
SALAH satu yang paling mengherankan tentang Indonesia adalah orang-orangnya begitu menggilai kata “sederhana”. Sebuah lagu kampanye politik mendefinisikan kualitas calon yang didukungnya sebagai “jujur dan sederhana”; lagu cinta jadul menyuarakan hasrat si narator dalam larik “Aku dambakan seorang gadis yang sederhana”; rubrik kontak jodoh juga sering sekali memberi kita gambaran tentang lelaki yang mendambakan calon istri dengan kriteria “keibuan, sederhana”; ada sebuah artikel di Kumparan, berjudul “5 Karakter Jokowi yang Patut Diteladani!”, dan karakter yang pertama adalah “sederhana”.
Mengikuti tagline kampanye Pak Jokowi: “Sederhana adalah kita.”
Sekarang, ketika Paus Franciscus datang ke Indonesia, orang-orang sibuk memberikan kesaksian bahwa Sri Paus adalah sosok yang sederhana. Dan Kompas membuat headline, dengan judul besar sekali, “Teladan Kesederhanaan”, seolah-olah itu temuan yang sangat menakjubkan, dengan ‘deck’—kalimat pemikat tepat di bawah judul—yang berbunyi: “Paus Fransiskus memilih naik pesawat komersial dan mobil yang biasa digunakan masyarakat. Dia juga tidak menginap di hotel berbintang. Dia mencontohkan pilihan hidup yang sederhana.”
Kalimat ‘deck’ itu benar, tetapi tentu tidak akurat dan sengaja melupakan detail. Mengenai pesawat, misalnya. Paus Franciscus memang menggunakan pesawat komersial, dia terbang dengan ITA Airways, tetapi tentu tidak seperti sampean naik pesawat komersial dari Jakarta ke Banjarmasin atau Surabaya. Dia menggunakan maskapai komersial, tetapi penerbangan tersebut disewa khusus untuk Paus dan rombongannya.
Dalam penerbangan ini, Paus, staf, dokter, dan 85 wartawan yang menyertainya memiliki akses khusus dan fasilitas yang berbeda dari penumpang biasa. Jumlah wartawan yang menyertai Paus bisa anda lihat dalam artikel ini: “On board with Pope Francis – Vatican News.”
Jadi, meskipun Paus menggunakan pesawat komersial, penerbangan tersebut tetap istimewa dan tidak seperti penerbangan reguler.
Ada kemungkinan bahwa pujian “sederhana” terhadap figur seperti Sri Paus adalah cerminan dari keterbatasan bahasa, keterbatasan perspektif, dan keterbatasan kemampuan dalam mengekspresikan gagasan terhadap sosok atau fenomena. Ketika orang tidak memiliki kata-kata yang tepat untuk mengartikulasikan kualitas-kualitas seseorang seperti Paus, mereka cenderung melakukan simplifikasi yang sebetulnya tidak punya dasar.
Kesederhanaan memang mudah dimengerti dan cocok dengan harapan orang banyak, meskipun sesungguhnya tidak akan pernah cukup presisi untuk menggambarkan realitas yang lebih kompleks.
Artinya, ini juga bentuk pembodohan terhadap publik.
Pujian “sederhana” pada figur seperti Paus mencerminkan kecenderungan moralistik kebanyakan dari kita, bahkan juga di kalangan para analis, yang saya lihat dalam talkshow Kompas dengan para cendekiawan.
Mereka seharusnya memiliki kapasitas untuk menggali lebih dalam ketimbang sekadar mengamini penggambaran dangkal yang bersumber dari harapan-harapan yang jarang terpenuhi.
Jadi, bukannya menawarkan analisis yang beres, mereka justru membenamkan diri pada narasi moral yang tanpa risiko dan dapat diterima secara sosial—yakni bahwa kesederhanaan adalah tanda kebajikan tertinggi.
Kesederhanaan seolah-olah mewakili apa saja—seperti kata “smurf” yang memiliki semua makna dalam komik Smurf.
Ia menjadi kriteria untuk calon istri, untuk kepemimpinan politik, untuk kepemimpinan agama, untuk menyebut kualitas seorang guru, untuk menggambarkan kualitas kesenimanan, dan sebagainya.
Kegilaan terhadap kata “sederhana” tampaknya merefleksikan obsesi kolektif kita terhadap ilusi bahwa hal-hal yang simpel adalah jawaban untuk semua masalah, mulai dari urusan jodoh hingga politik.
Orang tidak pernah mau repot berpikir bagaimana pemimpin yang sederhana akan berurusan dengan birokrasi yang rumit. Atau, bagaimana suami atau istri yang terlalu sederhana ketika harus menangani masalah-masalah yang tidak ada hentinya. Dalam menghadapi masalah keuangan, sebagian orang yang sederhana sering mudah jatuh ke dalam pelukan rentenir.
Saya pikir obsesi terhadap “kesederhanaan” ini perlu disudahi. Ini hanya bentuk kemalasan berpikir, semacam shortcut intelektual yang tanpa risiko; orang cukup menggunakan satu kata itu sebagai jawaban bagi segala persoalan.
Gestur kesederhanaan sering menjadi alat pencitraan yang efektif, karena masyarakat cenderung menyamakan kesederhanaan dengan kejujuran dan integritas. Dalam budaya yang terobsesi dengan konsep ini, orang mudah terkecoh oleh tindakan-tindakan yang tampak sederhana di permukaan, seperti memilih kendaraan biasa atau berpenampilan tanpa kemewahan.
Padahal, sering kali itu hanya penampilan luar yang dirancang untuk menarik simpati publik
Bukankah kita sudah berulang kali tertipu oleh gestur dan prejengan yang sederhana?[]