“I raise up my voice, not so I can shout, but so that those without a voice can be heard.” – Malala Yousafzai.
Pada 8 Maret setiap tahunnya, dunia memperingati International Women’s Day atau Hari Perempuan Internasional. Jika tahun lalu tajuk yang diusung adalah #EmbraceEquity, maka di tahun 2024 tajuknya adalah Invest in women: Accelerate progress. Lewat tagline ini, seluruh umat manusia diajak untuk merefleksikan soal kesetaraan dan pemberdayaan perempuan yang masih meninggalkan banyak catatan.
Dilansir situs resmi UN Women, tema “Berinvestasi pada perempuan: Mempercepat kemajuan” menggarisbawahi pencapaian kesetaraan gender dan kesejahteraan perempuan utamanya di ranah ekonomi. Tema ini mengasumsikan bahwa krisis finansial, kemiskinan, dan gap sosial pasca Covid-19 berkontribusi besar dalam menjauhkan dunia dari misi kesetaraan gender. Karena dibutuhkan investasi materi yang mapan untuk mengakselerasikan misi yang “nyaris” gagal tersebut.
Namun demikian, investasi itu nyatanya tak melulu soal ekonomi. Keterlibatan dan partisipasi perempuan dalam berbagai lini kehidupan adalah sebuah aset investasi tersendiri. Hal ini berangkat dari keresahan soal marginalisasi dan stigmatisasi kaum perempuan yang hingga saat ini masih belum menemui titik terang. Kesetaraan gender masih menjadi tantangan hak asasi manusia.
Sejarah Hari Perempuan
Jauh sebelum ada peringatan ini, kaum perempuan sudah berjuang agar hak dan eksistensi perempuan tidak dipandang sebelah mata. Menurut Temma Kaplan, peneliti sejarah perempuan Universitas Harvard, Hari Perempuan Internasional ini bermula dari unjuk rasa buruh perempuan pabrik tekstil di New York pada 1857.
Setelah 50 tahun berlalu, tepatnya tahun 1907, sekitar 15 ribu buruh pabrik tekstil mengulang demonstrasi serupa di New York, Amerika Serikat. Mereka menuntut jam kerja yang lebih pendek, upah yang lebih tinggi, dan hak memilih dalam pemilu. Berangkat dari berbagai unjuk rasa itu, pada 28 Februari 1909, Partai Sosialis AS yang dimotori Theresa Malkiel mendeklarasikan Hari Perempuan Nasional di Amerika Serikat sebagai peringatan kebangkitan suara perempuan di AS.
Setahun kemudian, pada 1910, organisasi partai buruh dan sosialis, The Second International, menghelat Konferensi Perempuan Internasional di Copenhagen, Denmark. Dalam konferensi itu, tokoh sosialis Jerman, Luise Zietz, mengusulkan peringatan Hari Perempuan Internasional karena terinspirasi dari gerakan Theresa Malkiel di Amerika Serikat. Idenya didukung oleh Clara Zetkin, ketua konferensi tersebut, meski tanggalnya belum ditentukan. Akhirnya, pada 1911, Hari Perempuan Internasional diperingati tanggal 19 Maret di Austria, Jerman, Denmark, dan Swiss.
Pada 1975, Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) mengakui Hari Perempuan Internasional dan pada 1977 mendorong negara-negara anggota untuk merayakannya. Namun, tanggalnya diubah menjadi 8 Maret. Mengapa demikian? Sebelum tanggal ditetapkan oleh PBB, ada dua opsi tanggal; 8 Maret atau 19 Maret. 8 Maret mewakili protes buruh perempuan yang terjadi pada tahun 1857, 1907, dan 1909. Sedangkan 19 Maret 1911 merupakan waktu terjadinya demonstrasi perempuan di beberapa negara di Eropa.
Akhirnya, yang dipilih adalah peristiwa demonstrasi 8 Maret 1917. Selain menjadi hari pertama revolusi Rusia, demonstrasi yang mayoritas diikuti perempuan itu juga menjadi awal mula para perempuan mempunyai hak pilih (women suffrage) di Rusia. Untuk itu, hingga saat ini, Hari Perempuan Internasional diperingati setiap tanggal 8 Maret setiap tahunnya.
Di Balik “Invest in women: Accelerate progress”
Mengutip dari UN Women, dunia sedang menghadapi banyak krisis, mulai dari konflik geopolitik hingga melonjaknya tingkat kemiskinan dan meningkatnya dampak perubahan iklim. Tantangan-tantangan ini hanya dapat diatasi dengan pemberdayaan perempuan. Dengan berinvestasi pada perempuan, masyarakat dunia dapat menggerakan perubahan dan mempercepat transisi menuju dunia yang lebih sehat, aman, dan setara bagi semua orang.
Pada tahun 2015, negara-negara anggota PBB mengadopsi Agenda Pembangunan Berkelanjutan yang menetapkan batas waktu tahun 2030 untuk pencapaian kesetaraan gender dan pemberdayaan semua perempuan dan anak perempuan. Kini, menurut UN Women, dengan sisa waktu kurang dari 10 tahun, dunia belum berada pada jalur yang benar.
