Saat ini, banyak orang atau juga sebagian dari kita, beranggapan mempelajari ilmu Hadist tak ubahnya melakukan kegiatan buang-buang waktu. Mana mungkin, hadist yang tidak lain bersumber dari perkataan dan perbuatan Nabi Muhammad Saw., yang jumlahnya ribuan atau bahkan jutaan tersebut, dihafalkan bersama sederet perawi (sanad)-nya. Terlebih lagi, di era kekinian, teknologi komputerisasi sudah sangat canggih untuk men-takhrij sebuah hadist tertentu beserta sanad-nya.
Mempelajari hadist tetap penting. Apalagi, ilmu hadist merupakan rujukan para fuqaha atau lebih luas lagi umat Islam, untuk menuntun kita menjalankan ibadah. Dari tata cara (kaifiyyah) berwudhu, sholat, bermasyarakat, hingga berbicara dengan santun semua diajarkan dalam ilmu Hadist.
Keberadaan Hadist yang sudah berabab-abad lamanya sangat terjaga keasliannya hingga saat ini. Hal ini dipengaruhi oleh sejumlah perawi hadist yang sangat ketat merawat hafalan dan keaslian hadist. Keberadaan para perawi hadist seperti Imam an-Nasa’i, Imam Ahmad, Imam Bukhari, atau Ibnu Majah mampu menjaga kemurnian hadist dari orang-orang yang tidak bertanggungjawab.
Imam Bukhari adalah salah satu perawi hadist paling populer yang hidup pada era keemasan Daulah Abbasiyah. Dia terlahir pada 21 Juli 810 M di Bukhara, Uzbekistan, Asia Tengah. Dikenal luas sebagai seorang perawi hadist yang jenius, kuat dalam hafalan, dan produktif menuangakan berbagai pemikirannya ke sejumlah buku. Hadist-hadist yang diriwayatkannya memiliki tingkat derajat yang tinggi, sehingga menjadi rujukan oleh para ahli fiqih dan hadist di dunia.
Imam Bukhari disebut sebagai pemimpin orang mukmin dalam ilmu Hadist (amirul mu’minin fi al-hadist) karena hafal 100 ribu hadist sahih dan 200 ribu hadist tidak sahih. “Saya hafal seratus ribu hadits shahih, dan saya juga hafal dua ratus ribu hadits yang tidak shahih”. Dari semua hadist yang dihafalkannya, dia mengingat deretan perawinya secara keseluruhan. “Setiap hadits yang saya hafal, pasti dapat saya sebutkan sanad (rangkaian perawi-perawi)-nya”.
Beberapa buku yang ditulisnya, adalah kitab al-Jami’ ash-Shahih, al-Adab al-Mufrad, at-Tharikh as-Shaghir, at-Tarikh al-Awsat, at-Tarikh al-Kabir, at-Tafsir al-Kabir, al-Musnad al-Kabir, al ‘Ilal, Raf’ul Yadain fi as-Salah, Birrul Walidain, Ad Du’afa, al-Asami as-Sahabah dan al-Hibah. Sementara buku pertama yang ditulisnya ketika masih berusia 18 tahun berjudul Qudhaya as-Shahabah wa at-Tabi’ien, yang berisi tentang berbagai peristiwa hukum yang terjadi pada masa kehidupan para Sahabat Nabi dan Tabi’ien. Namun, diantara banyak karyanya itu, yang paling monumental adalah al-Jami’ as-Shahih atau Shahih Bukhari.
Diketahui bahwa pemilik nama asli Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Badrdizbah al-Ju’fiy al-Bukhari ini sejak kecil berada di lingkungan keluarga yang taat beragama. Ibnu Hibban dalam karya monumentalnya As-Siqat menjelaskan, ayah Imam Bukhari adalah seorang ulama bermadzab Maliki. Dia juga mudir dari Imam Malik yang dikenal sebagai seorang yang berhati-hati terhadap berbagai hal yang bermuatan syubhat.
Perhatiannya terhadap ilmu Hadist sudah tumbuh sejak dia berusia 10 tahun. Hebatnya lagi, ketika usianya baru menginjak 16 tahun, Imam Bukhari sudah hafal dan menguasai buku-buku yang berkenaan dengan hadist, zuhud, dan fikih, seperti buku yang ditulis Abdullah bin al-Mubarak (Tafsir al-Qur’an, as-Sunan fi al-Fiqh, Kitab at-Tarikh, Kitab al-Zuhd, Kitabul Birri wa al-Shilah, Riqa’ al-Fatawa, ar-Raqa’iq’ dan Arba’in fi al-Hadits) dan Waki’ bin al-Jarrah (al-Zuhd).
Dalam memperdalam keilmuannya, Imam Bukhari belajar kepada banyak ulama. Bahkan, untuk membuktikan kebenaran sanad hadist yang dihafalkannya, dia juga tak segan mendatangi ulama perawi sebelumnya. Diantara guru Imam Bukhari dalam memperoleh ilmu hadits-nya, yaitu Ali bin al-Madini, Ahmad bin Hanbali, Yahya bin Ma’in, Muhammad bin Yusuf al-Faryabi, Maki bin Ibrahim al-Bakhi, Muhammad bin Yusuf al-Baykandi dan Ibnu Rahwahih. Selain itu ada 289 ahli hadits yang haditsnya dikutip dalam kitab Shahih-nya.