Ibnu Asyur, Ahli Tafsir dan Maqashid Syariah dari Tunisia

Ibnu Asyur, Ahli Tafsir dan Maqashid Syariah dari Tunisia

Ibnu Asyur, Ahli Tafsir dan Maqashid Syariah dari Tunisia

Pembacaan terhadap Al-Qur’an, baik dari segi penafsiran, epistemologi, metodologi, dan lain sebagainya, selalu berkembang dari masa ke masa bahkan tidak akan pernah berhenti selama proses penafsiran dilakukan. Perkembangan pembacaan tersebut, mulai dari yang paling sederhana hingga yang paling rumit, merupakan konsekuensi logis dari usaha manusia untuk mendialogkan teks yang terbatas dengan konteks yang terus berkembang. Hal tersebut adalah implikasi dari pandangan bahwa Al-Qur’an shalih likulli zaman wal makan

Salah satu tokoh yang mempunyai pembacaan teks Al-Qur’an dan mencoba mendialogkannya dengan konteks adalah Ibnu Asyur. Beliau merupakan ulama kontemporer yang mempunyai pengaruh besar di bidang tafsir di Tunisia dan juga diskursus Maqasid Syari’ah di dunia pemikiran Islam. Meskipun beliau bermazhab Maliki, namun tidak segan-segan mengunggulkan mazhab lain apabila ditemukan data yang lebih kuat dan valid dalam sebuah pandangan keagamaan.

Beliau mempunyai nama lengkap Muhammad at-Tahir bin Muhammmad bin Muhammad Tahir  bin Muhammad bin Muhammad Syazili bin ‘Abd al-Qadir bin Muhammad bin ‘Asyur. Lahir di Tunisia pada tahun 1296 H atau 1879 M dari sebuah keluarga tehormat yang berasal dari Andalusia. Ibnu Asyur sendiri dibesarkan dalam lingkungan yang kondusif, khususnya bagi seorang yang cinta  dengan ilmu. Karena kakeknya yaitu Muhammad Tahir bin Muhammad bin Muhammad Syazili adalah seorang ahli nahwu, ahli fikih, dan pernah menjabat sebagai ketua qadhi di Tunisia pada tahun 1851 M dan menjadi mufti negara pada tahun 1860 M.

Ibnu Asyur memulai pendidikannya dengan belajar Al-Qur’an, baik hafalan, tajwid, maupun qira’at di kampungnya. Selain belajar kepada ayahnya yaitu Syekh Muhammad bin Asyur, Ibnu Asyur juga belajar kepada tokoh-tokoh terkemuka di kampung halamannya seperti Syekh Ibrahim Al-Riyahi, Syekh Muhammad bin Al-Khaujah, Syekh Asyur Al-Sahili, dan Syekh Muhammad Al-Khadr. Sekitar awal abad 14 H, Ibnu Asyur memulai petualangan barunya dengan melanjutkan pendidikan di Zaitunah, Tunisia. Di Zaitunahlah, beliau  banyak belajar keilmuan sampai menjadi ahli dalam berbagai bidang keilmuan.

Setelah menyelesaikan pendidikannya di Zaitunah, beliau kemudian mengabdikan diri kepada lembaga tersebut dan menempati berbagai posisi di bidang agama. Karirnya sebagai pengajar bermula pada saat beliau menjadi mudarris (pengajar) tingkat kedua untuk mazhab Maliki di Masjid Zaitunah. Kemudian menjadi mudarris tingkat pertama pada tahun 1905 M. Dan pada tahun 1905 M sampai 1913 M beliau mengajar di Perguruan Sadiqi. Selanjutnya beliau terpilih menjadi wakil inspektur pengajaran di Masjid Zaitunah pada tahun 1908 M sekaligus menjadi anggota dewan pengelola perguruan Sadiqi.

Setidaknya ada dua fase kehidupan yang terdapat dalam diri Ibnu Asyur, dimana fase pertama kehidupannya dilalui dengan terjadinya berbagai peristiwa besar di dunia Islam, seperti melemahnya imperium kekhalifahan Turki Utsmani. Kondisi tersebut kemudian dimanfaatkan oleh negara-negara  Eropa untuk melakukan penjajahan terhadap negara-negara Islam di Timur Tengah, Afrika Utara dan Afrika Barat, termasuk Tunisia. Pahitnya penjajahan menyadarkan rakyat Tunisia untuk bangkit dan berjuang agar bisa keluar dari keterpurukan.

Dalam perkembangannya ada dua faktor historis yang melatarbelakangi perjuangan kemerdekaan Tunisia, yang mana Ibnu Asyur ikut terlibat di dalamnya. Pertama adalah pengaruh eksternal yang datangnya dari para pejuang reformasi Islam seperti Muhammad Abduh. Gagasannya mengenai “wacana pembaharuan Islam” yang digagas dan disebarkan berkala melalui media cetak “Urwatul Wutsqa” sangat mempengaruhi pola pikir para cendekiawan muslim di dunia  termasuk Ibnu Asyur dan cendikiawan lainnya di Tunisia.

