Harun Yahya, Sumbangsih dan Kontroversinya untuk Sains

Harun Yahya, Sumbangsih dan Kontroversinya untuk Sains

Harun Yahya, Sumbangsih dan Kontroversinya untuk Sains

Pelajaran ilmu alam di sekolah-sekolah, terlebih untuk generasi SMA pada kurun akhir 2000-an menurut saya memiliki aspek menarik. Metode pendidikan audiovisual di masa itu sedang digiatkan di sekolah-sekolah, dan internet sedang belum marak-maraknya kecuali di bilik-bilik warnet.

Kebetulan sekali, saya lulusan madrasah dan disertakan ke jurusan ilmu alam. Dalam kata lain, anak IPA. Hingga kini, saya pun masih bergelut dengan pendidikan yang terkait rumpun ilmu alam juga.

Media audiovisual mulai dipandang sebagian guru sebagai salah satu sarana penting untuk memperkenalkan siswa terhadap materi ajar, terlebih ilmu alam, dibanding hanya sekedar via buku dan gambar. Dalam materi ajar audiovisual inilah, Harun Yahya punya gawe yang cukup besar – namun memiliki imbas yang cukup jauh.

Pernahkah Anda menonton video-video dengan tema sains, alam semesta, tubuh manusia, kimia, lantas dikaitkan dengan beberapa ayat Al Quran dan hadis yang mengisyaratkan adanya fenomena sains tersebut? Jika pernah, Anda tidak bisa melewatkan nama Harun Yahya sebagai tokohnya.

Sosok bernama asli Adnan Oktar ini dinilai sebagai salah satu tokoh muslim berpengaruh yang memproduksi media edukasi seputar fenomena alam – jika kita menganggapnya bukan media propaganda kreasionisme – secara massal. Dahulu, video itu disebarkan melalui kaset-kaset – baik yang resmi atau bajakan. Tak lupa buku-bukunya seputar alam semesta, penciptaan makhluk hidup, serta yang melambungkan namanya sebagai tokoh kreasionisme muslim: buku Runtuhnya Teori Evolusi.

Karya agungnya adalah Atlas Penciptaan (The Atlas of Creation), berisi lampiran-lampiran gambar beragam spesies hewan dan tumbuhan. Ia menjadi dikagumi karena perlawanannya terhadap teori evolusi yang disusun Charles Darwin, dalam bukunya The Origin of Species.

Sebagaimana saya pahami, kritik Harun Yahya atas teori evolusi selain penilainnya atas ketidaksinambungan proses evolusi, serta ketidakcocokan nalar evolusi ini dengan ayat-ayat penciptaan Al Quran. Harun Yahya juga menyinggung bahwa teori evolusi, selain memang tidak sejalan dengan tafsirannya atas ayat-ayat Al Quran, terselip nilai-nilai filsafat materialistik yang membuat dunia saat ini tidak stabil – poin ini yang belum cukup saya pahami.

Teori evolusi sudah sangat jauh berkembang, dan hasil penelitian Charles Darwin atas sekian ribu spesies makhluk hidup di dataran Amerika Selatan sampai Australia selama 20 tahun tersebut, berdampak luas pada penyelidikan sains hingga hari ini.

Kendati demikian, kritik atas teori evolusi Darwin – termasuk Darwinisme secara umum – sudah terjadi sejak buku The Origin of Species diluncurkan. Kritik yang pedas datang dari pemegang mandat gereja, dan gagasan evolusi ini bertentangan dengan tafsiran mereka atas Injil, seputar penciptaan makhluk hidup.

Dalam sejarah Renaissance Eropa, konflik antara kaum ilmuwan dan agamawan sering terjadi, yang bisa berujung hukuman mati para ilmuwan karena menggoyang kemapanan para agamawan – yang konon disokong penguasa.

Menguliti masing-masing pemikiran di atas, baik Harun Yahya maupun Charles Darwin, tentu cukup pelik di sini. Namun ada beberapa catatan atas Harun Yahya, yang membuat kita perlu berterima kasih padanya – sekaligus memberikan banyak kritik. Tempo hari, Harun Yahya ditangkap oleh kepolisian Turki karena berbagai kasus kriminal. Karena kita membincang gagasan, maka kita kurang layak membahas perkara personalia.

