Dalam kitab at-Tabaqat karya Ibnu Sa’d dikisahkan bahwa ketika datang utusan Kristen dari Najran berjumlah enam puluh orang ke Madinah untuk menemui Nabi, Nabi menyambut mereka di mesjid Nabawi. Menariknya, ketika waktu kebaktian tiba, mereka melakukan kebaktian di mesjid. Sementara itu, para sahabat berusaha untuk melarang mereka. Namun Nabi memerintahkan: da’uuhum ‘biarkanlah mereka’.
Melalui perintah ini, sahabat memahami bahwa Nabi mempersilahkan mereka untuk menggunakan mesjid Nabawi sebagai tempat kebaktian sementara. Mereka melakukan kebaktian dengan menghadap ke timur sebagai arah kiblat mereka. Peristiwa bersejarah yang menunjukkan sikap toleransi nabi ini terjadi di hari minggu setelah Asar tahun 10 H. Peristiwa ini juga terekam dengan sangat baik dalam beberapa babon kitab sejarah seperti Tarikh al-Umam wa al-Muluk, Sirah Ibnu Hisyam, Sirah Ibnu Ishak dan lain-lain.
Sebagian ahli tafsir modern mengaitkan hadis ini dengan al-Quran surat al-Baqarah ayat 114 yang bunyi terjemahannya kira-kira demikian:
وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّن مَّنَعَ مَسَاجِدَ اللَّهِ أَن يُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ وَسَعَىٰ فِي خَرَابِهَا أُولَٰئِكَ مَا كَانَ لَهُمْ أَن يَدْخُلُوهَا إِلَّا خَائِفِينَ لَهُمْ فِي الدُّنْيَا خِزْيٌ وَلَهُمْ فِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Lalu, siapakah yang tepat dianggap lebih zalim daripada orang-orang yang berusaha melarang dan menghalang-halangi disebutnya nama Tuhan di tempat-tempat peribadatan serta berusaha menghancurkan tempat-tempat tersebut. Padahal mereka tidak berhak memasukinya kecuali dalam keadaan takut kepada Tuhan. Kelak mereka (yang menghancurkan tempat-tempat peribadatan) akan mendapatkan kesengsaraan di dunia dan siksaan yang berat di akhirat”.
Muhammad Asad, misalnya, dalam The Message of The Quran menerjemahkan kata masajid pada ayat di atas sebagai houses of worship ‘tempat-tempat peribadatan’. Hal senada juga dikemukakan oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha dalam Tafsir al-Mannar yang menerjemahkan masajid pada ayat di atas sebagai ma’abid ‘tempat-tempat peribadatan’, bukan sekedar peribadatan umat Islam. Penerjemahan masajid sebagai ‘tempat peribadatan’ secara umum dan bukan sebagai ‘tempat peribadatan Islam’ secara khusus pada ayat di atas jelas merupakan terjemahan yang merujuk kepada makna generik dari masjid itu sendiri.
Masjid sendiri berasal dari kata sajada-yasjudu-sujud-masjid, yang arti secara harfiahnya ialah tempat bersujud, dan itu artinya tempat menyembah, apapun sesembahannya, yang jelas menurut Abduh, masih dalam koridor ahli kitab seperti Yahudi dan Nasrani dan ahli semi-kitab (penganut agama yang memiliki pegangan yang mirip kitab suci) seperti Majusi, Budha, Hindu, Konghucu dan lain-lain.
Dalam perkembangan selanjutnya, masjid sendiri sering diidentikkan sebagai tempat peribadatan umat Islam dan ketika disebut masjid, benak kita akan segera tertuju kepada mesjid yang Islam ini. Konsekwensinya, kalau kita gunakan secara konsisten pengertian mesjid dalam artinya yang Islami ini, jelas akan susah memahami al-Quran dan beberapa hadith Nabi. Karena ketika menelusuri lebih jauh penggunaan kata masjid/masajid dalam al-Quran, kita akan menemukan bahwa kata masjid tidak selalu merujuk kepada ‘tempat peribadatan Islam’ melainkan bisa merujuk kepada sinagog, amalan ritual, tempat konspirasi dan lain-lain.
Sebagai misal Masjid dalam arti tempat peribadatan Yahudi atau sinagog, dapat pula kita temukan dengan mudah pada penggunaan kata masjid al-aqsha pada QS. al-Isra: 1 dan penggunaan kata masjid pada QS. al-Isra: 7. Sedangkan masjid dalam pengertian sebagai amalan ritual terdapat pada QS. al-A’raf: 31. Masjid dalam pengertian sebagai tempat konspirasi orang-orang munafik dengan Abu Amir ar-Rahib dan kaum Musyrik Quraish untuk menghancurkan umat Islam dari dalam terdapat dalam QS. at-Taubah: 107. Masjid yang difungsikan sama dengan sinagog, gereja dan biara (yakni sebagai tempat untuk menyembah Tuhan) terdapat QS. al-Hajj: 40.
