“Keterbatasan janganlah menjadi hambatan untuk maju.” Begitu lah kira-kira ungkapan para motivator pada para peserta seminarnya untuk memantik mereka maju. Nampaknya begitu juga dengan Imam az-Zarkasyi. Bernama lengkap Badruddin Abu Abdillah Muhammad bin Abdullah Az-Zarkasyi. Beliau dilahirkan pada tahun 745 H. di Mesir.
Julukan Az-Zarkasyi sendiri bermula dari lafadz Zarkasy yang berarti sebuah pekerjaan menyulam kain sutra dengan emas. Hal tersebut mengingat kala masih kecil, Imam Zarkasyi sempat ikut bekerja sebagai tukang sulam sutra untuk membantu perekonomian keluarganya yang bisa dibilang belum cukup mapan. Sang ayah sendiri bahkan, hanya bekerja sebagai pembantu pada salah seorang tokoh kaya di desanya. Hal itu, membuat Imam Zarkasyi kecil memutuskan untuk ikut bekerja.
Baca juga: Damaskus, Pusat Pemerintahan Pertama Islam di Luar Jazirah Arab
Namun di tengah segala keterbatasannya, Allah ternyata memberikan jalan padanya untuk memulai mengasah pengetahuan. Di usianya yang masih 7 tahun, Zarkasyi kecil mulai mendengarkan hadis pada ulama-ulama setempat. Ia juga mulai menghafalkan kitab Minhāj al-Thālibīn karangan An-Nawawi. Pada tahun itu pula Imam Zarkasyi nekat berangkat ke Damaskus untuk memuaskan dahaga keilmuannya. Di sana, beliau mendatangi para ulama yang sangat diakui kapabilitasnya.
Termasuk di antara gurunya ketika di Damaskus adalah Abul Fida’ Ibn Katsir (w. 784 H) Az-Zarkasyi kemudian meneruskan rihlah ilmiahnya ke Kota Aleppo. Di sana beliau menimba ilmu kepada Jamaluddin al-Isnawi (w. 833 H), dan Syihabuddin al-Adzro’i (w. 783 H).
Beliau menunjukkan semangat yang begitu membara di hadapan guru-gurunya tersebut. Himmah dan kemauan yang begitu besar, terpatri hebat dalam dirinya. Hingga menjadikan beliau begitu bergairah menekuni aktivitas intelektual ini.
Di hadapan gurunya Imam Sirajuddin al-Bulqini (w. 805 H) bahkan beliau sudah mulai menulis karya pertamanya. Menurut catatan Ibnu Hajar al-Asqalani dalam al-Durār al-Kāminah di sela-sela pengajian yang disampaikan gurunya, diam-diam beliau menulis catatan-catatan kaki yang menjadi penjelas dari salah satu karya gurunya tersebut yakni ar-Roudhoh lil Bulqini. Kitab itu kemudian menjadi pionir atau kitab paling awal yang menyarahai kitab Roudhoh. Hebatnya lagi saat menulis itu, Az-Zarkasyi masih berusia 24 tahun. Usia yang terbilang masih sangat muda.
Kegelisahan intelektual dan animo luar biasa yang ada dalam dirinya membuat ia terus mengasah kemampuannya. Ia semakin tenggelam dalam lautan ilmu pengetahuan. Setelah selesai berguru pada guru-gurunya ia kemudian memfokuskan waktu dan tenaganya untuk ilmu. Mulai mengajar, memberi fatwa hingga mengarang.
Untuk urusan yang terakhir ini, Imam Zarkasyi punya perhatian lebih. Prioritas utamanya adalah menghasilkan kitab. Semenjak berhasil meluncurkan kitab pertamanya, Az-Zarkasyi terus memacu produktifitasnya dalam berkarya.
Untuk mewujudkan hal itu, sengaja Az-Zarkasyi membatasi segala aktivitas publik. Rutinitas hariannya hanya berputar mengajar, memberi fatwa dan menulis. Ketertutupan diri itu, membuat nama Az-Zarkasyi tidak banyak dikenal dalam forum-forum ilmiah Kota Damaskus kala itu. Beliau betul-betul membatasi dirinya, agar waktu produktifnya tidak terganggu dengan aktivitas yang berkaitan dengan sosial.
Barulah ketika Az-Zarkasyi wafat, dan ditemukan karya-karyanya yang begitu banyak dan mendalam. Seluruh Damaskus merasa kehilangan sosok ulama besar. Namanya baru dikenal dan dikenang sebagai sosok pakar fikih, ahli hadis dan sederet julukan lainnya.
Az-Zarkasyi meninggalkan tak kurang dari 64 kitab dari berbagai disiplin ilmu. Jumlah yang melebihi usianya. Dimana beliau hanya berumur 49 tahun.
Ada hal unik yang melekat pada dirinya saat menulis kitab. Adalah kebiasaanya untuk mengunjungi toko-toko buku di Kota Damaskus. Itu dilakukannya setiap hari. Namun, tidak untuk membelinya. Az-Zarkasyi hanya ‘nebeng’ membaca berbagai kitab referensi yang ia butuhkan ketika mengarang kitab. Karena memang ia tak punya cukup punya uang untuk membelinya. Kisah ini diabadikan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani dalam al-Durâr al-Kâminah Vol. 3 hlm. 398:
وكان منقطعا في منزله لا يتردد إلى أحد إلا على سوق الكتاب. وإذا حضره لايشتري شيأ وإنما يطالع فى حانوت الكتبي طول نهاره، ومعه ظهور أوراق يعلق فيها ما يعجبه ، ثم يرجع فينقله إلى تصانفه.
“Imam Az-Zarkasyi dikenal sebagai seorang yang jarang sekali keluar rumah. Ia tidak akan keluar rumah, kecuali untuk ke pasar kitab. Di pasar kitab itu, beliau tidak membeli satu kitab pun. Akan tetapi beliau membaca di salah satu kios kitab sepanjang hari. Ia pun membawa catatan kecil, untuk mencatat keterangan menarik dari referensi yang ia butuhkan. Kemudian ia kembali ke rumah untuk menyalin catatan itu di kitab karangannya.”
Baca juga: Hukum Menikah Melalui Video Call Whatsapp (Menikah Online)
Hal ini bisa difahami, mengingat memang Imam Az-Zarkasyi tidak punya penghasilan tetap dalam kesehaeiannya. Ia mencurahkan seratus persen waktunya untuk ilmu. Sehingga tak sempat untuk melakukan pekerjaan. Untuk urusan makan sehari-hari menurut catatan Taqiyuddin Ibnu Syuhbah (w. 851 H) dalam Thabaqat al-Syafi’iyyah sudah dicukupi oleh keluarga beliau. Sehingga beliau benar-benar mendedikasikan seluruh hidupnya untuk mengembangkan keilmuan.
Melihat kenyataan tersebut sangatlah wajar jika Imam Az-Zarkasyi tidak mampu membeli kitab Referensi yang dibutuhkan. Namun walaupun begitu tetap tidak menyurutkan semangatnya dalam berkarya. Bagi beliau keterbatasan tidak menjadi alasan untuk berhenti, justru itulah tantangan yang mesti dihadapi. Az-Zarkasyi wafat pada hari Ahad, 3 Rajab 794 H di Kota Kairo. (AN)