Infus adalah memberikan cairan berisi vitamin dan mineral melalui botol ke pembuluh darah (intravena), Infus menyediakan akses langsung kepada pasien bila obat perlu diberikan segera. Karena penyerapan langsung, obat-obatan yang diberikan melalui intravena biasanya lebih kuat daripada yang diambil dalam bentuk pil. Adapun suntik adalah memasukkan cairan obat ke dalam badan dengan jarum.
Secara umum keduanya memiliki perbedaan berkaitan dengan zat yang dimasukkan ke dalam tubuh, hal ini menimbulkan efek yang berbeda bagi tubuh. Setelah diinfus, tubuh akan terasa relatif segar dan tidak lapar, meskipun juga tidak kenyang. Sementara suntik, murni obat untuk menyembuhkan penyakit, bukan menggantikan makanan dan minuman.
Di tengah menjalankan ibadah puasa, hal ini sudah seharusnya menimbulkan konsekuensi hukum, apakah dengan demikian orang yang disuntik dan diinfus secara otomatis telah membatalkan puasanya atau tidak?
Di dalam al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, sebuah kitab yang cukup representatif bagi mazhab Syafi’I, dijelaskan bahwa seandainya terdapat obat yang masuk ke dalam pangkal paha, baik menggunakan pisau atau yang lainnya (suntik) kemudian sari obat tersebut masuk ke dalam tubuh, maka hal ini tidak membatalkan puasa. Alasannya adalah karena pangkal paha bukanlah bagian jauf atau saluran yang mengarah ke dalam perut.
Dr. Yusuf al-Qardhawi juga pernah memberikan fatwanya terkait hal ini. Menurutnya keduanya, baik suntik maupun infus secara fikih tidak membatalkan puasa karena tidak melalui jalur ma’idah (perut besar/rongga perut), akan tetapi efek yang ditimbulkan khususnya infus yang membuat tubuh kembali segar mengakibatkan infus perlu dihindari pada saat menjalankan puasa.
Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa ada beberapa ulama kontemporer yang menyebutkan bahwa keduanya membatalkan puasa. Asumsinya adalah meskipun keduanya tidak melalui jalur rongga perut, akan tetapi zat tersebut langsung di arahkan ke darah yang fungsinya adalah mengalirkan nutrisi atau sari-sari makanan ke seluruh bagian tubuh.
Ulama kontemporer lain yang membolehkannya beralasan, meskipun zatnya langsung masuk ke darah, tetap saja ia tidak melalui rongga perut. Sebab tanpa melalui rongga perut seseorang tidak akan merasakan kenyang, lega (setelah haus), padahal yang dituntut dari mengerjakan puasa adalah menahan syahwat perut dan birahi.
Syekh Muhammad Shalih al-Munjid di dalam Fatawa al-Islam, yang menyebutkan bahwa jika suntikan itu berfungsi seperti makanan atau minuman, maka hal itu membatalkan puasa. Sebab ketika itu dilakukan berarti ia telah mengonsumsi makanan atau minuman. Pendapat ini sama dengan yang pernah dinukil di dalam Sirrul Yaqut an-Nafis bahwa setiap infus atau yang masuk ke dalam tubuh dan berfungsi sebagai makanan atau minuman, maka hal ini membatalkan puasa.
Infus maupun suntik biasanya digunakan untuk membantu orang yang sedang sakit. Oleh sebab itu, sudah selayaknya seseorang mengerjakan puasa di lain kesempatan jika memang penyakitnya membuatnya tidak mampu mengerjakan puasa. Sebab Allah SWT senang dengan orang yang mengambil rukhsah yang diberikannya sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Hamzah bin ‘Amr berikut:
يَا رَسُولَ اللَّهِ أَجِدُ بِى قُوَّةً عَلَى الصِّيَامِ فِى السَّفَرِ فَهَلْ عَلَىَّ جُنَاحٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « هِىَ رُخْصَةٌ مِنَ اللَّهِ فَمَنْ أَخَذَ بِهَا فَحَسَنٌ وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَصُومَ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِ »
“Wahai Rasulullah saya kuat untuk menjalankan ibadah puasa di perjalanan, apakah saya berdosa jika berpuasa? ‘Itu adalah rukhshah yang diberikan oleh Allah, barangsiapa yang mengambil rukhsah tersebut maka hal itu yang terbaik baginya, namun jika ia lebih suka untuk berpuasa, maka tidak mengapa baginya.” (HR: Muslim). Wallahu a’lam.
Misbahaddin, Penelliti lembaga pengkaji hadis El Bukhori Institute