Dengan pemaknaan yang lebih luas terhadap bentuk plural dari masjid pada ayat ini, Asad menjelaskan, bahwa salah satu prinsip yang paling fundamental dalam Islam ialah prinsip bahwa setiap agama yang memiliki keyakinan terhadap Tuhan sebagai ajaran utamanya harus dihormati dan dihargai meski dilihat secara keyakinan sangat bertentangan.
Karena itu, menurut Asad, setiap muslim diwajibkan menghormati dan menjaga tempat peribadatan agama apapun yang diperuntukkan untuk menyembah Tuhan, baik itu masjid, gereja atau sinagog. Dan karena itu pula segala usaha untuk mencegah dan menghalang-halangi para penganut agama lain untuk menyembah Tuhan menurut keyakinannya sangat dilarang dan bahkan dikutuk oleh al-Quran sebagai sebuah kezaliman, bahkan dianggap sebagai bentuk kezaliman yang paling besar.
At-Thabari dalam Jami al-Bayan fi Tafsir ayat Min Ayil Quran menafsirkan ayat di atas sebagai ‘Siapa lagi orang yang lebih ingkar kepada Allah dan menyalahi segala aturannya selain dari orang yang menghalang-halangi disebutnya nama-Nya di tempat-tempat peribadatan dan berusaha menghancurkannya.’ Melalui pandangan ini, jelaslah bahwa at-Tabari mengkategorikan orang-orang yang tidak menghargai tempat peribadatan sebagai orang yang paling ingkar terhadap eksistensi Allah.
Kisah yang dikutip dari kitab at-Tabaqat karya Ibnu Sa’ad di atas dan kaitanya dengan QS. al-Baqarah: 114 menunjukan bahwa Nabi menerjemahkan secara langsung semangat al-Quran untuk menghormati segala bentuk tempat peribadatan dalam praksis nyata. Hal demikian juga semakin dipertegas dengan kenyataan bahwa beliau selalu memerintahkan para sahabat untuk tidak merusak tempat-tempat peribadatan dalam peperangan. Ini artinya Nabi sangat menghormati dan menghargai tempat-tempat peribadatan agama lain meski secara keimanan sangat berbeda secara amat mendasar. Bahkan pasca perang Hunain, ketika menemukan lembaran kitab Taurat di sela-sela harta rampasan perang, Nabi memerintahkan untuk mengembalikan lembaran kitab tersebut kepada kaum Yahudi.
Dalam kisah di atas, meski meyakini Yesus sebagai “Anak Tuhan” dan Bunda Maria sebagai “Ibu Tuhan” sangat bertentangan dengan prinsip dasar Islam, utusan Kristen Najran tetap diberi kebebasan oleh Nabi untuk memasuki masjid nabawi dan melakukan kebaktian di dalamnya. Nabi tidak melarang mereka. Dan menariknya, jika dilihat secara keseluruhan cerita saat itu, Nabi berdebat dengan para tokoh Kristen Najran ini dan sangat tidak menyetujui keyakinan mereka tersebut.
Namun kendati berbeda secara keyakinan, Nabi tetap menghormati dan menghargai keyakinan mereka. Inilah yang dibuktikan dengan tindakan Nabi yang mengizinkan mereka melakukan kebaktian di masjid Nabawi yang tidak mesti diartikan setuju dengan ajaran mereka. Sebuah sikap yang langka dan jarang ditemukan dalam tokoh-tokoh lainnya sepanjang sejarah.
Namun sayangnya, ajaran Nabi ini diselewengkan oleh oknum tertentu demi tujuan dan hasrat politik. Beberapa kelompok umat Islam yang ekstrim salah memahami semangat Nabi yang inklusif ini. Di antara mereka ada yang membakar, membom, meruntuhkan bangunan peribadatan seperti gereja, sinagog dan lain-lain dengan dalih agama. Membakar, membom dan aksi-aksi kejahatan lainnya yang ditujukan untuk menghancurkan tempat-tempat peribadatan tersebut jelas merupakan tindakan yang menurut al-Quran sebagai azhlam ‘yang paling zalim/yang paling ingkar dst’.
Dengan demikian, teroris yang melakukan aksi bom bunuh diri di gereja atau melakukan pemboman terhadap gereja, (bahkan masjid seperti yang pernah terjadi di Cirebon beberapa tahun lalu) dianggap sebagai bukan orang yang taat beragama, bahkan ia ingkar terhadap eksistensi Tuhan dan tidak beradab.
Dengan meminjam bahasa al-Quran untuk Ahli Kitab yang telah menyelewengkan ajaran Taurat dan Injil, muslim yang merusak gereja, sinagog atau bahkan mesjid sendiri dengan dalih agama, sama-sama dianggap telah yuharrifuna al-kalima ‘an mawadi’ihi ‘telah menyelewengkan ajaran asli dari Nabi’. Karena itu sebagai agama yang terbuka, Islam mengutuk segala jenis tindakan umatnya yang bertentangan dengan misi utamanya di muka bumi ini, yaitu misi untuk menyebarkan kasih sayang bagi semesta alam (rahmatan lil alamin).