Ya, memang ia bukan berlatar belakang akademisi ilmu alam, alih-alih ulama. Namun sumbangsih besar Harun Yahya untuk banyak orang, adalah bagaimana ia mampu memberikan sentuhan audiovisual dalam berbagai karyanya seputar fenomena alam. Pada masa sebelum era internet sekarang, video Harun Yahya menjadi sarana ajar pelajaran biologi dan ilmu alam lain, di samping buku-bukunya yang juga diminati karena ilustrasinya yang kaya — dan juga, islami.

Bagaimana orang akan membayangkan jagat raya tanpa visualisasi? Bagaimana membayangkan proses pembuahan makhluk hidup? Bagaimana interaksi atomik bisa lebih konkret dipahami? Video dan ilustrasi dalam buku-buku Harun Yahya membuat siswa dan kalangan awam bisa lebih memahami dan mengimajinasikan fenomena-fenomena alam di sekitarnya.

Menjadi jelas sebab Harun Yahya begitu populer di Indonesia karena peranti audiovisualnya yang pertama kali masuk ke sekolah-sekolah, dan menjadi materi ajar seputar sains. Bukunya penuh ilustrasi, yang membuatnya lebih digemari khususnya anak-anak.

Namun perlu disadari, ada imbas yang cukup besar terkait konten video dan buku tokoh yang pernah menjadi bagian dari 500 muslim berpengaruh di dunia ini. Nyaris dalam setiap video dan buku, ia mencantumkan ayat Al Quran atau hadis. Ragam gagasan ini disebut kreasionisme: Tuhan menciptakan makhluk hidup demikian adanya, dan perbedaan spesies adalah keajaiban Sang Pencipta.

Dalam banyak kitab tafsir dan syarah hadis klasik, gagasan ini agaknya bisa mudah Anda dapati – tentu saja karena taksonomi biologi, berikut teori evolusi, baru marak di rentang abad ke-18 dan ke-19. Dikarenakan relevansi fenomena alam dengan ayat-ayat dalam Al Quran dan hadis tadi, pemikiran Harun Yahya ini berimbas lebih jauh pada penolakannya atas teori evolusi.

Pemahaman akan teori evolusi konon memang punya kesimpulan jauh yang mencengangkan: manusia, jangan-jangan, adalah evolusi dari spesies kera. Sedari dulu bagi para ahli gereja, hingga hari ini bagi sebagian agamawan, hal semacam ini tentu merendahkan derajat manusia. Belum lagi jika ada kalangan yang meyakini Nabi Adam sebagai manusia pertama, keruntuhan teori evolusi tidak bisa ditawar.

Hal yang perlu ditandai, Harun Yahya dengan pencantuman ayat-ayat dan hadis dalam buku dan videonya, membuatnya dipandang sebagai seorang ilmuwan muslim. Kalangan yang menilai sains jauh dari agama, dan berusaha mendekatkan keduanya, menganggap Harun Yahya adalah sosok penting. Semangat sebagian kaum muslim untuk menyatakan bahwa fenomena sains sudah dinyatakan terlebih dulu dalam Al Quran dan hadis turut memanaskan panggung diskusi itu.

Konon konteks politik golongan Islam dan kalangan sekuler Turki, juga menyebabkan Harun Yahya menjadi semacam “duta ilmiah” kalangan Islam. Karyanya didukung banyak simpatisan politik muslim, disebarkan ke seluruh dunia dengan modal besar.

Dan, kita banyak menikmati gagasan Harun Yahya, mungkin pernah terhasut mengabaikan evolusi: karena merasa kurang sepakat “manusia berasal dari kera”, tidak sesuai ayat Al Quran, serta agak mengganggu akidah. Teori evolusi yang telah banyak menjelaskan keragaman makhluk hidup di seluruh dunia, dan penjelasannya untuk menghadapi seleksi alam, bisa begitu sia-sia di depan tafsiran Harun Yahya atas teks-teks agama. Ini masih kontroversinya dalam soal teori evolusi saja.