Kemudian pengaruh internal Tunisia sendiri yaitu Khairuddin Al-Tunisi yang berusaha mengobarkan gairah keilmuan melalui revitalisasi kinerja pers dan pemikiran, termasuk pencetakan dan penyebaran besar-besaran kitab klasik seperti pencetakan pertama karya Asy-Syaṭibi, yakni kitab al-Muwafaqat. Dengan karyanya yang berjudul: Aqwamal-Masalik fi Ma‘rifati al-Ahwal al-Mamalik, beliau berusaha menggugah umat Islam untuk mengikuti model kemajuan negara-negara Eropa dalam berbagai bidang.

Selanjutnya tergeraknya para tokoh dan cendekiawan dalam negeri Tunisia untuk merekontruksi ulang sistem pendidikan di Tunisia. Disinilah perhatian maqasid pertama Ibnu Asyur muncul melalui kitabnya, Alaisa al-Subḥ bi Qarib, yang mengkritik sistem pendidikan di dunia Islam pada umumnya melalui kacamata maqasid.

Fase kedua kehidupan Ibnu Asyur adalah pasca kemerdekaan. Dalam fase ini, Ibnu Asyur mencurahkan segenap tenaga dan pikirannya dalam dunia pendidikan. Selain menjabat staf pengajar resmi di universitas, beliau juga menjabat sebagai Hakim Agung mazhab Maliki dan Mufti Agung Tunisia pada tahun 1926 M. Kecemerlangan karirnya juga membawanya turut aktif dalam dunia internasional seperti anggota Majma‘ Lughah  al-Arabiyah di Kairo Mesir pada 1940 M, anggota utusan Majma‘ al-‘Ilmi al-‘Arabi di Damaskus pada tahun 1955 M. Pada tahun 1913 M, beliau diangkat menjadi qadi (hakim) mazhab Maliki dan pada tahun 1927 M, beliau juga diangkat menjadi pemimpin mufti  mazhab Maliki di Tunisia.

Ibnu Asyur juga merupakan ulama yang memiliki peran sangat penting dalam menggerakkan nasionalisme di Tunisia. Beliau hidup sezaman dengan ulama ternama di Mesir, seperti Muhammad al-Khadr Husein at-Tunisi yang menempati kedudukan Imam Besar al-Azhar pada saat itu. Dimana pada saat pemerintahan dipimpin oleh seorang yang diktator, Ibnu Asyur berseteru dengan pemerintah. Bahkan akibat dari perseteruannya tersebut, Ibnu Asyur dicopot dari kedudukannya sebagai Syekh Besar Islam. Akhirnya, Ibnu Asyur memutuskan untuk berdiam diri di rumahnya dan menikmati kembali kegiatan rutinnya membaca dan menulis. Dalam masa-masa itu, beliau banyak menulis karya, salah satunya adalah bidang tafsir dengan karya master piecenya, yakni kitab Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir yang merupakan kitab tafsir yang lahir di era kontemporer.

Beliau wafat pada tahun 1393 H atau 1973 M dengan meninggalkan berbagai harta karun dan pemikiran lewat karya-karya yang diulisnya dalam berbagai macam disiplin ilmu seperti tafsir, Maqasid Syari’ah, dan lain sebagainya. Di antara karyanya adalah: Alaisa al-Subh bi Qarib, Maqasid al-Syari’ah al-Islamiyyah, Uslul anNizam al-Ijtima ‘i fi al-Islam, Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, al-Waqf wa Asaruhu fi al-Islam, Uslu al-Insya’i wa al-Khitabah, Mujiz alBalagah, Hasyiyyah ala al-Qatr, Syarh ’ala Burdah al-Busyiri, al-Gaits al-Ifriqi, Hasyiyyah ’ala al-Mahalli ’ala jam’ al-Jawami’. Hasyiyah ’ala Ibn Sa’id al-Usymuni, Hasyiyyah ’ala Syarh al-Isam li Risalati al-Bayan, Ta’liq ‘ala ma Qara’ahu min Sahihi Muslim, al-Ijtihad al maqasidi, al-Istinsakh fi Dou’i al-Maqasid, al-Maqasid al-Syar’iyyah: Ta’rifuha, Amsilatuha, Hujjiyyatuha, al Maqasid al-Syar’iyyah: wa Sillatuha bi al adillah al-Syar’iyyah wa alMustalahat al-Usuliyyah, al-Maslahah al Mursalah, al-Istiqra’ wa Dauruhu fi Ma’rifati al-Maqasid), al-Munasabah al-Syar’iyyah, al-Maqasid al-Syar’iyyah fi al-Hajj.

Ibnu Asyur adalah satu diantara ulama besar Islam yang mempunyai kiprah besar dalam dunia Islam. Yang tidak hanya menguasai satu disiplin keilmuan saja, tetapi juga menguasasi disiplin keilmuan di bidang lainnya. Lewat karyanya yang bernama Maqasid Syari’ah Islamiyah dan at-Tahrir wa Tanwir, Ibnu Asyur menjadi salah satu tokoh penting dalam diskursus Maqasid Syari’ah dan Tafsir.