Catat, Ini 8 Kondisi yang Diperbolehkan untuk Tidak Puasa

Catat, Ini 8 Kondisi yang Diperbolehkan untuk Tidak Puasa

Salah satu syarat wajib puasa adalah mampu (al-Ithaqah/al-qudrah). Maka orang yang tidak mampu berpuasa tidak wajib puasa baginya, baik tidak mampu secara syar’i ataupun hissi.

Catat, Ini 8 Kondisi yang Diperbolehkan untuk Tidak Puasa

Salah satu syarat wajib puasa adalah mampu (al-Ithaqah/al-qudrah). Maka orang yang tidak mampu berpuasa tidak wajib puasa baginya, baik tidak mampu secara syar’i ataupun hissi. Tidak mampu secara syar’i maksudnya adalah tidak mampu puasa dengan alasan larangan syar’i, yaitu ketika datang haid, nifas atau melahirkan baik melahirakan normal atau tidak normal. Sementara tidak mampu secara hissi, yaitu tidak kuat untuk berpuasa, sangat lemah disebabkannya. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, di antaranya adalah:

Pertama,  lanjut usia (tua renta), maka lanjut usia yang menjadikan kondisi tubuhnya tidak kuat lagi, membolehkan dia untuk tidak berpuasa. Berdasarkan ijma’ kaum muslimin maka seseorang yang lanjut usia tersebut tidak wajib mengqadha nantinya, melainkan dia harus membayar fidyah yang diberikan kepada orang miskin.

Kedua, sangat lapar dan haus, yang tidak bisa ditanggung. Syaikhuna al-faqih Musthafa Abdunnabi menyebutkan dhabitnya (standarnya), “Sampai dia tidak mampu berdiri untuk shalat”. Maka bagi dia boleh tidak berpuasa, tetapi wajib diqadha kemudian hari.

Ketiga, pekerjaan berat yang membuat dia sulit untuk berpuasa. Seperti tukang bangunan diterik panasnya matahari, begitu juga kalau dia pekerja sewaan yang mandiri, artinya pekerjaan yang tidak bisa digantikan, andai dia bekerja dalam keadaan berpuasa, maka dia tidak mampu menyelesaikan pekerjaannya dengan cakap, maka boleh bagi dia untuk tidak berpuasa, sekalipun itu pekerjaan kantoran. Namun wajib bagi dia untuk mengqadhanya nanti ketika telah mampu.

Namun perlu dicatat bahwa mereka yang di atas tetap wajib berniat di malam hari, dan berpuasa di awal siangnya, namun ketika merasa kesulitan maka boleh untuk membatalkannya.

Keempat,  menyelamatkan hewan muhtaram (yang tidak boleh dibunuh) baik manusia maupun binatang, dari kebakaran, tenggelam, reruntuhan atau kejadian lainnya, seandainya untuk menyelamatkan hewan tersebut dia harus membatalkan puasa maka boleh bagi dia membatalkannya.

Ketujuh, wanita menyusui yang khawatir akan terjadi kesulitan ketika berpuasa, baik dia menyusui anak sendiri, sewaan atau menyusui dengan suka rela, baik khawatir terhadap dirinya maupun bayi susuan disebabkan sedikitnya air susu.

Kedepalapan, sakit. Dan di antara makna sakit adalah hamil.Para ulama sepakat bahwa perempuan hamil dan menyusui diperbolehkan tidak berpuasa. Namun mereka berbeda pendapat tentang cara mengganti puasanya. Menurut madzhab syafi’i wanita hamil atau menyusui yang tidak berpuasa di bulan Ramadhan wajib mengqadha puasa yang mereka tinggalkan tersebut tanpa harus membayar fidyah, dengan catatan apabila faktornya karena menghawatirkan terhadap dirinya sendiri, atau menghawatirkan terhadap dirinya sendiri dan anaknya. Namun kalau dia hawatir terhadap anaknya semata maka dia wajib mengqadha dan juga membayar fidyah.