terbaik yang Allah berikan kepada hamba-Nya.
Seorang bijak berkata, “Orang yang tidak akan pernah bahagia ialah mereka yang selalu menyalahkan takdir dan mereka yang selalu menyalahi takdir dari Allah.” Maka orang yang selalu bahagia ialah orang yang selalu membenarkan (menerima) takdir Allah dan menjalani takdir dari-Nya dengan sikap syukur dan sabar.
Wallahu A’lam.