Mungkin agak “aneh” mendengar kabar banjir di Saudi atau kawasan Arab Teluk lain mengingat persepsi banyak orang kalau kawasan ini adalah “daerah panas ekstrim” yang jarang hujan. Di banyak daerah, curah hujan memang jarang dan tidak stablil tetapi di beberapa wilayah, khususnya dataran tinggi (seperti Asir, Baha, Qatif, dlsb) curah hujan cukup lumayan dan stabil (bahkan kadang ada salju juga).
Selain itu, Saudi/Arab Teluk bukan hanya mengenal “cuaca panas” tetapi juga “cuaca dingin”. Kalau bulan-bulan April-Oktober adalah “musim panas” (Juli-September adalah puncak panas yang bisa menembus 50-an derajat Celcius). Sedangkan kalau bulan November sampai Februari adalah “musim dingin”. Meskipun tidak sedingin di Eropa/Amerika/Kanada tetapi “lumayan dingin” kadang-kadang bahkan sampai 5 C.
Karena saya pernah lama tinggal di Amerika Utara jadi biasa saja kalau musim dingin di Saudi yang tidak seberapa jika dibandingkan dengan di Boston misalnya ya aduhai dinginnya apalagi ditambah salju yang membukit jadi bertambah dingin sampai-sampai seluruh onderdil dan perabotan tubuh “mengkeret” semua he he. Tapi buat warga setempat di Saudi, itu sudah sangat dingin sekali.
Karena mayoritas kawasan di Saudi atau Jazirah Arab sangat jarang turun hujan (hanya beberapa kali saja dalam setahun), hal ini berdampak pada aspek-aspek kehidupan lain seperti sistem ekonomi, bercocok-tanam, suplai air sampai manajemen pembangunan, desain / konstruksi gedung, dlsb, bahkan sampai masalah ritual-keagamaan. Yang dikhawatirkan disini bukan “hujan badai” tetapi “badai pasir” yang bisa sangat berbahaya dan “mendebupasirkan” seantero negeri.
Dari segi sistem bercocok-tanam, misalnya, yang ditanam bukan tanaman-tanaman yang “tahan air” tentunya tetapi yang “tahan panas” (seperti korma). Air minum dan kebutuhan untuk mandi, masak, menyiram tanaman, dll, dibuat dari hasil penyaringan air laut (dari Teluk Arab / Teluk Persi), atau diproduksi dari kawasan yang subur seperti di daerah Ahsa di Saudi timur, atau diimpor dari negara-negara lain. Karena mahalnya produksi air, maka air dipandang jauh “lebih berharga” ketimbang bengsin misalnya yang sangat mudah dan murah.
Karena hujan itu “makhluk langka”, maka begitu hujan turun, sebagian orang (tua-muda-anak-anak, laki-laki-perempuan) memanfaatkannya untuk “berekreasi” riang-gembira menikmati sang hujan. Karena hujan yang langka ini pulalah kenapa dalam Islam ada “salat istisqa” atau salat minta hujan kepada Allah, dan sering diprakekkan oleh warga disini khususnya kalau musim panas. Inil adalah contoh dimana alam-lingkungan telah mempengaruhi ajaran agama. Buat orang Eskimo atau orang Bogor mah gak butuh salat istisqa he he.
Curah hujan yang langka juga berdampak pada tata-bangunan. Misalnya, mayoritas pembangunan gedung-gedung tidak menggunakan sistem drainase, saluran air, atau gorong-gorong untuk mengantisipasi hujan. Asumsinya ya untuk apa membangun gorong-gorong yang memakan uang banyak wong jarang hujan saja kok. Lebih baik menyediakan alat penyedot air saja lebih murah dan efisien, kalau sewaktu-waktu ada genangan air di jalan dan tempat-tempat publik lain.
Kalau hujannya cuma rintik-rintik sih gak masalah. Masalahnya kalau hujannya deras dan berjam-jam, tak pelak banjir pun membahana. Seperti dua-tiga hari ini, hujan cukup deras dan cukup lama yang mengakibakan banjir sangat serius di beberapa kota (termasuk di kota tempat saya tinggal) seperti tampak di foto ini. Akibatnya, semua aktivitas mandek total. Air tidak hanya menumpuk di jalan-jalan tetapi juga di rumah-rumah dan mall-mall. Peristiwa banjir besar bukan kali ini saja sebetulnya. Tahun 2009 pernah terjadi banjir bandang di Jedah, Saudi, yang menyebabkan ratusan orang meninggal. Daftar banjir di Saudi dari tahun ke tahun bisa dilihat disini: http://floodlist.com/tag/saudi-arabia.
Untuk mengantisipasi banjir ini, pemerintah Saudi bukan meminta warga untuk “berdoa, ikhlas, dan tabah menerima cobaan” he he seperti nasehat seorang gubernur di Jawa bagian barat itu tetapi mengembangkan berbagai cara dan teknik untuk mencegah dan mengantisipasi banjir termasuk pembuatan proyek-proyek dam raksasa untuk penampungan air berjuta-juta kubik, drainase, dan yang terakhir teknologi drones untuk mendeteksi awal kemungkinan banjir supaya kerugian bisa diminimalisir.
Ini bukan siksaan atau cobaan dari Allah tetapi bencana alam yang bisa menimpa masyarakat mana saja kalau tidak diantisipasi dan ditangani dengan baik dan cermat.