Patah hati karena cinta yang bertepuk sebelah tangan memang bukan perkara mudah, karena segala sesuatu yang sudah melibatkan perasaan memang rumit, apalagi jika menyangkut soal cinta atau perasaan. Cinta yang bertepuk sebelah tangan adalah sebuah tanda, tidak semua kisah cinta akan berakhir dengan indah. Jika siap mencintai, maka juga harus siap terluka.
Kisah cinta yang bertepuk sebelah tangan bukan hanya milik orang-orang biasa, ulama terdahulu juga ada yang mengalami patah hati karena cintanya bertepuk sebelah tangan. Ulama tersebut adalah Ibnu Hazm, ulama terkemuka Madzhab Dzahiri dari Andalusia.
Dijelaskan dalam kitab Thouq Al-Hamamah, di masa mudanya Ibnu Hazm pernah jatuh cinta dan tertarik dengan seorang budak perempuan milik orang tuanya, dan budak tersebut masih muda yaitu berumur sekitar 16 tahun.
Budak tersebut juga merupakan seorang pemudi yang memiliki rasa malu dan selalu menjaga kehormatannya. Ibnu Hazm menjelaskan bahwa budak perempuan tersebut menawan, cantik wajahnya, bersih, tidak banyak bicara, selalu menundukkan pandangan matanya, dan pendiam.
Berkat sifat-sifat yang baik tersebut, Ibnu Hazm memiliki perhatian lebih sehingga akhirnya jatuh cinta, dan sangat mencintai sang perempuan tersebut. Selama dua tahun lebih, beliau menunggu kalimat khusus dari sang perempuan pujaannya dan memendam rasa cinta yang begitu mendalam.
Akan tetapi, segala daya-upaya, serta begitu panjang penantiannya, Ibnu Hazm ternyata tidak mendapatkan sepatah katapun yang terucap untuknya. Sehingga pada suatu hari, digelarlah sebuah acara para penguasa di rumah beliau, yang juga dihadiri banyak perempuan salah satunya adalah perempuan pujaan Ibnu Hazm.
Ketika waktu menginjak siang, para perempuan tersebut pergi ke balkon rumah yang tersambung dengan taman-taman rumah untuk melihat keindahan kota Cordoba. Ibnu Hazm segera menuju sebuah pintu, di sana ada perempuan pujaannya. Beliau kemudian mencari tempat untuk bisa berdekatan dengannya.
Ternyata perempuan pujaan Ibnu Hazm sadar bahwa Ibnu Hazm sudah berada didekatnya. Sayangnya, perempuan tersebut bukan malah menemui, malah memilih pergi untuk menghindari Ibnu Hazm.
Melihat hal tersebut, Ibnu Hazm tidak tinggal diam dan mengikuti perempuan pujaannya agar bisa jalan berdampingan dengannya. Ketika Ibnu Hazm berada di sampingnya, wanita tersebut malah pergi. Kejadian seperti ini sempat terjadi berulang-ulang.
Sang wanita sepertinya telah mengetahui isi hati yang dipendam oleh Ibnu Hazm untuknya. Tibalah waktunya perempuan pujaan Ibnu Hazm tersebut melantunkan sya’ir-sya’ir. Ibnu Hazm yang melihat hal tersebut semakin bahagia, karena melihat perempuan pujaannya tampil di depannya.
Singkat cerita, pada Jumadil Akhir tahun 399 H Ibnu Hazm dan keluarganya pindah rumah. Tetapi, perempuan pujaan Ibnu Hazm tidak ikut pindah karena mempunyai kepentingan yang mengharuskannya tetap tinggal di sana.
Setelah kepindahan Ibnu Hazm tersebut, ada salah satu anggota keeluarganya yang meninggal. Ibnu Hazm melihat perempuan pujaannya ikut hadir di sana dan berdiri di tengah-tengah para tamu lainnya yang sedang bersedih.
Kehadiran perempuan pujaannya tersebut, kembali membangkitkan cinta lamanya yang terpendam. Kehadirannya telah membuka kenangan-kenangan yang telah berlalu. Bukan bahagia, hal tersebut malah menambah kesedihan dan sakit hati Ibnu Hazm. Sehingga Ibnu Hazm yakin bahwa itu hanyalah cinta yang bertepuk sebelah tangan, mencintai dan mengagumi seseorang tapi orang tersebut tidak mempunyai rasa yang sama.
Selang beberapa tahun, tepatnya bulan Syawal 409 H, Ibnu Hazm berada kembali di kota Cordoba. Setelah enam tahun lebih Ibnu Hazm tidak melihat perempuan pujaannya tersebut, ia kembali berjumpa dengannya. Akan tetapi perempuan tersebut sudah berubah, tidak lagi cantik seperti dulu, karena sering keluar rumah untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.
Mencintai dan mengagumi seseorang namun tidak terbalaskan memang sakit, akan tetapi itu hanyalah siklus kehidupan yang pasti akan berlalu.
Wallahu a’lam.