Tiap bulan Ramadan kaum muslimin akan menghadapi kewajiban puasa. Muslim yang wajib berpuasa adalah yang mukallaf, dalam artian sudah baligh dan berakal, serta tiada hal-hal yang membuatnya mendapat keringanan untuk boleh tidak berpuasa.
Salah satu hal yang memperbolehkan muslim membatalkan atau tidak berpuasa, adalah sakit. Dalam kitab Al Fiqhul Manhaji ‘ala Madzhab asy Syafi’i, disebutkan ada dua hal yang memperbolehkan orang tidak berpuasa: pertama, orang yang bepergian jauh seharian dan telah mencapai batas kebolehan shalat secara qashar; kedua, orang sakit yang penyakitnya itu bisa membahayakan dirinya.
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan RI tahun 2018 diabetes mellitus adalah salah satu penyakit tidak menular dengan angka kejadian yang cukup tinggi di Indonesia. Artikel ini akan membincang persoalan penyakit Diabetes Mellitus, atau yang lumrah disebut penyakit kencing manis. Risiko yang menyertai penyakit ini perlu diketahui, karena jika tidak diantisipasi dapat membahayakan tubuh. Ketika risiko itu ada, maka kebolehan tidak puasa – seperti disebutkan di atas – menjadi penting diperhatikan.
Pasien dengan diabetes mellitus (selanjutnya akan disebut diabetes saja) adalah orang dengan gangguan pengelolaan gula darah dalam tubuh akibat gangguan sistem hormon dan metabolisme. Diabetes Mellitus ada beberapa tipe, dan Diabetes Mellitus tipe II adalah yang paling banyak diderita orang Indonesia.
Penyakit ini terdiagnosis dengan kriteria hasil pemeriksaan gula darah di atas rentang normal (disebut kondisi hiperglikemia), yang biasa diikuti keluhan seperti mudah lapar, mudah haus dan sering kencing. Bagi sebagian orang dikeluhkan juga ada penurunan berat badan cukup banyak yang tidak diketahui sebabnya.
Terkadang orang dengan kadar gula darah tinggi dan didiagnosis menderita diabetes mellitus tanpa komplikasi lain, kerap merasa tidak merasakan keluhan yang berarti bagi tubuhnya, terlebih jika sudah rutin konsumsi obat serta mengikuti program makan dan aktivitas yang disarankan dokter.
Beberapa orang dengan diabetes bisa tampak cukup bugar. Namun gangguan pengelolaan kadar gula darah pada penderita penyakit ini jika tidak diantisipasi bisa menimbulkan hal-hal yang membahayakan tubuh.
Puasa Ramadan adalah suatu kewajiban ritual keagamaan, dan banyak pasien muslim dengan diabetes yang ingin tetap menunaikan kewajiban ini – terlebih ia tidak mempunyai keluhan penyakit yang signifikan. Keinginan berpuasa demikian mesti diikuti sikap berdisiplin dalam pengobatan dan pola makan agar risiko yang kerap mengiringi penyakit diabetes ini dapat dihindari. Apalagi saat momen puasa Ramadan terjadi perubahan pola makan dan aktivitas dalam jangka panjang.
PERKENI (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia) membagi pasien diabetes mellitus yang menghadapi puasa ini dalam empat golongan: risiko sangat tinggi, risiko tinggi, risiko sedang dan risiko rendah. Risiko ini disusun berdasarkan jenis terapi, komplikasi penyakit, dan kondisi penyulit diabetes lainnya. Persoalan diabetes bagi setiap orang bersifat individual, sehingga tidak bisa disamaratakan model terapinya untuk tiap orang.
Merujuk Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2, sebelum menjalankan ibadah puasa, penderita diabetes perlu melakukan pemeriksaan kesehatan meliputi kadar glukosa darah, tekanan darah, dan kadar lemak darah, serta mendeteksi sedari mula risiko yang mungkin terjadi bila pasien berpuasa. Biasanya selanjutnya pola makan dan cara minum obat akan disesuaikan oleh dokter.
Selain itu, pasien diminta memantau kadar gula darah teratur secara mandiri, terutama pada pertengahan hari dan jelang berbuka puasa. Biasanya, dokter akan menjelaskan angka gula darah yang mesti dicapai dan dijaga oleh pasien saat sebelum dan setelah makan juga saat puasa, baik bagi pasien yang gula darahnya terkendali dengan obat atau melalui pengaturan makanan saja.
Rentang normal gula darah sewaktu (disebut GDS, yaitu gula darah yang dicek kapan saja tanpa puasa) adalah kurang dari angka 200 mg/dL. Sedangkan gula darah puasa (disebut GDP, gula darah yang dicek setelah tidak konsumsi apapun minimal selama 8 jam) mesti kurang dari angka 126 mg/dL. Pemantauan gula darah mandiri ini bisa menggunakan alat cek darah yang banyak dijual di pasaran dan telah disarankan oleh dokter.
Puasa mesti dibatalkan bila kadar glukosa darah kurang dari 60 mg/dL di mana keadaan ini disebut kurang gula darah atau hipoglikemi, yang pada pasien diabetes bisa terjadi akibat obat, aktivitas berlebihan atau pola makan yang tak sesuai. Gejala yang kerap menyertai kondisi ini adalah lemas sekujur badan, rasa lapar yang sangat, berdebar-debar, berkeringat dingin, pusing dan gelisah serta pandangan berkunang-kunang, yang jika dibiarkan tetap berpuasa jelas membahayakan.
Begitu juga jika saat puasa hasil cek gula darah meningkat sampai lebih dari angka 300 mg/dL hendaknya puasa dibatalkan dengan minum dan segera untuk menghindari terjadi suatu kondisi yang disebut ketoasidosis diabetikum yang kerap terjadi.
Karena diabetes mellitus terkait kondisi kadar gula darah yang tinggi, konsumsi karbohidrat atau minuman manis secara berlebihan mesti dihindari agar tidak terjadi peningkatan gula darah yang tidak terkontrol, baik saat sahur maupun berbuka. Menjaga asupan buah dan sayuran juga hendaknya diupayakan, diikuti konsumsi cairan yang cukup untuk mencegah kemungkinan dehidrasi.
Bagi pasien diabetes dengan risiko rendah, yang gula darahnya bisa terkontrol dengan obat saja atau pengaturan pola makan, puasa bisa menjadi aman jika mengikuti arahan dari dokter. Semoga puasa kita lancar, aman dan mendapat ridha Allah.
Wallahu a’lam.
Untuk pengetahuan tentang risiko penyakit, pengaturan terapi, dan hal-hal yang perlu diperhatikan bagi pasien DM yang berpuasa, Anda bisa berkomunikasi dengan tenaga kesehatan terdekat dan membaca pedomannya di tautan berikut: Pedoman Penatalaksanaan DM Tipe II Indivividu Dewasa saat Puasa Ramadan