Utamanya setelah krisis COVID-19, keadaan darurat iklim, dan meningkatnya ketidakamanan ekonomi dan politik, kemajuan dalam kesetaraan gender tidak hanya gagal, namun juga mulai mengalami kemunduran. Krisis tersebut melahirkan potensi angka 342 juta perempuan dan anak perempuan yang hidup di bawah garis kemiskinan pada tahun 2030, sehingga kejahteraan perempuan kembali menjadi tanda tanya.
Dalam konteks itu, ‘investasi’ yang dimaksud dalam tema kali ini salah satunya adalah investasi pada soal pendanaan dalam upaya-upaya kesetaraan gender. Dalam laporan Progress on the Sustainable Development Goals: the Gender Snapshot 2023, 360 juta dolar diperlukan dalam setiap tahunnya untuk mewujudkan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan termasuk pengentasan dari kemiskinan dan kelaparan.
Situasi yang tidak menguntungkan perempuan tersebut sejatinya adalah hulu dari tindakan diskriminatif yang dialami perempuan. Karena itu, tema Hari Perempuan Internasional 2024 mengasumsikan bahwa kesejahteraan sosial dan ekonomi pada perempuan akan berkontribusi pada lahirnya kesetaraan dan keadilan gender di 2030 dan selanjutnya seperti yang direncanakan.
Partisipasi sebagai Modal Investasi
Anne Hommes dalam bukunya Perubahan Peran Pria dan Wanita dalam Gereja dan Masyarakat (1992) mengatakan bahwa saat ini peranan perempuan seharusnya beralih dari tahap emansipasi menuju partisipasi. Keterlibatan perempuan secara langsung dalam ruang publik dan seluruh dimensi kehidupan manusia menjadi parameter utama dalam melihat manifestasi semangat Hari Perempuan Internasional.
Tentu, partisipasi itu sangat mengandaikan adanya kemitraan (partnership). Semangat “saling mendukung” seperti yang disinggung sebelumnya mensyaratkan hadirnya kerja sama yang sejajar antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki tidak bisa bekerja sendiri, pun juga perempuan. Kemitraan dan kesetaraan itu, menurut Mely G. Tan, Sosiolog Indonesia, merupakan kondisi ketika laki-laki dan perempuan memiliki kesamaan hak dan kewajiban. Hal itu terwujud dalam kesempatan, kedudukan, dan peranan yang dilandasi sikap dan perilaku saling membantu di semua bidang kehidupan.
Dalam keluarga, misalnya, sebagai sub-sosial terkecil di mana relasi kemitraan dapat terwujud, peran ibu sebagai pengasuh anak bisa dipertukarkan dengan sosok ayah. Hal ini sekaligus men-destigmatisasi beban ganda (double burden) pada sosok ibu. Selama ini, konstruksi sosial terus melekatkan perempuan pada urusan-urusan domestik. Sebaliknya, konstruksi sosial juga selalu mencitrakan sosok laki-laki dengan pekerjaan publik. Sehingga, ketika terjadi perubahan peran, maka seringkali timbul ketegangan antara suami dan istri dalam keluarga.
Oleh karenanya, relasi partnership berfungsi untuk meruntuhkan sekat tebal itu. Ibu tidak lagi dilihat sebagai satu-satunya pihak yang bisa mengasuh anak dan melakukan aktifitas domestik, namun juga bisa bermitra dengan sosok ayah. Dalam urusan publik pun, sosok ibu bisa sama berkontribusinya dengan sosok ayah. Sehingga, istilah “kepala keluarga” tidak lagi berangkat dari afirmasi satu pihak semata, atau bahkan merujuk pada stigma sosial saja, namun juga melalui kesepakatan dua pihak melalui relasi kemitraan itu.
Dewasa ini, kaum wanita semakin menempati kedudukan yang strategis di mana mereka mampu menjadi inspirator sekaligus motivator kepada kaum laki-laki. Wanita di era kekinian sudah relatif progresif, aktif, partisipatif, berpendidikan, berfikir global dan bertindak lokal serta peduli terhadap permasalahan-permasalahan tengah dihadapi masyarakat modern.
Dengan demikian, selain investasi ekonomi seperti yang diwacanakan UN Women, partisipasi dan pelibatan perempuan dalam ruang publik juga dipandang sebagai investasi jangka panjang yang krusial. Investasi ini berfungsi untuk semakin menormalisasi posisi perempuan di ruang publik. Menitikberatkan masalah kesetaraan gender hanya pada ranah ekonomi rentan meletakkan perempuan pada posisi objek yang justru menegaskan relasi kuasa.
Terlepas dari tema yang diusung, wacana kesetaraan itu memang masih jauh. Hari Perempuan Internasional dengan demikian menjadi memorandum perjuangan untuk mengingatkan bahwa tugas kemanusiaan belum selesai. Lebih dari itu, Hari Perempuan Internasional merupakan suara kebangkitan perempuan untuk keluar dari belenggu patriarki, stigmatisasi, dan dikriminasi.