
Sepanjang 30 tahun lebih saya hidup, azan seperti halnya makan dan minum, begitu dekat dan lekat. Tapi, baru beberapa hari kemarin saya benar-benar merasa kehilangan. Saya tidak mendengar 5 kali azan yang saban hari menyapa tanpa diminta. Ini perasaan yang janggal. Begini ceritanya:
Hari pertama, saya merasa biasa saja.
Saya menaiki MRT di Singapura pada pagi hari dan merasa hidup akan berjalan seperti halnya undur-undur yang memilih tetap hidup meskipun tidak ada orang yang memedulikannya.
Saya hanya berjalan, menikmati arsitektur area itu dan menghirup udara segar serta melihat bagaimana orang-orang berjalan cepat. Berjalan di sebuah kota baru sungguh menyenangkan dan tak ada satupun yang mengenalimu.
Apalagi, saya menginap di area Bencoolen, sekitar 10 menit dar Merlion pusat aktivitas satelit dunia itu. Kata orang, kota ini menyimpan begitu banyak energi dan mimpi manusia-manusia dunia, juga kekecewaan, keberhasilan dan air mata
Bencoolen adalah wilayah seni dan kota ini diberikan Thomas Stanford Raffles atau Sir Raffles di salah satu sudut Pulau Tumasik—orang melayu dulu menyebut Singapura dengan istilah itu—dan ketika Inggris menjajah Bengkulu. Raffles suatu ketika singgah di Tumasik, salah satu daerahnya konon diberi nama itu sebagai pengingat bahwa ia pernah tinggal dan menghidup udara Bengkulu.
Bertahun-tahun setelahnya, warga menyebutnya sebagai area Bencoolen.
Di Bencoolen, ada sejumlah masjid dan ketika saya cek di google, ternyata ada 72 masjid di Singapura dab dikelola oleh Majlis Ugama Islam Singapura (MUIS). Masjid Bencoolen menjadi masjid yang paling dekat denga tempat saya menginap. Harapannya, saya bisa mendengar azan seperti di Indonesia karena begitu dekat.
Hari kedua berjalan, lagi ternyata saya tidak mendengar azan sama sekali. 48 jam setelahnya, saya juga tetap tidak mendengar azan, iqamat dan saya merasa aneh sekali. Aneh karena saya tidak terlalu jauh dari Indonesia dan merasa banyak suku melayu di sini dan biasanya pasti ada saja azan yang saya dengar. Tapi nihil.
Jika kamu seorang muslim yang saban hari mendengar azan dan terkadang merasa sebel, maka percayalah suatu hari bakal dibuat kangen. Ketika kamu terbangun sebelum subuh dan ada bunyi tarhim atau ketika kamu dalam perjalanan pulang kantor dan tiba-toba mendengar sholawat menjelang Magrib, maka suasana itu sudah cukup membuat bahagia.
Mungkin beginilah rasanya jadi minoritas. Perasaan tidak lagi jadi mayoritas seperti halnya di Indonesia dan rasanya ibadah malah jadi menyenangkan. Ketika arah kiblat saja kita tidak tahu, bahkan harus bertanya ke beberapa orang untuk sekadar tahu tempat sholat atau ibadah di area umum yang terkadang tidak ada.
Pada hari keempat, ketika saya sudah pindah ke Johor, Malaysia, dan berharap akan menemukan azan maupun iqamat seperti halnya di Indonesia. Ternyata tidak.
Saya menginap di area Pesiaran Medini, Iskandar Puteri, Johor dan berada di lantai 19. Pada sebuah sore yang biasa, menunggu sampai jam 19.00 Waktu setempat dan harusnya azan Magrib tiba, saya duduk di balkon dan melihat jingga yang perlahan hilang, merasakan angin yang bersemilir dan suara-suara kendaraan yang jarang yang lima kali lipat lebih rendah dari Jakarta.
Azan? Oh tidak. Saya tidak mendengarnya lagi.
Barangkali, seperti halnya cinta dan kebiasaan, jika kita kehilangan untuk sejenak saja, maka perasaan aneh akan segera merasuk ke segala penjuru tubuhmu, membuat bulu kudukmu merenang dan bertanya-tanya, oh ternyata begini rasanya.
Beruntungnya, saya memakai aplikasi NU Online ketika bepergian ke mana pun, bahkan untuk keluar negeri dan aplikasi ini sangat lengkap. Mulai dari sholat, Al-Qur’an lengkap dengan tajwidnya yang sangat mudah.
Pada hari keenam, akhirnya saya mendengar azan ketika sebuah perjalanan dengan kendaraan dan perasaan bahagia muncul kembali. Perasaan yang kembali usai berhari-hari hilang seperti menemukan cintamu kembali lagi setelah hilang tanpa kausadari.