Menteri Agama Lukman Hakim Syaifuddin menutup Konggres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) di Pondok Pesantren Kebon Jambu Cirebon. Menurutnya ada tiga hal yang yang mempunyai makna strategis dari terselenggaranya acara ini.
“ Saya merasa kongres ini luar biasa. Tidak hanya substansi yang dikaji, tetapi juga prosesnya. Karena ini sepenuhnya merupakan inisiatif masyarakat dari kaum perempuan. Lalu mereka berupaya untuk membuat satu kongres (ulama perempuan) pertama di dunia, di Cirebon ini,” ungkap Menteri Agama.
Hal senada juga diungkapkan oleh Wakil Ketua DPD, GKR Hemas. “Hasil ini Sangat menyejukkan hati saya. Hasil musyawarah KUPI juga sudah sesuai dengan agenda besar yang tengah dilakukan negara. Karenanya saya sangat mendukung hasil musyawarah KUPI ini,” ujarnya
Ditambahkan Lukman bahwa kongres ini memberikan makna strategis yaitu memperjuangkan keadilan dalam relasi laki-laki dan perempuan.Seringkali ayat-ayat suci, karena pemahaman yang terbatas, langsung maupun tidak langsung mempengaruhi aspek (keadilan gender). “Kongres ini mampu melakukan tidak hanya pengakuan tetapi juga revitalisasi peran ulama perempuan. Salanjutnya konggres ini berhasil meneguhkan dan menegaskan bahwa moderasi Islam harus senantiasa dikedepankan. Islam yang tidak menyudutkan posisi perempuan. Dan, sekali lagi, isu ini kini semakin relevan, sehingga (KUPI) berdampak pada kemaslahatan bersama untuk peradaban, di mana Islam dapat memberikan kontribusi bagi peradaban dunia,” lanjutnya
Konggres juga mengeluarkan hasil musyawarah keagamaan. Hasil yang dibacakan oleh ulama perempuan dari Banjarmasin, Batam, dan Makassar meliputi tiga hal, yaitu pernikahan usia anak, kekerasan seksual, serta kerusakan alam dalam konteks ketimpangan sosial.
Tentang pernikahan usia anak usia disebutkan bahwa setiap orang wajib hukumnya untuk mencegah pernikahan anak. Baik itu orangtua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara. Disebutkan juga bahwa korban pernikahan anak berhak mendapatkan hak-haknya sebagaimana anak-anak lainnya. Untuk itu KUPI merekomendasikan perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Utamanya terkait batasan umur minimal anak perempuan menikah. Yang tadinya 16 tahun menjadi 18 tahun.
Sedangkan bagi aparat yang berwenang diminta untuk tidak terlibat dalam pernikahan anak apalagi melegalkan, serta membatasi isbat nikah atau dispensasi pernikahan anak. KUPI juga merekomendasikan Kementerian Informasi dan Komunikasi untuk menutup konten yang mengandung unsur pornografi yang bisa diakses oleh anak-anak. Juga disebutkan agar anak korban perkawinan di usia muda agar tetap bisa bersekolah dan sekolah dilarang untuk menolaknya.
Sedangkan dalam musywarah tentang kekerasan seksual dihasilkan bahwa segala bentuk kekerasan seksual haram dilakukan. Baik itu yang dilakukan dalam pernikahan maupun di diluar pernikahan. Untuk itu negara diwajib untuk menjamin pemenuhan hak terhadap korban kekerasan seksual.
Hasil musyawarah juga merekomendasikan bahwa kerusakan alam dalam konteks ketimpangan sosial haram secara mutlak dilakukan. Pembangunan harus menjaga kelestarian alam. Negara juga wajib menindak tegas perusak lingkungan.
Sementara itu Ketua Panitia KUPI, Badriyah Fayumi apa yang direkomendasikan tersebut bisa disebut dengan fatwa. “Tapi kami lebih senang menyebutnya sebagai hasil musyawarah’ Sebab apa yang dihasilkan bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah baik metodologi maupun prosesnya,”katanya.
KUPI juga mengeluarkan sejumlah rekomendasi lain dianataranya agar ulama perempuan mendorong dan menyebarluaskan pemahaman bahwa dakwah tidak hanya keagamaan, tapi juga terkait kehidupan sosial. Disamping itu penggunaan tempat ibadah tidak hanya dijadikan tempat ritual keagamaan, tapi juga pusat kegiatan sosial keagamaan.