Di tengah gencar hingarnya perbincangan lockdown atau tak lockdown, menulis dan membaca adalah ibadah personal yang istimewa. Dua hari terakhir ini, muncul perdebatan menarik (antinomi.org) antara Risalatul Hukmi dengan Aziz Anwar Fachrudin. Hukmi merasa risih dengan kaum beragama yang tak peka dengan bahaya corona. Aziz sebaliknya, risih dengan ‘risihnya Hukmi’.
Dua orang ini sangat hebat dalam berdebat. Wacana besarnya adalah di mana peran Tuhan dalam pandemi ini? Hebat bukan. Tapi saya tidak akan masuk terlalu jauh terhadap benturan adu kuat tersebut. Maklum, bisa-bisa ora mangan nangkane, keno pulute. Tak dapat enak, malah rusak.
Memang corona ini hebat. Mampu menyita seluruh perhatian manusia sejagat. Mempengaruhi segala lini sosial. Agama tak luput dari pengaruhnya. Corona mampu menutup masjid-masjid sehingga tak menyelenggarakan sholat Jum’at. Mampu menggerebek jam’iyyah-jam’iyyah dzikir agar tak kumpul- kumpul bermujahadah. Pertanyaannya, apa agama corona? Pasti sebagian besar—yang tidak kenal dengan corona—akan mengklaim bahwa corona netral, tak punya agama. “Lha dia kan bukan manusia”. “Ngapain bawa-bawa agama segala”. Begitu kira-kira anggapan mereka.
Corona adalah bagian dari jenis virus. COVID-19, atau Corona Virus Desease 2019 adalah nama resmi dari WHO untuk anak turun virus corona (Kompas.com, 12/02/2020). Jenis baru yang, bagi sebagian orang sungguh menyebalkan. “Siapa sih yang melahirkan jabang bayi bangsat ini?”.
Atur nafas perlahan. Jangan terburu marah dengan COVID-19. Sebagaimana sebelum ada semesta, apalagi isinya, Allah telah memiliki konsep (blueprint) rinci, detail dan menyeluruh terhadap rencana ‘adanya dunia’. Lalu, kun! Jadilah semesta berproses menjadi seperti sekarang ini. Artinya virus corona dan anaknya yang secara sah-sahan sepihak dinamai COVID-19 oleh WHO adalah makhluk Tuhan. Ini adalah logika dasar keimanan.
Sedemikian, corona akan punya caranya sendiri dalam beribadah kepada Allah. Dalam diskursus kesufian, lazim dipahami bahwa bahkan Iblis sendiri menjalankan laku ibadahnya yang khas: menggoda dan mengagitasi manusia akan dosa. Ini bentuk ibadahnya Iblis. Ibadah yang dijalani dengan sepenuh hati dan kesungguhan yang keras. Hasilnya, luar biasa. Sampai sekarang kebrutalan dalam rangka mendurhakai titah Tuhan, menjadi jalan ninja sebagian manusia. Bahkan dengan kadar kekhusyu’an yang tinggi.
Permasalahan terpenting yang menjadi tugas kita sekarang ini—minimalnya tugas saya—adalah menyelamatkan kualitas keimanan di tengah badai pandemi. Walaupun secara hampir aklamatif, sholat Jum’at di non-aktifkan tentunya kita tidak lupa bila salah satu rukun Khutbah Jum’at adalah mengajak pada ketaqwaan. Ushikum wa iyyaya bi taqwallah, berwasiat-pesan saya kepada kamu sekalian termasuk saya sendiri untuk bertaqwa kepada Allah. Dan taqwa tidak mungkin terlaksana tanpa adanya iman: ikrar terhadap ketuhanan Allah dan kerasulan Muhammad sholallahu alaihi wasallam (Saw).
Ketuhanan Allah secara sederhana termanifestasi dalam ungkapan “sangkan paraning dumadi” atau titik mula dan titik kembali. Siapa yang bermula? Siapa yang kembali? Tak lain adalah kita dan semua penghuni semesta.
Sebelum muncul COVID-19, sudah ada banyak virus-virus lainnya. Serta wabah dan pandemi, sudah pernah ada. Setelah itu, akan ada momentum berakhir. Jadi COVID-19 tak bisa lepas dari hukum asali makhluk: bermula dan berakhir. Sebagai makhluk Allah, corona memiliki jalan ninja-nya sendiri. Termasuk dalam rangka beribadah terhadap Allah penciptanya.
Ibadah adalah laku kehambaan seturut karakter khas masing-masing makhluk. Jadi seluruh alam semesta secara de facto adalah hamba Allah yang juga punya bentuk ibadahnya sendiri-sendiri. Frithjof Schuon, dalam bukunya yang diindonesiakan menjadi Memahami Islam menjelaskan bahwa seluruh alam berdzikir kepada Allah (F. Schuon, 1983: 91). Jadi, jangan dikira angin, gunung, bebatuan, rumput, anjing, nyamuk, tidak beribadah. Karena semua makhluk Allah beribadah dengan caranya masing- masing.
Menerka-nerka boleh, apalagi terkaan itu kemudian jadi asumsi untuk penelitian ilmiah. Tetapi sangat tidak etis bila menghakimi dan menghina secara vulgar kualitas ibadah makhluk lain. Corona jika asumsi saya tepat, dia sedang menjalankan ibadahnya kepada Allah. Biarlah. Kalau perlu kita doakan semoga tugasnya cepat rampung.
Jadi sudah tepat, bila misalnya ada sebagian ulama atau kiyai yang berada di sisi ‘penyelamatan iman’ dalam merespon pandemi corona. Sebut salah satunya Al-Habib Luthfi bin Hasyim bin Yahya dari Pekalongan. Saat wacana corona merebak, dia berdakwah dengan narasi umum (atau dengan batasan tertentu, narasi awam). Hal ini tidak lantas dilihat dari satu sisi pandang semata. Ada banyak sisi yang bisa dikulik.
Dalam acara rutin Kliwonan di Pekalongan (20/03/2020) secara singkat Al-Habib Luthfi menyatakan bahwa “corona itu bukan Tuhan, jadi tak perlu sebegitu takutnya”. Narasi ini adalah narasi sufistik yang disampaikan di hadapan jama’ah yang mayoritas awam. Jadi butuh rumah diksi yang nyambung dengan umat. Lalu, apakah dengan begitu lantas Al-Habib Luthfi adalah awam? Dengan pengetahuan awam?
Al-Habib Luthfi sebagaimana kita tahu adalah simbol ulama bertipikal sufistik. Sedemikian, menjadi beralasan bila dia merespon corona dengan perspektif kesufian. Di sini dia justru sedang mengukuhkan perannya. Di artikel “Tiga Tanda Kebodohan Menurut Ibnu Atha’illah as-Sakandary” (islami.co, 28/03/2020) ketiga-tiganya dihindari oleh Al-Habib Luthfi ini: tidak menyampaikan berlainan dengan keahlian yang dikuasai, tidak menyampaikan semua yang disaksikan, tidak menyampaikan semua yang diketahui. Setidaknya ini pembacaan saya.
Kembali. Corona adalah makhluk Allah, dia sedang menjalankan tugasnya, dalam rangka beribadah kepada-Nya. Kita sebagai manusia justru sedang diuji atau lebih tepatnya digoda olehnya. Seberapa khusyu’kah kita, saat kondisi seperti ini. Tugas kita adalah berlomba dengan corona. Siapakah di antara kita dan dia yang lebih berkualitas bobot ibadahnya. Ibadah keilmuan dan ibadah ketaqwaan. Wallahu a’lam.