Air musta’mal adalah air bekas pemakaian bersuci, baik bersuci ini hukumnya wajib, seperti berwudhu sebagai syarat sah shalat, atau bersuci yang hukumnya sunah, seperti mandi sunah shalat Jum’at.
Kemudian air musta’mal ada dua jenis, pertama musta’mal dari hadats, yaitu air bekas bersuci dari hadats, kedua musta’mal dari najis, yaitu air bekas bersuci dari najis.
Adapun air musta’mal dari hadats maka hukum air ini adalah suci namun tidak mensucikan, sehingga tidak sah digunakan lagi untuk bersuci.
Imam Nawawi (w 623 H) dalam kitabnya al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab mengutip pernyataan Abu Hamid:
قال الشيخ أبو حامد نص الشافعي في جميع كتبه القديمة والجديدة أن المستعمل ليس بطهور
Berkata Abu Hamid al-Asfaroyini (w 406 H): Imam Syafi’i menulis dalam semua kitabnya baik yang qodim maupun yang jadid bahwa air musta’mal tidaklah mensucikan.
Kemudian Imam Nawawi menegaskan kembali status air must’amal ini dalam pandangan Madzhab Syafi’i:
قد ذكرنا أن المستعمل طاهر عندنا بلا خلاف وليس بمطهر علي المذهب
Telah kami sebutkan bahwa air musta’mal statusnya adalah suci tanpa khilaf dan tidak mensucikan dalam pandangan madzhab.
Kenapa air musta’mal tidak mensucikan?
Air musta’mal tidak mensucikan karena telah hilang kemurnian atau kemutlakan air tersebut, dalam kitab al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah disebutkan:
إذا استعمل الماء المطلق للطهارة من أحد الحدثين امتنع إطلاق اسم الماء عليه دون قيد، وصار له حكم آخر من حيث الطهورية
Apabila air mutlak (air murni) dipakai untuk bersuci dari salah satu dua hadats (hadats kecil dan hadats besar) maka kemutlakan air tersebut telah hilang, sehingga air ini memiliki hukum lain yang berbeda dari air mutlak dalam penggunaanya untuk bersuci.
Begitu juga yang dikatakan oleh Abu Ishaq as-Syairozi (w 476) dalam kitabnya al-Muhadzab fi Fiqh al-Imam as-syafi’i:
وهل تجوز به الطهارة أم لا؟ فيه طريقان من أصحابنا من قال: فيه قولان المنصوص أنه لا يجوز لأنه زال عنه إطلاق اسم الماء فصار كما لو تغير بالزعفران
Apakah air musta’mal boleh digunakan untuk bersuci? Dalam masalah ini ada dua pendapat dalam kalangan ulama Syafi’iyah, tetapi yang manshus (terverifikasi) adalah bahwa air musta’mal tidak bisa digunakan untuk bersuci karena telah hilangnya kemutlakan nama air pada air tersebut, sehingga hukumnya seperti air yang berubah karena tercampur oleh za’faron.
Apakah air yang terkena tetesan bekas wudhu adalah air musta’mal?
Informasi tentang masalah ini memang belum jelas tersampaikan kepada masyarakat, sehingga masih banyak orang yang menganggap bahwa apabila sedang berwudhu kemudian air bekas wudhu itu menetes dan bercampur dengan air yang sedang digunakan, maka air tersebut menjadi musta’mal sehingga tidak bisa digunakan untuk bersuci.
Padahal yang sebenarnya tidak seperti itu, yang disebut air musta’mal bukanlah air mutlak yang tercampur tetesan air musta’mal, tetapi air musta’mal adalah air bekas yang digunakan kembali untuk niat bersuci.
Imam Nawawi ketika menjelaskan dalil bahwa Nabi melarang berwudhu menggunakan air bekas bersuci wanita mengatakan:
ووجه الاستدلال أن المراد بفضل طهورها ما سقط عن أعضائها لأنا اتفقنا نحن والمنازعون على أن الباقي في الإناء مطهر
Wajh istidlalnya adalah bahwa yang dimaksud air bekas bersuci adalah apa yang terjatuh dari anggota tubuh mereka (wanita) ketika bersuci, karena kita semua bersepakat bahwa air yang tersisa di wadah adalah tetap suci mensucikan.
Sehingga menjadi jelas, bahwa air musta’mal adalah air bekas yang terjatuh dari anggota tubuh saat bersuci.
Lalu bagaimana bila air bekas yang terjatuh ini menetes ke air yang tersisa di wadah?
Untuk menjawab masalah ini kita kembali ke permasalahan apakah sesuatu yang suci dapat merubah status air mutlak?
Sudah kita ketahui bersama, bahwa air musta’mal dalam madzhab Syafi’i statusnya adalah suci, lalu apakah sesuatu yang suci apabila bercampur dengan air mutlak dapat merubah status air mutlak tersebut menjadi tidak mutlak?
Imam Nawawi mengatakan:
وإن كان يسيرا بأن وقع فيه قليل زعفران فاصفر قليلا أو صابون أو دقيق فابيض قليلا بحيث لا يضاف إليه فوجهان الصحيح منهما انه طهور لبقاء الاسم هكذا صححه الخراسانيون وهو المختار
Apabila sesuatu yang suci ini sedikit (kadarnya), seperti saat menetesnya sedikit za’faron atau sabun atau tepung kemudian bercampur dan merubah warna air (untuk bersuci), maka dalam masalah ini ada dua pendapat (dalam madzhab); pendapat yang shohih dari keduanya adalah bahwa air tersebut tetap suci mensucikan karena masih disebut sebagai air mutlak. Inilah yang dishohihkan oleh kalangan Khurosaniyun, dan inilah pendapat yang terpilih (dalam madzhab)
Dari penjelasan imam Nawawi ini kita memahami, bahwa ketika air mutlak yang kita gunakan untuk bersuci terkena tetesan air musta’mal, statusnya tetap suci mensucikan, sehingga sah digunakan untuk bersuci.
Ketika seorang yang berwudhu memasukkan tangannya ke dalam air, apakah air itu menjadi musta’mal?
Masalah ini harus dirinci; apabila seseorang hendak berwudhu kemudian memasukan tangannya ke air sebelum membasuh wajah (rukun wudhu ke 2), maka air tersebut tidak menjadi musta’mal, Imam Nawawi mengatakan:
إذا غمس المتوضئ يده في إناء فيه دون القلتين فإن كان قبل غسل الوجه لم يصر الماء مستعملا سواء نوى رفع الحدث أم لا
Apabila seorang yang berwudhu memasukkan tangannya ke air yang kurang dari dua kullah sebelum membasuh wajah, maka air ini tidak menjadi musta’mal, baik ketika dia memasukkan tangannya itu berniat untuk bersuci atau tidak.
Tetapi apabila orang tersebut memasukkan tangannya ke dalam air setelah membasuh wajah, maka ketika memasukkan tangan ini harus diniatkan mengambil air (bukan niat mencuci tangan), Imam Nawawi mengatakan:
إن قصد غسل اليد صار مستعملا…. وإن قصد بوضع يده في الإناء أخذ الماء لم يصر مستعملا
Apabila memasukkan tangan ke dalam air dengan niat mencuci tangan (rukun wudhu ke 3) maka air di wadah menjadi mustamal…. Dan apabila memasukkan tangan itu dengan niat mengambil air maka air tersebut tidak menjadi musta’mal.
Ini semua ketika keadaan air kurang dari dua kullah, tetapi apabila lebih dari dua kullah maka status air tidak akan berubah menjadi musta’mal bagaimanapun niatnya.