Kalau kukenang masa kanak-kanakku, dulu itu aku seperti anaknya semua orang. Aku terbiasa berkeliaran ke rumah-rumah sanak-famili, bermain dengan anak-anak sebayaku di rumah-rumah itu seharian sampai menginap-inap tanpa sungkan. Maka barang siapa punya anak sebayaku yang suka bermain denganku, ia mendapatkanku pula sebagai anaknya. Budhe Cik, Budhe Mid, Budhe Yam, Budhe Mutik, Budhe Tun, Budhe Yah, Budhe Robi’ dua-duanya –ada dua orang budhe robi’– dan Mbah Ndoh… semua adalah ibu-ibu masa kecilku selain ibu kandungku sendiri. Bahkan ibunya Nunung dan Frans yang aku lupa namanya, Bu Shofwan ibunya Siddek dan Bu Kemi ibunya Yayak, yang tidak punya hubungan famili tapi anak-anak mereka sekelas denganku di sekolah. Lik Siti belum punya anak laki-laki. Tidak, sampai aku menginjak remaja. Toh aku selalu dibiarkan bludhas-bludhus ke kamar yang beliau tempati bersama Lik Mus di rumah besar kakekku.
Kenangan itu seringkali membuatku bertanya-tanya: adakah kanak-kanak yang lebih bahagia dariku?
Dan diantara para ibu itu, yang terus memperlakukanku sebagai anaknya sendiri hingga aku menjadi setua ini, itulah Lik Siti. Setiap lebaran, saat aku sungkem, Lik Siti tak akan puas sebelum menciumi pipiku kanan-kiri. Begitu juga setiap aku melepas beliau bepergian jauh besama Lik Mus –berangkat haji atau umroh, misalnya. Bukan sekedar cipika-cipiki ala kadarnya. Benar-benar mencium seperti engkau menciumi pipi kanak-kanak yang comel.
“Man lam ya’rif qadran ni’ami bi wujdaaniha, ‘arafahaa bi wujuudi fuqdaanihaa”. Barangsiapa tak mengenali nilai karunia saat adanya, menyadarinya ketika menjadi ada ketiadaannya.
Itu adalah salah satu aforisma Syaikh Muhammad Ibnu ‘Athaillah As Sakandary dalam Kitab Hikam-nya. Udara yang kau hirup ini, pernahkah kau mencari tahu, mengapa terasa nyaman setiap kau menghela napas?
Lebih lima puluh tahun Lik Siti hadir tak jauh-jauh dari hidupku. Terus-terang, tak pernah aku terlalu memikirkannya. Beliau isteri Lik Mus, pamanku. Tinggal segluthek di lingkungan pesantren kami yang tidak luas. Terkadang aku melihatnya duduk-duduk di balkon rumah siang-siang. Mengobrol sesekali tentang berbagai remeh-temeh. Mengirimkan untukku penganan masakannya. Memilihkan sendiri hadiah baju atau sarung untukku setiap lebaran. Semuanya lumrah saja. Bahkan kasih-sayangnya kepadaku tak kuanggap istimewa. Wajar. Taken for granted. Sewajar kehadiran punggungku sendiri kemana pun aku pergi. Tapi kini, setelah beliau pergi, kenapa dunia terasa lebih sempit dari sebelumnya?
Aku belum mampu memahami, apa arti Lik Siti bagiku.
Memang, tidak pernah aku tidak merasa nyaman saat berada didekatnya. Apakah itu istimewa? Kayaknya tidak. Banyak orang lain mengaku merasakannya juga. Bahkan Kang Zaenal yang belum lama kenalnya pun mengaku begitu, lalu secara sok tahu membuat penjelasan bahwa hal itu dikarenakan Lik Siti senantiasa ridla akan segala yang ada atau tiada –seolah-olah dia sendiri sudah tahu rasanya “ridla” itu bagaimana. Tapi orang sok tahu terkadang tidak keliru. Dalam hal ini, Kang Zaenal mungkin ada benarnya. Lihat saja wajah Lik Siti: tak ada kerut di dahinya. Bersih seperti kulit remaja. Mungkinkah itu selain pada orang yang senantiasa bahagia selamanya?
“Alaa inna auliyaa-allaahi laa khaufun ‘alaihim wa laa hum yahzanuun”. Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran pada mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.
Lebaran kemarin, tak ada lagi Lik Siti yang menciumi pipiku kanan-kiri. Dan barusan aku berdiri di balkon rumahku, memandangi balkon rumah Lik Mus di seberang. Dan ketika pintu balkon seberang itu dibuka dari dalam, tiba-tiba aku berharap melihat Lik Siti, dan aku kecewa karena yang keluar cuma santri yang menyapu.
Aku belum mampu memahami, apa arti Lik Siti bagiku. Tapi baik engkau atau siapa pun juga, tak akan kalian bisa memungkiri keberuntunganku menikmati kasih-sayangnya selama lebih dari lima puluh tahun ini.
*) Yahya Staquf
(Foto dari koleksi Lik Mus)